Banyak yang bertanya ke saya, “kapan mau ambil doktor?”. Pertanyaan ini datang dari kolega dosen, maupun mahasiswa. Sejujurnya saya sendiri sampai sekarang masih “blur”, tentang esensi menjadi doktor selain kebutuhan untuk menunjang karir sebagai dosen.
Tapi kalau ditanya, “nggak pengen sekolah lagi?”. Wah, saya pengen banget sebenarnya. Sekolah atawa belajar bukan berarti harus menjadi doktor, bukan? Apalagi buat orang yang sangat random macam saya. Liat iklan kursus terapi anak berkebutuhan khusus tersertifikasi dari singapura, saya pengen. Liat iklan kursus bahasa arab gratis, pengen juga. Ada akademi parenting, ya pengen juga. Ada kursus tahsin, perbaikan baca Al-Quran juga saya mau. Belakangan liat ada kursus jahit juga jadi pengen. Kebanyakan pengen memang saya ini, tapi jadi nggak ada yang jalan. Kendala utamanya adalah manajemen waktu yang buruk. Hiks.
Menjadi doktor, selain menghabiskan uang dan waktu, juga tenaga yang tidak sedikit. Dan di atas segalanya, sekali lagi, hati saya belum sreg. Belum sreg dengan diri sendiri.
Menata niat adalah PR pertama yang harus saya selesaikan, apabila saya memutuskan untuk menjadi doktor. Niat semata-mata karena ingin mengagungkan Allah di atas segalanya. Melepas semua “pride” bahwa ilmu itu bukan milik saya, tapi milik Allah.
Nah kan, berat banget kan?
Gimana coba menata hatinya?
I don’t think I can take the stress. Yet.
Besides, ada beberapa hal yang ingin saya lakukan sebelum saya merasa cukup “matang” sebagai manusia nan tiada berpunya selain apa yang Allah beri:
1. Saya ingin hamil dan punya anak. Menjadi doktor tidak pernah terpikir oleh saya sebelum saya menjadi dosen. Saya itu inginnya jadi ibu untuk anak-anak saya, jadi sekolah pertama mereka. So I wanna be a mother first, baru yang lain-lain.
2. Saya ingin naik haji.
Naik haji, semestinya, menurut hemat saya yang boros dan belum pernah pergi haji; membuat manusia merasa “rendah” di hadapan Allah. Karena tidak ada yang dibawa kelak ke hadapan-Nya. Baju, rupa, harta, tahta, dan seluruh puja puji manusia hanya akan menambah “item” yang harus dipertanggungjawabkan di sisi-Nya. Karena sebaik-baik bekal, adalah taqwa. Kutipan ini jelas ter-stated dalam Al Quran ketika membahas perjalanan haji.
3. Saya ingin punya hafalan Quran.
Meski tidak banyak. Meski maju mundur cantik. Meski ah… seberapalah yang bisa saya hafal; saya ini bukan Imam Syafii, bukan pula Wirda Yusuf Mansur (kok ga apple to apple ya). Tidakkah saya harusnya malu kepada Allah?? Buku-buku ilmuwan yang mengingkari Allah saya baca, pelajari dan ajarkan tapi firman-Nya yang jelas kebenarannya malah saya kesampingkan?
4. Saya ingin mengkhatamkan risalah Nabi Muhammad saw.
Saya ingin mengenal dulu, beliau SAW yang mulia, sebaik-baik manusia. Saya ingin menjadikan beliau SAW satu2nya idola. Sehingga saya memandang segala sesuatu dengan sudut pandangnya. Bukankah dia, lelaki sederhana dari gurun pasir yang dulunya tidak ditengok pembesar-pembesar Romawi; yang ajarannya berhasil mengguncangkan dunia dan tersebar ke seantero jagad? Bukankah dia, lelaki agung yang tidak meninggalkan istana megah sebagaimana pemimpin agung lainnya, yang ajarannya membuat berbagai pihak yang tidak senang dan hingga hari ini, bahu membahu berusaha memadamkan cahayanya?
5. Saya ingin plesiran.
Mengunjungi negeri-negeri tempat Islam bernaung dan pernah bersinar gilang gemilang. Turki, spanyol, china. Turki alias Konstantinopel adalah kota yang sudah diramalkan oleh Nabi SAW akan diterangi oleh Islam. Spanyol, dulu, pernah menjadi pusat ilmu Islam dengan bangunan mewah sebagai simbol kemapanan (atau mungkin kemewahan) walaupun akhirnya kemewahan itulah yang menjadi penyakit yang membusukkan bagi ummat Islam. China? Indonesia berhutang jasa pada bangsa China. Jasa membantu menyebarkan Islam di Nusantara. Maka, saya ingin sekali mengunjungi negeri tempat nenek moyang saya berasal. My 1/8 blood. Apalagi, China memeluk Islam jauh lebih dulu dari Nusantara dan disebarkan langsung oleh sahabat Rasulullah saw sekaligus pamanda beliau, Saad Bin Abi Waqqash.
So, that’s basically what I want to do before applying for my post-grad. And next time someone ask me that question again, I guess I’ll just give him/her this note.