Muslimah Keren: Jejak Muslimah “Petualang”

Pada Inspirasi Muslimah perdana ini, saya ingin memperkenalkan sosok “Muslimah Keren” yang dulu dikenal sebagai “petualang” karena pekerjaannya sebagai host di beberapa acara “petualangan” yang kebetulan adalah teman baik saya.

Bismillah…

***

Gambar

Melihat sosoknya yang mungil dan manis, rasanya sulit untuk percaya bahwa ia adalah salah satu dari sedikit perempuan Indonesia yang pernah mencapai Puncak Cartenz, Papua. Wow! Bayangkan! Padahal Cartenz adalah salah satu dari Seven Summits, tujuh puncak tertinggi di dunia. Terletak di Pegunungan Jayawijaya, Puncak Cartenz berada pada ketinggian 4884 mdpl dengan puncak gunung diliputi salju abadi. 

Bersama tim Metro TV, Ferissa Djohan, atau yang akrab disapa Rissa berangkat ke Puncak Cartenz dalam rangka menyemarakkan HUT Kemerdekaan Indonesia ke-62 sekaligus ingin mengibarkan Merah Putih di sana. Dibutuhkan banyak persiapan, ketahanan dan keberanian tentunya untuk bisa mencapainya. Menurut Rissa, pengalaman itu “mengerikan” karena ia nyaris meregang nyawa dalam perjalanan menuju ke Puncak Cartenz. Mantan host Jejak Petualang ini menyebutkan bahwa untuk menyebrang dari satu bukit ke bukit lain, para pendaki hanya menggunakan seutas tali; sedangkan pada saat itu ia bersama sepuluh orang lainnya (kru dan pendaki internasional) berada di ketinggian lebih dari 4000 meter dengan jurang yang entah dimana ujungnya! Disanalah Rissa nyaris berhadapan dengan maut.

“karena kecapekan saya ga sanggup menaiki dan menuruni bukit menggunakan tali lagi, istilahnya jumaring, naik turun pakai tali, ilmunya para pemanjat tebing itu deh,jadilah saya sempet jatuh dan kepala saya ada di bawah, sementara tali penghubung terikat di pinggangnya kameraman saya,” tulisnya dalam wawancara melalui surel beberapa waktu lalu. 

Beruntung sang kameramen berhasil menahan tubuhnya. Saat itu, tubuhnya sudah upside down, dan sejauh mata memandang yang dilihatnya hanyalah jurang yang seakan  tanpa dasar dan hamparan salju. Singkat cerita, ia tiba di Puncak Cartenz saat hari memasuki malam dalam keadaan lapar dan haus. Tim memulai pendakian pada pukul 1 dini hari, dan baru tiba di Puncak pukul 8 malam, disambut dengan gelap gulita dan badai es. Di puncaknya pun tidak bisa berlama-lama, karena mereka harus segera kembali, naik turun bukit menggunakan tali…sekali lagi. 

Pengalaman itu, walaupun tidak ingin diulang Rissa, namun banyak menjadi pendorong semangatnya. Apabila Cartenz saja, yang mendakinya (dan menuruninya) begitu menantang maut, bisa ditaklukan maka permasalahan hidup pun semestinya tidak sesulit itu. 

Walaupun usianya masih terbilang muda, namun dara kelahiran Jakarta, 29 tahun lalu ini sudah makan asam-garam dunia penyiaran. Diawali dari menjadi host Jejak Petualang semasa kuliah, lalu acara Trekking di RCTI, Archipelago di Metro TV, hingga menjadi anchor acara berita di beberapa stasiun TV. Pengalaman tersebut ditambah dengan pendidikan Master of Communications Science yang diraihnya pada 2011 lalu mengantarkannya saat ini menjadi produser acara Megapolitan di Kompas TV.

Ada yang berbeda dari Rissa beberapa tahun belakangan. Pada 2009, ia memutuskan untuk berhijab, sebuah “gunting pita” dari keinginan yang lama tertunda. Walaupun, ia mengaku harus lebih banyak belajar sabar (sebagaimana yang memang harus KITA SEMUA lakukan), namun ia tetap berusaha menjadi pribadi yang lebih baik.

