Pada Sebuah Rindu

Mereka bersaksi bahwasanya wajahmu lebih indah dan lebih bercahaya dari terangnya rembulan.

Kedua bahumu bidang dan kokoh.

Perawakanmu sedang, tidak pendek, tidak juga tinggi sekali.

Seseorang yang bertemu denganmu dalam mimpinya mengatakan bahwa sosokmu sangatlah tampan dengan wajah berseri.

Tapi bukan karena ketampananmu, aku berharap bisa menjumpaimu dalam tidurku.

Melainkan karena keluhuran budimu. Dan ajaran mulia yang melekat padamu.

Karena Islam yang diturunkan kepadamu sebagai penyempurna risalah-Nya, telah mengajarkanku menghidupi kehidupan, memanusiakan manusia, dan menebar kasih sayang tulus kepada semesta.

Saat aku berkunjung ke Masjidmu, beberapa bulan lalu, dan berziarah ke makammu yang dulu adalah kediamanmu bersama Aisyah; air mataku tumpah. Membayangkan tanah yang kujejak, yang sekarang telah beralaskan karpet hijau yang indah, adalah tanah yang sama yang pernah kau lalui, kau diami bersama sahabat-sahabatmu. Membayangkan tidak jauh dari tempatku berdiri,empat belas abad yang lalu, aku dapat melihat beranda rumahmu. Melihatmu keluar untuk mengimami shalat.

Rindu ini tidak ingin kupuaskan, duhai baginda mulia. Karena aku masih mem-ba-ta sunnah-sunnahmu yang semakin asing di mata jaman yang kian menua. Aku masih terseok, dan amat sering terperosok dalam hawa nafsuku. Terkadang terbersit dalam pikirku, apakah pantas aku merindu sosokmu yang begitu agung. Ataukah cinta yang kulafal hanya pemanis bibirku, atau sekedar penghias tulisan-tulisanku?

Sudikah kiranya engkau mengakuiku sebagai bagian dari ummatmu di hari dimana setiap jiwa bertanggung jawab atas dirinya sendiri?

Kesejahteraan atasmu, duhai baginda mulia…

hingga hela nafasku yang paling penghujung, semoga sempurna diri ini bersaksi menjadi hamba Allah, Tuhan Semesta Raya dan bersaksi bahwa dirimu adalah utusan-Nya, penyempurna akhlak manusia, penutup risalah kenabian. Insya Allah.

 

Messias Ahmad, Nabi Muhammad, shalawat dan salam senantiasa tercurah atasmu…

Tunggu Aku

Seringkali kukatakan pada diriku sendiri

Hidup ini tidak menyisakan selain dua pilihan

Mengikuti pilihan-Nya atau tidak mengikuti-Nya

Tapi yang aku tidak tahu, apakah hidup ini menyediakan ruang tunggu

Agar aku dapat sekedar meluruskan hati saat ia mencoba berontak dari garis edarnya

Agar aku dapat sekedar meredakan gulana yang tidak pernah kubuka pada sesiapa juga

Entahlah.

Saat aku duduk di sini dalam diam, aku berharap hidupku mau menungguku.

Menunggu aku bangkit berdiri dan meninggalkan dera karena duri.