Judul di atas terinspirasi dari kolega saya, bu Irwa, yang berkata, “Mengapa judul film-nya harus Hijab”
Setelah membaca dua review negatif tentang film Hiijab, saya jadi penasaran ingin menonton langsung film garapan Hanung Bramantyo tersebut. Akhirnya kemarin, saya dan seorang kolega, Bu Irwa, pergi menyaksikan film Hijab di sebuah bioskop di bilangan Pejaten, Jakarta Selatan. Saya agak nggak tahu sih harus berkata apa dan memulai dari mana me-review film Hijab.
Sebagai akademisi ilmu komunikasi dan kerap mengajarkan teori-teori tentang media massa, saya menganggap sebuah pesan dari konten media, mau itu tayangan TV, film, atau buku tidak boleh “egois”. Karena sekali pesan itu disampaikan, sang pembuat pesan sudah tidak punya “kuasa” lagi terhadap pesan tersebut. Sehingga, komunikator yang baik tidak bisa hanya mementingkan kepentingan atau kesenangan pribadinya tanpa memperhatikan bagaimana khalayak menerima pesan tersebut.
Dan ini yang menurut saya seringkali gagal dipahami para pembuat pesan, bahwa khalayak dapat membentuk citra tertentu dari pesan yang mereka rangkai dan ditampilkan melalui media massa. Dalam hal ini, berdasarkan apa yang saya maknai, adalah citra hijab sebagaimana judul film tersebut.
Film itu sendiri, pada akhirnya saya mencoba berbaik sangka, menceritakan proses empat orang perempuan memaknai hijab mereka, whereas dari empat orang perempuan muda yang diceritakan di film, rasanya tidak ada satu pun yang memaknai hijab mereka sebagai bagian dari kewajiban menjalankan perintah agama. Satu perempuan berhijab turban karena rambutnya rontok (dan ada adegan dia sedang perawatan rambut, sehingga menurutnya kalau tidak botak lagi nggak perlu pake turban), satu berhijab karena terjebak dalam acara “Pemantapan Iman”, satu terjebak oleh pernikahan, dan satu lagi yang awalnya tidak berhijab, well.. kalau menurut saya terjebak dalam konformitas pergaulan.
Tiga dari empat perempuan itu merupakan ibu rumah tangga yang merasa kehilangan “dirinya” setelah menikah. Aktivitas mereka hanya seputar mengurus suami dan anak-anak. Sebagai perempuan dengan segala potensi dan keunikan karakteristik yang dimiliki masing-masing individu, akhirnya mereka berempat memutuskan untuk diam-diam membuka usaha baju Muslim. Baju Muslim kini, di negara dengan populasi Muslim terbesar di Indonesia, merupakan big business. Tidak bisa dipandang sebelah mata.
Long story short, mereka berempat menemukan ibu-ibu sosialita kaya raya yang mau memodali butik mereka yang awalnya dijalani secara online. Butik baju Muslim yang berjalan dengan nama, *jeng jeng* Meccanism (does that ring a bell?). Meccanism memiliki filosofi yang mengambil dari kota “Mekkah” yang menjadi kiblat seluruh umat Muslim di Indonesia. Jadi, visinya butik Meccanism harus juga bisa menjadi kiblat berbusana bagi Muslimah sekaligus menjadi “ism” a.k.a values of one’s life.
Bisnis baju Muslim keempat perempuan tadi, as expected, laku keras. Tapi tiga dari empat perempuan itu selama ini menyembunyikan pekerjaan “sampingan” tersebut dari para suami (para lelaki yang masih beranggapan bahwa “I’m the man, I’m the breadwinner”). Malahan, Sari yang diperankan oleh Zaskia Mecca, diharamkan oleh suaminya untuk bekerja.
Kebohongan memang tidak pernah berumur lama. Para perempuan tersebut akhirnya menuai akibat dari kebohongan mereka masing-masing (mungkin ini juga salah satu pesan positifnya).
Ya, more or less seperti itu.
Dalam realita, saya tahu dan saya sendiri pun merasakan bahwa setiap perempuan Muslim berbeda cara pandangnya memaknai hijab. Tapi film itu, citra hijab di film itu jauh-sekali-timpang-langit-bumi dengan citra hijab yang selama ini saya miliki. Hijab merupakan kewajiban bagi setiap perempuan Muslim yang sudah akil baligh. Karena ia adalah sebuah pakaian yang dapat dilihat semua orang, maka hijab tidak bisa dipisahkan dari identitas keagamaan seorang perempuan Muslim. Terlepas dari apapun dan bagaimanapun masing-masing individu memaknai Hijab, walaupun ia hanyalah “sehelai” kain; namun di balik itu ada nilai yang luhur yang hilang dalam film tersebut (apalagi kemudian Hijab dalam film tersebut diberi label yang kok ndilalah-nya sama dengan nama label salah satu produser sekaligus pemain filmnya). Singkat kata, hijab jadi rendah sekali maknanya di film itu.
