Pada Inspirasi Muslimah perdana ini, saya ingin memperkenalkan sosok “Muslimah Keren” yang dulu dikenal sebagai “petualang” karena pekerjaannya sebagai host di beberapa acara “petualangan” yang kebetulan adalah teman baik saya.
Bismillah…
***
Melihat sosoknya yang mungil dan manis, rasanya sulit untuk percaya bahwa ia adalah salah satu dari sedikit perempuan Indonesia yang pernah mencapai Puncak Cartenz, Papua. Wow! Bayangkan! Padahal Cartenz adalah salah satu dari Seven Summits, tujuh puncak tertinggi di dunia. Terletak di Pegunungan Jayawijaya, Puncak Cartenz berada pada ketinggian 4884 mdpl dengan puncak gunung diliputi salju abadi.
Bersama tim Metro TV, Ferissa Djohan, atau yang akrab disapa Rissa berangkat ke Puncak Cartenz dalam rangka menyemarakkan HUT Kemerdekaan Indonesia ke-62 sekaligus ingin mengibarkan Merah Putih di sana. Dibutuhkan banyak persiapan, ketahanan dan keberanian tentunya untuk bisa mencapainya. Menurut Rissa, pengalaman itu “mengerikan” karena ia nyaris meregang nyawa dalam perjalanan menuju ke Puncak Cartenz. Mantan host Jejak Petualang ini menyebutkan bahwa untuk menyebrang dari satu bukit ke bukit lain, para pendaki hanya menggunakan seutas tali; sedangkan pada saat itu ia bersama sepuluh orang lainnya (kru dan pendaki internasional) berada di ketinggian lebih dari 4000 meter dengan jurang yang entah dimana ujungnya! Disanalah Rissa nyaris berhadapan dengan maut.
“karena kecapekan saya ga sanggup menaiki dan menuruni bukit menggunakan tali lagi, istilahnya jumaring, naik turun pakai tali, ilmunya para pemanjat tebing itu deh,jadilah saya sempet jatuh dan kepala saya ada di bawah, sementara tali penghubung terikat di pinggangnya kameraman saya,” tulisnya dalam wawancara melalui surel beberapa waktu lalu.
Beruntung sang kameramen berhasil menahan tubuhnya. Saat itu, tubuhnya sudah upside down, dan sejauh mata memandang yang dilihatnya hanyalah jurang yang seakan tanpa dasar dan hamparan salju. Singkat cerita, ia tiba di Puncak Cartenz saat hari memasuki malam dalam keadaan lapar dan haus. Tim memulai pendakian pada pukul 1 dini hari, dan baru tiba di Puncak pukul 8 malam, disambut dengan gelap gulita dan badai es. Di puncaknya pun tidak bisa berlama-lama, karena mereka harus segera kembali, naik turun bukit menggunakan tali…sekali lagi.
Pengalaman itu, walaupun tidak ingin diulang Rissa, namun banyak menjadi pendorong semangatnya. Apabila Cartenz saja, yang mendakinya (dan menuruninya) begitu menantang maut, bisa ditaklukan maka permasalahan hidup pun semestinya tidak sesulit itu.
Walaupun usianya masih terbilang muda, namun dara kelahiran Jakarta, 29 tahun lalu ini sudah makan asam-garam dunia penyiaran. Diawali dari menjadi host Jejak Petualang semasa kuliah, lalu acara Trekking di RCTI, Archipelago di Metro TV, hingga menjadi anchor acara berita di beberapa stasiun TV. Pengalaman tersebut ditambah dengan pendidikan Master of Communications Science yang diraihnya pada 2011 lalu mengantarkannya saat ini menjadi produser acara Megapolitan di Kompas TV.
Ada yang berbeda dari Rissa beberapa tahun belakangan. Pada 2009, ia memutuskan untuk berhijab, sebuah “gunting pita” dari keinginan yang lama tertunda. Walaupun, ia mengaku harus lebih banyak belajar sabar (sebagaimana yang memang harus KITA SEMUA lakukan), namun ia tetap berusaha menjadi pribadi yang lebih baik.
Apakah hijab mengekang dirinya? Ternyata ia sama sekali tidak berpikir demikian. Rissa meyakini bahwa apa yang diperintahkan Allah dan Nabi Muhammad SAW pasti selalu ada hikmahnya. Hijab untuknya memberikan rasa aman dan nyaman serta menjadi penjaga sekaligus pengingatnya untuk selalu berperilaku Islami.
“Perempuan yang ngga suka sensasi biasanya jilbabnya sederhana aja yang penting menutupi aurat dan ngga mentingin harus begini dan begitu, isi otak sama isi hati paling utama untuk perempuan yang sejati menggunakan hijabnya, gw suka sih banyaknya tren mode hijab tapi esensinya dapat atau ngga itu tetap harus dilihat dari perilaku si perempuannya,” tuturnya.
Tantangan terbesar yang ia hadapi setelah berhijab justru tidak datang dari pekerjaan atau dunia sosialnya; namun tantangan terbesar yang ia rasakan justru datang dari dirinya sendiri untuk selalu memperbaiki perilaku agar tidak khilaf dan menurutkan emosi semata.
Lulusan S1 dari London School of Public Relations ini menyebutkan bahwa shalat ada ajaran Islam yang paling ia sukai karena dalam shalat manusia disuruh mencuci dirinya lima kali sehari. Selain itu, dengan shalat seseorang dapat mencurahkan isi hatinya langsung kepada Allah juga lima kali sehari. Shalat juga dirasanya sebagai cara menenangkan diri dari gejolak emosi.
“Dengan shalat slalu ada kesempatan mencurahkan apapun yang terjadi dg diri kita tiap harinya, ada cara menenangkan diri saat emosi, ada waktu setiap hari untuk melepas lelah secara batin, karena dinamika hidup manusia ga bisa slalu seneng. Tiap hari masalah selalu ada, mau dicari mau ngga, dan shalat ngajarin kita untuk mengembalikan setiap persoalan dengan Pemiliknya, dan kita bisa belajar dari tiap kesalahan yang kita buat dengan mengadu sama Allah, evaluasi dan belajar dari kesalahan itu. Shalat memang ternyata tiang agama dan kehidupan…”, pungkasnya.
Rissa adalah salah satu orang pertama yang saya kenal saat hari pertama kuliah di pascasarjana Fisip UI. Saya tidak menyangka, kehidupan dunia hiburan yang menurut saya saat itu saat menonjolkan tampilan fisik semata bisa “menyisakan” sosok seperti Ferissa yang menurut saya bukan hanya cantik secara fisik tapi juga cerdas dan sangat humble.
Semoga kita semua bisa mengambil hikmah dari “Muslimah Keren” yang satu ini. Berhijab, berkarya, dan selalu memperbaiki diri. 😉