Menapaki Jalan Nabi (Part 1: Jakarta-Jeddah)

Kisah ini diawali di suatu pagi, pada hari Jumat yang diberkahi. 25 Mei 2012. Hari keberangkatan saya dan suami ke tanah suci, sekaligus hari gajian. Pukul sembilan pagi, kami berdua beserta sanak saudara sudah berangkat menuju bandara. Pesawat memang dijadwalkan take off jam 4.50 sore, tapi para peserta Umrah diharuskan berkumpul jam 1 siang ba’da shalat Jum’at. Jadilah kami berangkat pagi-pagi, saat jalanan masih begitu pada dengan mereka yang giat mencari sesuap nasi. Tim “Hore” yang mengiringi kami memang cukup banyak. Ada orang tua suami saya, ibu saya, plus kakak dan adik saya. Hihihi… Harap maklum, Umrah kan Haji mini. Kalau Haji saja perjuangannya hidup dan mati, berarti Umrah, yaaa… versi mininya dari itu, direduksi berkali-kali :p. Lagipula ini bukan “jalan-jalan” biasa; ini Umrah, sodara-sodara! Ibadah yang Allah perintahkan para Rasul-Nya untuk dilakukan. Melihat rumah yang ditinggikan Nabi Ibrahim AS dan dimuliakan anak keturunannya. Ibarat bertamu, ini bukan cuma bertamu ke Istana Presiden atau Istana raja manapun, ini bertamu ke rumah Pemilik Seluruh Alam Raya!! Jadi nggak berlebihan rasanya kalau kami berdua, saya dan suami sampai “dikawal” sejumlah kecil pasukan.

Terakhir saya Umrah itu tahun 2005, kuliah semester 5. Saat itu bulan Juni-Juli. Cuaca demikian terik. Suhu nyaris mencapai 50 derajat, setengah mateng! Keadaan Mekkah pun kian hiruk pikuk oleh ummat Islam dari seluruh dunia. Kebetulan negara-negara Arab dan Afrika sedang libur sekolah juga. Jadi klop! Kata Mama, ‘rasanya lebih ramai dari waktu Mama haji’. Tapi itu 2005, tujuh tahun lalu. Dengar-dengar tahun 2012 ini setiap bulannya, jamaah Umrah seperti musim Haji. Apalagi jamaah Indonesia. 2012 itu tahun dimana jumlah jamaah umrah mengalami peningkatan signifikan. Dalam satu bulan, kedutaan besar Saudi Arabia bisa mengeluarkan visa sampai 20.000 lebih visa Umrah. Itu pun masih ada yang tidak kebagian visa. Subhanallah…

Mungkin karena di seluruh Indonesia (keccuali Papua, mungkin) saat ini sudah merata, waktu tunggu untuk dapat porsi Haji reguler mencapai 10 tahun; sedangkan haji plus bisa sampai 4 atau 5 tahun; jadi orang-orang berlomba-lomba untuk Umrah, boleh jadi khawatir tutup usia, rizki sudah ada, tapi belum sampai waktunya. Membayangkan harus nunggu 10 tahun saja rasanya nyesek ya… hiks…Nunggu sejam saja kita sudah gelisah, apalagi menunggu 10 tahun!

Kembali ke perjalanan saya dan suami; sampai di tengah jalan, cobaan pertama datang. Tante saya, marketing travel Arminareka Perdana, menelepon, mengabarkan kalau pesawatnya delay jadi pukul 8 malam. Okay. Baiklah. Kami sudah separo jalan, tinggal meneruskan. Pukul 11 kami sudah sampai. Menunggu sampai pukul 8? Insya Allah tidak masalah. Toh kerinduan saya sudah menahun ingin pergi ke sana. Apalah artinya menunggu sembilan jam. Setelah mengurus kopor, ini dan itu, setelah shalat Jum’at, kami check in. Saya dan suami menghabiskan waktu di salah satu lounge. Menyibukkan diri dengan makanan, membolak-balik koran, online internet, makan lagi, baca koran lagi, main internet lagi… hihihi… Kami menunggu dengan sabar, sekaligus tidak sabar. Jantung saya berdebar-debar seperti hendak bertemu pacar. Grogi, senang, excited, ada sedikit kecemasan, takut, apalah itu namanya…