Saya mencoba mengingat kembali dan mempertanyakan ulang, mengapa saya sangat “terganggu” dengan pesan di film Hijab. Bagaimana saya sebenarnya memaknai hijab?
Walaupun ia hanyalah selembar kain, tapi hijab yang saya pakai melalui perjuangan yang tidak mudah ketika saya pertama kali mengenakannya 14 tahun lalu saat saya masih duduk di bangku SMP. Pertentangan dan cibiran kerap saya peroleh bahkan dari keluarga saya sendiri. Ada momen-momen yang tidak mengenakkan tapi saya syukuri, memang skenario Allah Maha Sempurna. Tapi perjuangan saya bukan apa-apa dibandingkan dengan perjuangan para pemudi di era 80-90-an. Mereka harus benar-benar berjuang keras untuk menunaikan kewajiban menutup aurat. Bongkar pasang hijab, hingga keluar dari sekolah harus mereka jalani karena di masa itu hijab dilarang digunakan di institusi pendidikan. Dan saya pikir masih banyak lagi kisah Muslimah di belahan bumi lain yang mati-matian memperjuangkan hijabnya. Dari yang memilih berhenti karena perusahaannya melarang berhijab, hingga meninggal ditusuk seorang “Islamophobist”. (Tidak akan saya bahas karena jadi kepanjangan)
Hijab untuk saya adalah sebuah perjuangan. Kisahnya tidak pernah selesai, karena beriman pun merupakan proses yang hanya selesai ketika Izrail mencabut nyawa seseorang.
Apabila hijab lalu dimurahkan hanya dengan film bergaya Urban yang berusaha melihat potret kaum Urban, saya tidak paham apa yang ada di pikiran pembuat filmnya. Berapa banyak kota atau daerah di Indonesia yang gaya hidupnya sangat “urban”? Berapa banyak perempuan berhijab yang berhijab hanya karena jebakan duniawi, instead of karena berusaha taat pada perintah Allah?
Apabila film Hijab itu bukan film reliji, dan hanya komedi satir; bagaimana pembuat filmnya kelak bertanggung jawab terhadap citra hijab dan minuman keras yang ada dalam film tersebut? (Dan ironisnya, scene suami yang istrinya berhijab itu menenggak minuman keras di depan minimarket yangggg konon sekarang sudah dilarang menjual minuman keras lagi. Dan kenapa harus minuman keras? Kenapa? Kenapa?)
Apabila film Hijab dibuat sebagai satir dari kemunafikan masyarakat kota yang beragama di permukaan, lalu apakah boleh saya juga menyatiri kehadiran film itu membuat penonton membayar dan spend sekitar 1,5 jam untuk dijejali dengan brand “Meccanism” yang merupakan clothing brand Zaskia Mecca?
Belum lagi citra “Arab” dalam film tersebut yang sangat…rasis… (ya saya bukan orang Arab sih.. tapi kata-kata “ditindihin Onta Sahara” di film itu menurut saya kasar dan semakin menguatkan citra buruk bangsa Arab yang selama ini dibangun media massa).
Banyaknya komentar dan review negatif, yang salah satunya dari penulis buku favorit saya 99 Cahaya di Langit Eropa, Hanum Rais, tidak sepenuhnya salah. Dan juga tidak boleh disalahkan. Pembuat film toh tidak mampu dan tidak berhak mengontrol apa yang khalayak pahami dari filmnya, bukan?
Pada akhirnya (sudahlah, saya akhiri saja tulisan ini), saya tahu tulisan ini amat subjektif karena saya berangkat dari pandangan negatif yang sudah saya peroleh dari review-review tentang film Hijab ini, plus frame of reference saya bahwa agama tidak bisa dijadikan lelucon satir di media massa, karena tanggung jawabnya berat nanti di hadapan Allah. Jadi, mungkin review ini tidak bisa dijadikan rujukan menilai film Hijab tersebut.
So, menutup tulisan ini, saya sejak kemarin masih bertanya-tanya,
“What were you thinking, Hanung?”