Apakah hijab mengekang dirinya? Ternyata ia sama sekali tidak berpikir demikian. Rissa meyakini bahwa apa yang diperintahkan Allah dan Nabi Muhammad SAW pasti selalu ada hikmahnya. Hijab untuknya memberikan rasa aman dan nyaman serta menjadi penjaga sekaligus pengingatnya untuk selalu berperilaku Islami. 

“Perempuan yang ngga suka sensasi biasanya jilbabnya sederhana aja yang penting menutupi aurat dan ngga mentingin harus begini dan begitu, isi otak sama isi hati paling utama untuk perempuan yang sejati menggunakan hijabnya, gw suka sih banyaknya tren mode hijab tapi esensinya dapat atau ngga itu tetap harus dilihat dari perilaku si perempuannya,” tuturnya.

Tantangan terbesar yang ia hadapi setelah berhijab justru tidak datang dari pekerjaan atau dunia sosialnya; namun tantangan terbesar yang ia rasakan justru datang dari dirinya sendiri untuk selalu memperbaiki perilaku agar tidak khilaf dan menurutkan emosi semata. 

Lulusan S1 dari London School of Public Relations ini menyebutkan bahwa shalat ada ajaran Islam yang paling ia sukai karena dalam shalat manusia disuruh mencuci dirinya lima kali sehari. Selain itu, dengan shalat seseorang dapat mencurahkan isi hatinya langsung kepada Allah juga lima kali sehari. Shalat juga dirasanya sebagai cara menenangkan diri dari gejolak emosi.

“Dengan shalat slalu ada kesempatan mencurahkan apapun yang terjadi dg diri kita tiap harinya, ada cara menenangkan diri saat emosi, ada waktu setiap hari untuk melepas lelah secara batin, karena dinamika hidup manusia ga bisa slalu seneng. Tiap hari masalah selalu ada, mau dicari mau ngga, dan shalat ngajarin kita untuk mengembalikan setiap persoalan dengan Pemiliknya, dan kita bisa belajar dari tiap kesalahan yang kita buat dengan mengadu sama Allah, evaluasi dan belajar dari kesalahan itu. Shalat memang ternyata tiang agama dan kehidupan…”, pungkasnya.

Rissa adalah salah satu orang pertama yang saya kenal saat hari pertama kuliah di pascasarjana Fisip UI. Saya tidak menyangka, kehidupan dunia hiburan yang menurut saya saat itu saat menonjolkan tampilan fisik semata bisa “menyisakan” sosok seperti Ferissa yang menurut saya bukan hanya cantik secara fisik tapi juga cerdas dan sangat humble. 

Semoga kita semua bisa mengambil hikmah dari “Muslimah Keren” yang satu ini. Berhijab, berkarya, dan selalu memperbaiki diri. 😉

 

 

 

Untuk Ikhwatii Fillah, Para Kader PKS

Waktu pertama kasus LHI mencuat, asli saya kesel banget… Kenapa oh kenapa, partai yang awalnya berupa gerakan Islam yang lurus lempeng jadi begini.

Tapi sekarang, saya kok mulai simpati (walaupun saya bukan simpatisan). Kasusnya mulai aneh. Rasanya seperti mengada-ada dan sayangnya orang cenderung mengingat yang buruk daripada mencari kemungkinan lain yang baik.

Saya mungkin tidak akan menggunakan hak pilih saya nanti di Pemilu 2014, demi menjaga objektivitas :p dan entah saya sudah apatis. Tapi saya percaya, kalaupun ada yang membuat “konspirasi” untuk menjatuhkan PKS (dan Islam), Allah sebaik-baik pembuat “konspirasi”.

Pasca 9/11, di negara2 barat, orang berbondong2 masuk Islam dan Al-Qur’an pernah menjadi buku best seller. Jadi, ini PR banget buat saudara saudariku ikhwah fillah. Tetaplah berjalan di jalan lurus, mind your words and your attitudes. Media tidak akan menyoroti kalian ketika kalian susah payah penuh onak duri berdakwah dan melakukan kebaikan. Mengapa? Karena itu tidak menjual. Jadi, jangan kasih kesempatan mereka memiliki bahan “jualan” karena sikap dan kata-kata yang tendensius (seperti ikhwan yang ngedumel2 di depan pager DPP, misalnya).