Saat akhirnya kami boarding, saya merasa seperti anak kecil yang mau berangkat sekolah untuk pertama kali. Norak. Hihi. Dapat seat nyaris paling buntut, yang sepertinya belum pernah saya rasakan sepanjang sejarah perjalanan saya dengan pesawat, dan turbulensi yang Masya Allah… Kata suami saya, “Nggak ‘lewat’ aja udah bagus”. Oh iya, untuk suami saya, ini kali pertama dia berangkat Umrah. Jadi saat turbulensi, saat saya merasa “diayun-ayun” sambil tidur dan suami saya merasa meregang nyawa; dia sempat bertanya, “Dulu kamu begini juga nggak?”. “Aku lupa. Aku taunya udah sampe.” Wkwk… Maksud saya, sepertinya sepanjang jalan saya tidur, jadi lupa apa ada turbulensi atau tidak. Suami saya bahkan sempat ngobrol sama pramugara baik hati. “Mas, emang begini ya kalau ke Saudi?”, tanya suami. “Iya, Bapak baru pertama ke Jeddah ya? Memang selalu begini, Pak, setiap pesawat melintas di atas Kolombo. Ini belum apa-apa. Beberapa waktu lalu pesawat sampai harus mendarat di India, karena ada pramugari yang terlempar beserta bawaannya saat turbulensi di atas Kolombo. Pramugarinya harus dirawat segera,” ujarnya.

Suami saya selalu lebih takut pada turbulensi pesawat ketimbang saya, karena suami saya adalah Insinyur Pesawat :p. Ya, setidaknya itu major yang diambilnya saat kuliah di ITB dulu. Makanya, walaupun pekerjaannya berbau transaksi finansial, Suami saya paham sedikit banyak tentang seluk beluk mesin pesawat dan betapa “ringkih”-nya pesawat itu sebenarnya. Kehilangan satu bagian kecil saja, ujarnya suatu hari, pesawat sangat rentan kecelakaan.

Saya bukannya tidak takut. Ada sekelebat ingatan saya akan Mama dan Papa saya saat turbulensi hebat itu terjadi. Mendadak saya kangen Mama Papa. Tapi saat itu saya berusaha pasrah. Yasudahlah. Allah yang menggenggam nyawa saya, mau di daratkah, di lautkah, di udarakah; itu hak Allah untuk mengambil nyawa saya. Ini pelajaran kedua kami, setelah pelajaran sabar di bandara tadi. Pelajaran pasrah. Saya benar-benar paham mengapa doa orang-orang yang ada dalam perjalanan itu istijabah (dikabulkan). Karena ketergantungannya dengan Allah sangat tinggi. Siapa-siapa yang dicinta, apa-apa yang dicinta, tidak bisa dibawa serta dalam perjalanan kita. Bahkan ada suami saya di sebelah saya, pada dasarnya hubungan dengan Allah nafsi-nafsi sifatnya. Yang kita bawa dalam perjalanan hanyalah sedikit saja perbekalan dunia. Dan perbekalan takwa-lah yang menjadi bahan perhitungan-Nya.

 

Kami akhirnya sampai dengan selamat pukul 3 dini hari. Kemudian mengurus ini itu sampai jam setengah lima, dan akhirnya shalat Shubuh di bandara. Ada perubahan kecil yang saya lihat, kamar mandinya sekarang lebih bersih dan terawat. Pada dua umrah sebelumnya, seingat saya, kamar mandi di Saudi, kecuali di hotel, jarang ada yang bersih. Yah, mirip-mirip dengan Indonesia-lah.

Oh iya, sejak berangkat, saya mengamati suami saya. Entah apakah karena Mamah (Ibu Suami saya) sempat bergumam malam harinya, “Pasti dia (suami) di sana jajan terus tuh ya…”, atau karena suami saya merasa terbebas dari beban kantor; suami saya benar-benar jajan di setiap tempat. Begitu sampai di Jeddah, langsung mengajak saya jajan. Hihi…

Perjalanan kemudian dilanjutkan menuju Madinah dengan Bus. Madinah cuy! Madinah… Madinah… MADINAH!!!!

Sampai jumpa di Madinah yaa…  

P.S. harap sabar ya… Saya orangnya kalau cerita nggak runut, kalau berusaha runut jadinya panjang… hehe…