Beberapa Perempuan Memilih Tidak Menunjukkan Wajahnya


“Kayak istri teroris,” seseorang memberi komentar atas dirinya. Sosoknya berhijab panjang dan bercadar. Kebetulan ia makan bakso, satu meja dengan saya.

Entah mengapa tensi saya selalu naik mendengar kata-kata itu. Dan sekalipun saya tahu nada suara saya akan lebih tinggi -sadar atau tidak sadar- menjawab komentar tersebut, sulit menahan diri untuk tidak berkomentar.

Gambaran perempuan bercadar sudah dikonstruksi sedemikian rupa oleh media massa, hingga cadar, pakaian yang semestinya menunjukkan sebuah kehormatan dan pemuliaan pada perempuan menjadi begitu menyeramkan, Istri Teroris. Masih lebih baik, saya pikir dibandingkan dengan “koruptor” atau “istri koruptor”, mengingat banyak perempuan tersangka kasus korupsi mendadak berhijab dan bercadar (walaupun saya juga bisa paham bahwa hal itu dimaksudkan untuk melindungi dan menjaga nama baik keluarga tersangka).

“Bukannya itu cuma budaya Arab aja?”

TIdak tahukah mereka bahwa ketika seruan menutup aurat turun, para perempuan Muslim bergegas mengambil kain apapun yang bisa mereka kenakan untuk menutupi aurat mereka? Tidak tahu jugakah mereka, bahwa sebelum Islam, banyak perempuan Arab yang berpakaian terbuka dan berlenggak lenggok dengan sengaja untuk menarik perhatian lelaki? Artinya sebelum Islam, berhijab rapih sesuai syariat, apalagi bercadar bukanlah sebuah kebudayaan.

Teringat saya pada rekan-rekan saya yang bercadar dan bagaimana santun dan demikian terhormatnya perilaku mereka. Mereka pun bercanda, tergelak bahkan terbahak, sama seperti perempuan normal lainnya. Oh maaf, tidak sama, mereka terbahak dengan menutup mulut mereka. Anggun dan elegan. Mereka pun menyukai barang-barang bagus seperti perempuan normal lainnya. Tersembul jam tangan dari ujung tangan salah seorang kenalan saya yang bercadar, warnanya shocking pink. Tak sengaja pula saya melirik ke sandal perempuan bercadar lainnya, Fit Flop asli. Tas bermerk, gadget canggih. Dari cara mereka bicara dan bertutur kata, saya tahu mereka berpendidikan tinggi. Mereka perempuan biasa dalam keseharian. Pusing dengan tetek bengek rumah tangga, juga terjebak di kemacetan yang sama.

Tidak ada kewajiban bagi seorang perempuan Muslim untuk bercadar. Memang iya. Tetapi haruskah karena sempitnya pengetahuan dan resistensi diri kita berpikir mereka istri teroris karena mereka terkesan serba ekstrem?

Lalu apakah perempuan yang berpakaian juga serba ekstrem terbukanya lebih mulia dari perempuan yang bercadar? Apabila yang mengumbar punya “hak” untuk berpakaian serba terbuka dan dianggap trendy, lalu mengapa yang menjaga “haqq” distigmatisasi?

Mengapa mereka bercadar padahal banyak dari mereka yang temui punya lebih dari cukup uang untuk bersenang-senang dengan keluar masuk salon, gonta ganti penampilan? Mengapa malah memilih untuk menutupi kecantikan diri? Mengapa mengorbankan citra diri di tengah masyarakat yang masih tinggi resistensi?

Alasan seseorang mungkin berbeda-beda…

Tapi apabila suatu hari nanti saya berpikir untuk tidak memperlihatkan secuil pun bagian tubuh saya pada siapapun kecuali yang berhak melihatnya, inilah mungkin yang menjadi satu dari sekian alasan saya:

Karena istri-istri Rasulullah SAW bercadar. Dan siapakah perempuan yang lebih baik untuk ditiru dalam segala hal daripada istri-istri Rasulullah SAW?

Bukan Oki Setiana Dewi sekalipun hijabnya syar’i, bukan pula Dian Pelangi sekalipun hijabnya menarik hati…

Jadi, berhentilah mengatakan dan mengaitkan perempuan bercadar dengan terorisme. Apakah kita akan mengatakan hal yang sama apabila kita tahu bahwa ummahatul mu’minin, istri-istri Rasulullah SAW juga bercadar?

5 thoughts on “Beberapa Perempuan Memilih Tidak Menunjukkan Wajahnya

  1. Setuju jeng Shinta…orang – orang itu…mereka lebih maklum dan menerima perempuan – perempuan yang mengumbar aurat kemana-mana daripada perempuan yang ‘berani’ menyembunyikan kecantikan mereka karena takut pada azab Allaahh…

    Naudzubillaah…kadang-kadang penilaian mereka lebih kejam terhadap para perempuan bercadar…*sedih

    btw, salam kenal dari saya yah…tulisan-tulisan panjenengan sangat menyenangkan untuk dibaca..:-)

Leave a reply to katashinta Cancel reply