Jangan juga meng-counter opini yang kontra dengan kalian dengan kata-kata indah tapi pedes. Saya kasih tahu rumusnya: Publik tidak melihat kata-kata indah, mereka membaca sikap keseluruhan. Semakin gencar kalian meng-counter isu (dengan ngedumel2 di status orang, atau di page penulis favorit yg kontra PKS) , di saat yang tidak tepat, semakin orang mundur berhambur. Percaya deh. Setiap kalian adalah “PR” a.k.a “Humas”, jadi kudu membuat strategi yang baik. Rumusnya cuma dua: Do the right things at the right time.

Komunikasi politik, dari apa yang saya pelajari nih selama kuliah S1 dan S2, is all about making good communication strategy. Kalau kalian sudah defensif bahkan ofensif, nggak akan bisa bikin strategi yang baik karena strategi kalian nggak memperhatikan “pasar”. Jadi kumpulkan opini yang kontra, cerna, lalu pikirkan baik-baik.

“Apa kira-kira yang ingin didengar mereka yang kontra?”

Saya harus katakan bahwa mereka ingin mendengar sensasi. Jadi jangan beri mereka sesuatu yang sensasional dengan emosi menggebu-gebu. (atau jawaban semacam, “Siapa sih yang membabi buta. Kami hanya membela pemimpin partai kami, apa kami salah?” Mungkin kita harus duduk bersama dan membuat persamaan definisi membabi buta, karena menurut saya itu namanya membabi buta…) Dan tolong, menggebu-gebu dimana-mini tidak membuat keadaan menjadi lebih baik.

So, apakah ini akan menjadi seperti kejadian 9/11 dimana berbondong2 orang masuk Islam atau untuk kasus PKS berbondong2 manusia memilih PKS?

Sebelum menjawabnya, saya kasih satu contoh lagi ya…

Media membuat gambaran “istri teroris” dengan “perempuan bercadar”. (padahal istri2 Rasulullah SAW bercadar… yang artinya ketika istri teroris=bercadar dan istri Rasulullah SAW bercadar, maka kesimpulannya… Ah… saya tidak sanggup menuliskannya…) Tapiiii lihatlah, semakin hari semakin banyak perempuan Indonesia yang mengenakan cadar. Saudari2 Muslimah kita yang bermanhaj Salafi berbondong-bondong melengkapi penutup auratnya dengan cadar, dan rasanya sudah mulai “biasa” melihat di Mall berpapasan dengan perempuan bercadar atau berkerudung luebar. Ini “konspirasi”-nya Allah.

Betapa mudahnya Allah menaikkan elektabilitas PKS, memenangkan partai dakwah ini… Tapi Allah pasti hanya akan memenangkan agama-Nya melalui pribadi-pribadi yang lurus. Maka, ini sungguh bergantung pada kalian 🙂

Saya tidak lebih pintar dari siapapun. Apalagi lebih shalih dari siapapun. Saya hanya berharap sedikit ilmu yang saya tahu dapat saya bagi kepada ikhwah fillah yang memilih jalan dakwah melalui parlemen. Sungguh, ini cinta saya pada kalian, dan di atas segalanya, cinta saya pada Islam.

Semoga yang sedikit dan mungkin agak pahit bisa bermanfaat.

Salam,
Ukhtukum Fillah 🙂

Perempuan Gaptek?

