Merenung

Ada banyak sekali alasan kenapa saya kadang ingin sendiri dan menikmati kesendirian.

Salah satu alasan utamanya adalah karena dengan sendiri, saya punya banyak waktu bercakap-cakap dengan diri saya sendiri. Merenung, meski terdengar kurang kerjaan dan eksentrik, sebenarnya (menurut saya) adalah aktivitas yang harus kita lakukan. Apakah merenungnya dalam sholat, merenungi kehambaan diri; apakah merenungnya sambil olahraga; sambil masal; sambil baca buku; sambil bebenah…

Sambil apapun, merenung, alias bercakap-cakap dengan diri sendiri harus saya lakukan supaya tetap waras.

Saya banyak berinteraksi dengan orang yang luka hatinya melukai orang lain. Dulu, ketika bersinggungan dengan orang seperti ini, didekatnya saja hawa badan saya sudah panas. Ada nyeri di badan saya yang tidak bisa saya definisikan. Tapi saya tahu, orang di dekat saya sedang sakit lahir batin.

Pernah juga, saya yang senang mengamati perilaku orang lain, “menerka” kejadian yang pernah dialami seorang mahasiswa saya. Bukan perkara susah. Anak dewasa muda yang duduk di hadapan saya, tampak seperti anak-anak yang belum selesai jiwa bermainnya.

“Iya, kok ibu tahu sih?”, tanyanya balik, ketika saya tanya langsung.

Banyak ustadz saya datangi demi menjawab pertanyaan, kenapa saya jadi seperti dukun…

Jawabannya, biar untuk saya saja. Yang jelas, saya bukan indigo, nggak mau jadi indigo, dan nggak mau berurusan dengan urusan ghaib. Na’uzubillah.

Nah, dari menghadapi berragam orang itu, saya belajar banyak hal. Salah satunya adalah mencoba selesai dengan diri saya sendiri, menemukan diri saya seutuhnya. Kenapa? Karena ada masanya saya pun muntab hanya karena perkara remeh, dan korbannya adalah orang terdekat saya. Perkara remeh hanya pencetusnya saja, the tip of the iceberg. Akar masalahnya ternyata panjang berkelok-kelok ke satu titik. Titik ini yang harus dibereskan. Harus diikhlaskan. Harus diterima.

Nggak gampang. Butuh banyak air mata. Dan di atas segalanya, butuh pegangan yang kuat sama Allah.

That’s why, semakin dewasa, saya semakin menikmati kesendirian sementara. Sementara, karena saya dasarnya senang bertemu orang. Tapi butuh waktu sendiri, kadang sebentar-kadang lama, untuk me-charge hati-iman-rasa-logika agar tetap pada porosnya.

Agar segala beban dan sampah rasa, tidak saya bawa ketika berinteraksi dengan orang lain. Saya tidak menjadi racun pergaulan, tidak nyampah sana sini, tidak pula kebaperan.

Buat kamu yang sedang kemrungsung dengan masalahmu, dan sedang mencoba merenung, saya ingin berbagi mantra yang dengannya lepas satu-satu himpitan hati dan ekspektasi pada orang lain:

“HasbunaAllah wa ni’mal wakil, ni’mal maula wa ni’mannashir”

Cukuplah Allah menjadi Penolong kami, dan Allah adalah sebaik-baik pelindung

Ujian

Kita sama-sama membawa ujian di pundak kita. Saya punya, kamu punya, mereka pun punya. Ada yang diuji masalah ekonomi, masalah pekerjaan, perselingkuhan, jodoh…

Kita sama-sama tahu rasanya mengerjakan ujian kita sendiri. Adakalanya mudah, tapi seringkali terasa berat, susah, penat. Berat yang kita rasa ketika mengerjakan ujian tersebut, dirasakan juga oleh orang lain . Hanya saja dengan materi ujian yang berbeda, mungkin. Topiknya berbeda, kadarnya juga berbeda.

Maka, bukankah lebih baik kita saling memudahkan satu sama lain mengerjakan dan menyelesaikan soal ujian yang kita sama-sama harus lulus dengan baik darinya;

Alih-alih menambah beban, atau bahkan menjadi soal ujian baru bagi saudara kita?

Jawaban Sebuah Mengapa

Seringkali kita kehabisan jawaban dari pertanyaan mengapa.

Seperti ketika saudara saya diare berkali-kali, berhari-hari. Di hari keempat, ia loyo bagai tak berjiwa. Perutnya sakit, katanya. Obat sudah dikasih dua macam, semacam tidak mempan.