Dalam sebuah kelas kajian budaya dan media yang sedang membahas tentang feminis, beberapa tahun silam, saya masih ingat sebuah kalimat. Detail redaksinya sih saya lupa, tapi intinya adalah, beberapa peralatan elektronik konon dibuat untuk memudahkan para ibu rumah tangga mengerjakan pekerjaan rumahnya; namun pada akhirnya mereka tetap membutuhkan pria untuk mengoperasionalkannya. Selain fakta bahwa engineer yang menemukan dan merakit mesin cuci, dishwasher machine, rice cooker, atau microwave sebagian besar adalah laki-laki, dalam pandangan di atas tersirat pesan bahwa dalam bahkan dalam teknologi rumah tangga sekalipun posisi perempuan seakan berada di bawah laki-laki karena ke-kurangcanggih-annya mengoperasikan peralatan rumah tangganya sendiri. Ya namanya juga belajar feminisme, pandangan su’uzon yang selalu menganggap seolah-olah perempuan berada di bawah kekuasaan laki-laki. Pandangan yang saya nggak pernah bisa menerima, karena justru “membodohi” diri sendiri. Buat apa berpikir perempuan sub marginal, dan lantas berjuang untuk menyetarakan diri? Saya sih, alhamdulillah, tidak dibesarkan dan tidak merasa dipelakukan sedemikian. Paman-paman saya dari pihak mama hampir semua bisa mengerjakan pekerjaan rumah tangga karena eyang saya tidak pernah membeda-bedakan anak laki-laki dan perempuan baik dalam pendidikan maupun pekerjaan rumah tangga. Semua harus sekolah tinggi, di sisi lain semua juga harus bisa mengurus rumah. Papa saya pun dibesarkan oleh seorang abah yang punya visi jauh ke depan untuk mendidik anak-anak perempuannya. Suami saya malah menyuruh saya bekerja, jangan di rumah saja. Suami menyuruh saya mengerjakan apapun yang bermanfaat, karena suami saya menghargai kapabilitas istrinya (dan marah-marah kalau tahu istrinya dibayar murah :p).

Anyway, saya sendiri, sebagai perempuan yang minus kemampuan teknik tidak merasa “kalah” atau tidak setara karena dalam banyak hal saya bergantung pada laki-laki (baca: suami, atau kadang tukang ehehehe…). Memang benar sekali, saya membutuhkan suami saya, atau teknisi peralatan elektronik untuk membantu saya mengoperasikan mesin cuci baru *ehm* atau membetulkan kulkas, HP, laptop, dan banyak lagi. Apakah saya merasa rendah? Ah tidak sama sekali. Saya malah merasa girang karena tidak perlu melakukan pekerjaan yang membuat saya mumet seperti itu. Harap maklum, dalam setiap tes psikologi yang pernah saya ikuti, dari semua kemampuan yang diujikan, kemampuan teknis selalu menempati urutan paling rendah. Hihihii…

Suami dan istri, perempuan dan laki-laki, bahkan sejatinya setiap individu memiliki kemampuan yang berbeda-beda, bukan? Bukan karena laki-laki cenderung lebih mampu mengerjakan hal-hal sifatnya teknikal berarti perempuan tidak bisa, atau bukan karena perempuan tidak bisa artinya ia lebih rendah dari laki-laki. Toh dalam banyak hal, saya sih, jujur saja merasa sangat senang dan bahagia kalau suami saya yang meng-handle banyak hal. Jadi saya tinggal duduk manis, dan bebas melakukan hal-hal yang saya inginkan. Rasanya saya istimewa banget gitu, bak putri raja yang tahu beres aja. 😀

“Orang yang baik antara kamu adalah orang paling berlaku baik terhadap istrinya dan akulah orang paling baik terhadap istri dari kalangan kamu.” (Hadis riwayat at-Tirmizi).

 

Beberapa Perempuan Memilih Tidak Menunjukkan Wajahnya

“Kayak istri teroris,” seseorang memberi komentar atas dirinya. Sosoknya berhijab panjang dan bercadar. Kebetulan ia makan bakso, satu meja dengan saya.

Entah mengapa tensi saya selalu naik mendengar kata-kata itu. Dan sekalipun saya tahu nada suara saya akan lebih tinggi -sadar atau tidak sadar- menjawab komentar tersebut, sulit menahan diri untuk tidak berkomentar.

Gambaran perempuan bercadar sudah dikonstruksi sedemikian rupa oleh media massa, hingga cadar, pakaian yang semestinya menunjukkan sebuah kehormatan dan pemuliaan pada perempuan menjadi begitu menyeramkan, Istri Teroris. Masih lebih baik, saya pikir dibandingkan dengan “koruptor” atau “istri koruptor”, mengingat banyak perempuan tersangka kasus korupsi mendadak berhijab dan bercadar (walaupun saya juga bisa paham bahwa hal itu dimaksudkan untuk melindungi dan menjaga nama baik keluarga tersangka).

“Bukannya itu cuma budaya Arab aja?”

TIdak tahukah mereka bahwa ketika seruan menutup aurat turun, para perempuan Muslim bergegas mengambil kain apapun yang bisa mereka kenakan untuk menutupi aurat mereka? Tidak tahu jugakah mereka, bahwa sebelum Islam, banyak perempuan Arab yang berpakaian terbuka dan berlenggak lenggok dengan sengaja untuk menarik perhatian lelaki? Artinya sebelum Islam, berhijab rapih sesuai syariat, apalagi bercadar bukanlah sebuah kebudayaan.

Teringat saya pada rekan-rekan saya yang bercadar dan bagaimana santun dan demikian terhormatnya perilaku mereka. Mereka pun bercanda, tergelak bahkan terbahak, sama seperti perempuan normal lainnya. Oh maaf, tidak sama, mereka terbahak dengan menutup mulut mereka. Anggun dan elegan. Mereka pun menyukai barang-barang bagus seperti perempuan normal lainnya. Tersembul jam tangan dari ujung tangan salah seorang kenalan saya yang bercadar, warnanya shocking pink. Tak sengaja pula saya melirik ke sandal perempuan bercadar lainnya, Fit Flop asli. Tas bermerk, gadget canggih. Dari cara mereka bicara dan bertutur kata, saya tahu mereka berpendidikan tinggi. Mereka perempuan biasa dalam keseharian. Pusing dengan tetek bengek rumah tangga, juga terjebak di kemacetan yang sama.

Tidak ada kewajiban bagi seorang perempuan Muslim untuk bercadar. Memang iya. Tetapi haruskah karena sempitnya pengetahuan dan resistensi diri kita berpikir mereka istri teroris karena mereka terkesan serba ekstrem?

Lalu apakah perempuan yang berpakaian juga serba ekstrem terbukanya lebih mulia dari perempuan yang bercadar? Apabila yang mengumbar punya “hak” untuk berpakaian serba terbuka dan dianggap trendy, lalu mengapa yang menjaga “haqq” distigmatisasi?

Mengapa mereka bercadar padahal banyak dari mereka yang temui punya lebih dari cukup uang untuk bersenang-senang dengan keluar masuk salon, gonta ganti penampilan? Mengapa malah memilih untuk menutupi kecantikan diri? Mengapa mengorbankan citra diri di tengah masyarakat yang masih tinggi resistensi?

Alasan seseorang mungkin berbeda-beda…

Tapi apabila suatu hari nanti saya berpikir untuk tidak memperlihatkan secuil pun bagian tubuh saya pada siapapun kecuali yang berhak melihatnya, inilah mungkin yang menjadi satu dari sekian alasan saya:

Karena istri-istri Rasulullah SAW bercadar. Dan siapakah perempuan yang lebih baik untuk ditiru dalam segala hal daripada istri-istri Rasulullah SAW?

Bukan Oki Setiana Dewi sekalipun hijabnya syar’i, bukan pula Dian Pelangi sekalipun hijabnya menarik hati…

Jadi, berhentilah mengatakan dan mengaitkan perempuan bercadar dengan terorisme. Apakah kita akan mengatakan hal yang sama apabila kita tahu bahwa ummahatul mu’minin, istri-istri Rasulullah SAW juga bercadar?

Journal of The Honeymooners: Let’s Play!

Wah, sudah hampir sebulan dari liburan saya ya. Sebetulnya kurang oke untuk sebuah catatan perjalanan, kalau bisa dibilang catatan perjalanan. Semoga tidak salah kalau saya mulai bercerita kembali. Ini adalah perjalanan bulan madu saya dan suami yang ke sekian. Tapi, alhamdulillah, syukur dan terima kasih pada Allah, menjadi one of the best.

Pada posting terakhir, saya bercerita tentang BNS. Sekarang, saya ingin menceritakan tentang wahana bermain yang lebih spektakuler dari BNS, Jatim Park. Dengan harga tiket yang murah (kalau nggak salah lagi ada promo 65.000 all in), kita bisa menikmati tiga wahana sekaligus, Museum Satwa, Jatim Park 2 dan Batu Secret Zoo. Udara kota Batu yang sejuk dan rangkaian pegunungan yang menghiasi pemandangan menambah semangat saya dan suami di hari kedua kunjungan kami ke Batu. It’s time to have fun!!