Dokter menyarankan untuk endoskopi saja. Keluarga mengiyakan. Di hari rencana endoskopi, diarenya malah berhenti.

Ada orang yang saya kenal sehat, bersih hidupnya, meninggal muda karena kanker paru-paru.
Ada orang lain yang hidupnya “asal”, masa mudanya akrab dengan minuman keras, ngebul tiada henti, tapi panjang umurnya melewati 75.

Menjadi atau tidak menjadi, meninggal atau tidak meninggal; sebenarnya nggak perlu alasan. Alasan adalah sunnatullah, ciptaan Allah agar kita semangat dan terus berusaha. Toh Allah menilai usaha dan kerja kita, bukan menilai hasilnya.

Ketika semua variabel sudah tidak relevan, saat itu mungkin kita harusnya sadar…

Bahwa kita nggak pernah mengandalkan kemampuan diri kita, kecerdasan kita, kekayaan, kesehatan, atau apapun yang kita rasa kita miliki.

Laa haula wa la quwwata illa billah. :”)

Siapakah yang Paling Indonesia?

Akhir-akhir ini, kita kerap berlomba paling Indonesia. Tapi, siapakah sesungguhnya yang paling Indonesia?
Apakah mereka yang tulen nenek moyangnya berasal dari Indonesia? Apakah orang Jawa? Apakah etnis Melayu? Apakah mereka yang punya andil membebaskan negara ini dari penjajahan?

Siapa sebenarnya yang paling Indonesia?

Nun jauh di Mekkah sana (jauh di jarak tpi dekat di hati), saya disapa seorang Ibu berparas Melayu. Tanda pengenalnya menunjukkan asal dirinya, Malaysia.

Kami bercakap-cakap sebentar. Antusias sekali saya mengetahui bahwa Ayahnya berasal dari suku Banjar. Kampung nenek moyang saya yang belum pernah saya injak seumur hidup. Ibunya asli Melayu.

Sedikit terpantik rasa heran saya, karena perempuan yang berprofesi sebagai guru tersebut medok Jawa. “Kenapa Ibu kok bicara seperti orang Jawa?”, tanya saya.

“Gimanalah, di kampung saya semua orang Jawa. Kiri, kanan, semua orang Jawa”, jawabnya. Ia ada menyebut nama tempatnya, tapi saya lupa.

Kali lainnya, ketika saya naik Grab menuju bandara internasional Penang, sang supir yang membawa saya ternyata juga orang Banjar. Masih pandai pula bapandir (bicara) bahasa Banjar, meski lahir, besar dan beranak pinak di Malaysia.

Mungkin memang urang Banjar adalah bagian dari lagu “Nenek Moyangku Orang Pelaut”, yang gemar mengarungi samudera, baik itu untuk berdagang, belajar atau menyebarkan agama.

Ah, lupa saya ceritakan tentang pertemuan bersejarah bagi keluarga Ibu saya. Nenek moyang saya dari pihak Ibu adalah orang-orang Jawa yang dibawa Belanda ke Suriname. Buyut saya pulang ke Indonesia bersama beberapa kerabatnya menggunakan kapal. Perjuangan besar untuk menemukan kembali ke-Indonesia-an mereka.

Eyang saya, punya saudara laki-laki satu-satunya yang tidak ikut pulang ke Indonesia. Maka, pada 2013, Mama saya yang cerdas dan gaul berusaha mencari jejak sepupunya di facebook berbekal potongan nama yang masih ia ingat.

Dan, bi iznillah ketemu.

Suatu hari di 2013, saudara-saudara saya itu datang ke Indonesia menemui kami semua. Bude saya, sepupu Ibu saya, pensiunan perawat yang menetap di Belanda; fasih berbahasa Jawa (dan menganggap semua orang Indonesia bisa berbahasa Jawa xD). Sedangkan anaknya, sepupu saya, generasi X yang sudah terdidik dan memiliki steady job, tidak bisa berbahasa Jawa, namun fasih berbahasa Inggris dan Belanda.

Mereka juga adalah orang Jawa. Jalan-jalan ke tempat wisata pun tidak akan dicharge dengan biaya orang asing karena wajahnya Jowo banget.

Tapi mereka bukan Indonesia.

Maka Indonesia, saya pikir, adalah kita semua, ketika kita menyandang status sebagai WNI dan taat patuh komit pada aturan di Indonesia. Kitalah pewaris negeri ini.