Saat sampai, saya cukup terkejut karena di hari kerja saja, kompleks Jatim Park begitu ramai oleh anak-anak dan keluarga. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana ramainya pada akhir pekan atau hari libur sekolah. Phew…

Pertama adalah Museum Satwa. Konon semua binatang yang dimuseumkan adalah asli, alias binatang yang diawetkan. Jujur, awalnya saya kurang semangat melihat binatang diawetkan. Museum Satwa memang sangat cocok sebagai wahana edukasi. Anak-anak pra sekolah, sampai masa-masa awal sekolah (mungkin kelas 1-3) pasti akan sangat senang dibawa melihat Macan sungguhan yang tidak mengaum apalagi mengigit. Tapi, terus terang, saya dan suami merasa bosan. Mungkin kami terlalu tua untuk itu :D. Namun demikian, kebersihan dan pengelolaan Museum Satwa patut diacungi jempol. Two thumbs up!!

Keluar Museum Satwa, kami menuju Batu Secret Zoo. Saya dan suami mulai “turn on” lagi melihat ragam satwa, mulai dari yang standar ada di kebun binatang seperti monyet sampai spesies primata lain yang nyaris punah. Spesies yang, I don’t even know they exist! Mungkin saya yang kurang pintar, tapi saya baru tahu ada banyak jenis primata cantik, kecil, mungil, dan berekor panjang. Dan Maha Suci Allah, saya merasa haru melihat bagaimana sang Ibu (atau bapaknya mungkin…) menggendong anaknya. Ada sebagian yang meletakkan di punggung, ada yang di dada. Bahkan ada yang saya dapati sedang mengelus-elus kepala anaknya. Yang ini mungkin saya lebay, mungkin si Emak lagi mencari kutu anaknya, tapi dalam pandangan saya yang sedang mellow pemandangan itu tampak seperti ibu mengelus kepala anak. Apa jenis primatanya? Wallahu a’lam. 😀 Maaf, saya tidak (kepikiran untuk) mencatatnya.

Apa yang paling membuat saya terkesan dari Batu Secret Zoo? Es potong seharga Rp.10.000 untuk tiga tangkai. Hahahaha… Tapi bener deh, itu murah buanget. Rasanya enak lagi. Hihihi…

Koleksi binatang di Batu Secret Zoo, saya harus bilang, cukup lengkap. Sekali lagi saya harus beri dua jempol untuk kebersihan lingkungan, bahkan di tempat makan sekalipun. Entah apa pengelolanya yang sangat menjaga lingkungan atau memang pengunjungnya yang sadar kebersihan. Mungkin juga kombinasi keduanya. Ya kalau satu dua bungkus es krim atau permen tercecer pasti ada, tapi maksud saya dengan situasi yang penuh anak-anak seperti saat itu, tingkat kebersihannya luar biasa.

Batu Secret Zoo juga sangat informatif dan edukatif. Di setiap kandang binatang selalu ada informasi tentang asal usul, nama latin maupun nama panggilan :p binatang tersebut.  Ada juga beberapa papan permainan tebak-tebakan yang menarik. Misalnya ada kumpulan gambar mata binatang, lalu kita bisa menebak binatang apakah itu. Jawabannya ada di balik gambar tersebut. Tidak bisa juga diremehkan, karena saya dan suami saya lumayan banyak salah tebaknya. Hihihi…..

Oh iya, yang menarik juga ada kandang Flamingo. Eh bukan kandang sih, sebutlah wahana. Saya langsung nyuruh suami foto di situ, biar berasa di San Fransisco. Hihihi…

Saya nggak tahu apakah yang dimaksud dengan Jatim Park itu terdiri dari Museum Satwa, Batu Secret Zoo dan Amusement park atau Amusement Park-nya itu adalah si Jatim Park itu sendiri. Yang jelas, ada penghubung antara Batu Secret Zoo menuju amusement park. Jalan yang ditata sangat rapih dan menarik, dikelilingi nuansa Afrika di kiri kanan tempat beberapa jenis herbivora dilepas. Antara pengunjung dan wahana herbivora tersebut dibatasi kaca tenbus pandang. Seru!

Oh iya, area kompleks Jatim Park ini luas banget. Capek deh kalau jalan-jalannya mau “sok cantik” pake high heels. Sneaker is the best!! Saking luasnya, sampai disewakan kendaraan yang mungkin percampuran antara kendaraan golf dan motor. Hehe… Kebayang nggak?