Sebagai pemegang warisan kemerdekaan, kita juga harus tahu sejarah bangsa ini. Karena saya seorang Muslim, saya akan sedikit mengelaborasi bagaimana Islam hadir di negeri ini, dengan pengetahuan saya yang nggak seberapa (dan sangat terbuka untuk koreksi dan pembenaran). Jadi, saya nggak membawa agama lain ya, karena buat saya “bagimu agamamu, bagiku agamaku”.

Sependek yang saya tahu, Islam ‘terbawa’ oleh jalur ekspedisi perniagaan rempah dan misi dakwah.

Di antara pembawa Islam adalah bangsa India, Timur Tengah, Persia dan yang tidak boleh kita lupakan jasa besarnya adalah bangsa China yang sudah memeluk Islam sejak masa sahabat sekaligus paman Nabi Muhammad saw, Saad bin Abi Waqash ra.

Ekspedisi besar yang dipimpin oleh Laksamana Cheng Ho, seorang Muslim yang taat, berlabuh di tempat yang sekarang kita kenal dengan Palembang. Banyak dari anak buah Cheng Ho yang memutuskan menetap dan membangun kehidupan di sana.
Bersama Cheng Ho adalah pencatat perjalanannya yang catatan perjalanannya digunakan sebagai rujukan sejarah Indonesia. Ma Huan, namanya. Ma, adalah versi China dari nama sejuta ummat yang diambil dari lelaki mulia, shalallahu ‘alaihi wa sallam: Muhammad.
Berdasarkan catatan pendek ini, maka jelas bahwa Islam di Indonesia tidak dibawa oleh satu arus utama.
Jika kita adalah Indonesia, maka sudah saatnya kita berhenti menyuruh satu sama lain “pulang ke Arab” atau “ini bukan Arab” hanya karena cadar dan jilbab panjang, misalnya.
Tentu, mereka yang melakukan itu tidak akan mau kalau dibalas, “elu aja sono pergi. Dulu waktu belanda angkat kaki, ente ketinggalan apa gimane?”.
Jika kita Indonesia, sudah saatnya kita berhenti membenci dan mencurigai ‘Islam’ dengan “corak-corek” tertentu. Kita harus akui bahwa Islam di Indonesia (dan dunia) berragam coraknya. Kalau kita mengaku toleran, maka buka ruang toleransimu untuk bentuk-bentuk yang berbeda dari Islam versi (keinginan)mu.
Saya yakin, mayoritas Muslim di Indonesia bukan mereka yang ingin mendirikan negara dalam negara. Dan meski celananya cingkrang, jilbabnya panjang; saya pun yakin tidak kurang cintanya pada negeri ini. Tidak kurang nasionalismenya, tidak kurang pula Pancasila-nya.

Sila buktikan saat terjadi bencana. Adakah mereka yang sibuk di ruang-ruang wacana “Nusantara-isme”, sibuk menunjuk bahwa Indonesia adalah kain dan kebaya (emang Indonesia cuma jawa?!) dan bukan baju Arab, mau terjun langsung ke daerah bencana? Mau pergi ke wilayah terpencil demi mencerdaskan anak bangsa?

Maka, kiranya, sudahlah. Terimalah kenyataan, mas bro dan mbak sis. Bahwa kami, orang Islam Indonesia yang ingin memperdalam agama kami untuk menjadi orang yang lebih baik, ada dan hadir di ruang yang sama dengan kalian yang sering memicing curiga.

Kami bukan cinta pakaian Arab, tapi kami memakai pakaian yang menurut kami menunjukkan kepatutan dan kepatuhan pada Tuhan kami. Lidah kami, lidah saya sih, masih lidah penggemar nasi padang dan nasi uduk Betawi. Sesekali diselingi Indomie (ini dalam mimpi aja…). Kami cinta syariat agama kami, dan bagian mana dari syariat kami yang bertentangan dengan Pancasila?

Indonesia adalah rumah yang ramah bagi semua. Indonesia bukan punya mereka yang berkebaya saja (lagipula apakah sekarang nasionalisme sesempit pakaian saja?), bukan punya mereka yang memilih Jokowi saja, bukan hanya milik mereka yang kaya, bukan hanya milik Jakarta saja, bukan hanya milik non disabilitas saja. Indonesia punya kita semua. Kita semua yang melepas belenggu-belenggu phobia terhadap satu sama lain.
Wallahu a’lam.
-Saya yang, meski tidak suka hal-hal yang bersifat upacara dan tahun ini lupa pasang bendera, tapi cinta Indonesia-