Di Amusement Park, saya dan suami sebenarnya nggak main apa-apa. Penuh semua. Jadi, saya cuma menemani suami main lempar-lempar bola untuk dapat token. Suami saya membuatnya tampak begitu seru sampai-sampai banyak yang berhenti dan menonton di pinggir. Hihihi… Dan the best part is, waktu token suami saya berhadiah dua boneka unyu yang didedikasikan untuk saya. Asli, saya berasa anak ABG pacaran. xD Eh nggak segitunya juga sih, suami saya masih “ngitung”, jadi boneka yang saya mau menyisakan 5 token yang cuma dapet sticker nggak jelas menurut suami saya. Jadi , mau nggak mau saya nurut milih jenis boneka yang tidak menyisakan token sama sekali. Dapet deh satu gantungan kunci sapi, satu boneka kelinci.

Amusement park-nya sendiri sangat meriah. Cocok banget deh dibikin di Batu. Udaranya sejuk, pemandangannya indah, orangnya ramah-ramah. Ah, pokoknya asik…

Suami saya juga kebelet banget naik kuda. Sedangkan saya ogah banget naik kuda. Jadi saya menemukan semacam petting zoo dan saya main di sana. Nemunya juga nggak sengaja sih, secara saya nggak ngeh-an, gara-gara ngeliat ada ayam kate yang tampak sok tau berkeliaran di tengah keramaian. Rupanya dia baru saja melarikan diri dari kebun binatang mini yang isinya kuda poni, keledai kecil, aneka kelinci, marmut, ayam kate dan hamster.

Dan saya pun masuk ke dalam. Masuk ke kandang besar tempat aneka kelinci, marmut dan ayam kate bergaul dan bercengkrama. Hihihi… Saya menemukan kelinci besar tapi bercambang. Sepertinya campuran jenis Flemish dan Lion. Warnanya hitam, tingkahnya tengil. Waktu saya dekati untuk saya elus-elus, dia malah berusaha mengendus tangan saya penuh nafsu. Khas kelinci sih, tapi dia tampak begitu lapar dan tangan saya tampak menggugah seleranya. Dan waktu saya melangkah lebih jauh tiba-tiba ada yang nyeri sekaligus geli di kaki saya. Rupanya si hitam sedang asik makan ujung depan sepatu saya. Hahahahaha… Asli kocak banget… Kayak yang bisa aja makan sepatu.

Saat kami kira jalan keluar sudah dekat, rupanya kami salah. Rute perjalanan kami masih panjang, dan kami melewati “secret zoo” betulan. Jalan menuju pintu keluar sengaja dibuat melewati kandang aneka satwa. Di sanalah saya akhirnya melihat wujud asli Hyena. “Secret zoo” tersebut benar-benar mengejutkan. Saya sangat terkesan.

Gambar

Sebagai pasangan “muda” yang menikah di usia muda (ibu saya bahkan baru menikah di usia saya sekarang), menjalani lima tahun tentu tidak sedikit drama-nya. Siapa drama queen-nya? Saya dong :p Hehehe… Liburan yang “fun” dan tidak melulu romantis menye-menye saya rasakan begitu.. bagaimana nulisnya ya… relieving? Semacam melegakan? Ya, bermain bersama selalu menyenangkan dan menyisakan perasaan lega. Ada kedekatan yang tidak bisa dicapai oleh suasana romantis a la candle light dinner dan setangkai bunga mawar. Saya merasa muda. Amat muda. Sesaat saya melupakan urusan anak. Urusan ingin punya anak, tepatnya. Betapa saya bersyukur, diberi kesempatan bermain dan pacaran lagi ala anak ABG di saat teman-teman saya yang lain sibuk mengurus kedua balitanya.

Soundtracknya hari itu: “Indahnyaaaa bercinta saat muda…”-nya Nidji 😀

Insya Allah, apabila masanya untuk saya dan suami memiliki anak-anak yang lucu, kami sudah siap karena kami sudah puas “pacaran”, wara-wiri bulan madu kesana kemari 🙂

Sekarang, nikmati yang sekarang 😉 \(^,^)/