Let’s Love Indonesia, Don’t Hate Malaysia

Benci Malaysia?

Hmm… Saya kok merasa ganjil ya. Saya memang, jujur saja, terbawa-bawa opini media massa, terutama masalah penyiksaan dan ‘perbudakan’ pekerja migran -apakah legal atau ilegal- di sana (nggak mencakup Manohara di dalamnya ya…). Masalah pulau-pulau yang ‘diambil’ itu, masalah budaya-budaya yang diklaim itu, masalah Cinta Laura yang juga diklaim itu *please deh…kok mau nge-klaim Cinta Laura*, masalah kantor suami saya yang didemo karena dimiliki Malaysia, masalah ini itu itu ini yang lain… tidak membuat saya se-sebal itu. Tapi penyiksaan dan tekanan terhadap pekerja migran di sana, membuat saya sungguh-sungguh kesaaaaaal sekali.

Bukankah dalam pembukaan undang-undang sudah disebutkan, ‘Penjajahan di atas dunia harus dihapuskan! *aslinya ngga pake tanda seru…hehe* Karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan…’ Kalau tidak salah begitu bunyinya.

Namun demikian, hal itu tidak membuat saya antipati atau benci atau menyamaratakan orang Malaysia dengan tipikal sifat yang sama: suka menyiksa. Apa iya? Kok sempit sekali pikiran saya ya…

Papa saya juga memiliki tendensi negatif terhadap bangsa tetangga itu. Sebabnya, rekan se-flat-nya semasa pendidikan di Filipina dulu, yang juga orang Malaysia (dan Muslim), menurut Papa saya sangat hipokrit. Dan Papa saya selalu menabuh genderang perang keras-keras bagi orang-orang semacam ini, apapun bangsa dan sukunya. Akan tetapi, sayangnya, Papa saya juga akhirnya meng-generalisasi semua orang Malaysia.

“Ah, mereka itu Islam-nya nggak bener. (?!). Lihat itu si X (menyebut nama bekas koleganya), sudah punya istri di negaranya masih ada affair. Pokoknya mereka semua nggak bener aja Islamnya… ” begitu kurang lebih Papa saya ‘misuh-misuh’ kalau disinggung-singgung soal orang-orang Malaysia.

Saya bengong. “Ya nggak juga kali,Pa. Masa negara segitu gedenya selingkuh semua laki-lakinya, atau nggak bener semua Islam-nya. Kalau bener begitu, Allah pasti sudah meng-azab Malaysia duluan…”

Masalah Affair, perselingkuhan, siapapun bisa punya affair. Kayak nggak tau aja kelakuan sejumlah nama anggota DPR Indonesia yang ‘tertangkap kamera’ punya affair dengan bukan pasangan legal-nya. Belum lagi Artis-artis Indonesia yang perselingkuhannya menjadi komoditi bagi televisi. Kurang banyak apa…

Masalah Islam-nya nggak bener. Lha, orang Indonesia berapa banyak yang mengaku Islam tapi nggak pernah sholat, nggak pernah bayar zakat, korupsi gila-gilaan, banyak berbohong, tidak amanah, pergi ke dukun, percaya zodiak, absen sholat Jumat; atau sholat tapi senang membuat ‘petasan-petasan’ raksasa yang melukai banyak orang…

Nggak usah orang Indonesia deh, orang Arab aja, yang sebangsa sama Rasulullah, betapa banyaknya yang berkeliaran di daerah Puncak menggandeng, merangkul, memeluk ‘istri lokal’-nya. Mereka bisa lebih sadis lagi malahan, dalam soal siksa menyiksa pekerja migran. Jadi ingat kasus TKI yang jenazahnya dibuang di belakang Masjid, sampai imam Masjidnya menangis melihatnya. Kok berani ya, udah berbuat zolim minta ampun, dibuangnya di belakang Masjid lagi…? Itu yang melakukan hati nurani dan rasa malu-nya ketinggalan di rahim ibunya, barangkali,,, *ngelantur kemana-mana*

Kembali ke konteks, tetapi sejurus  kemudian Papa saya melanjutkan, “Tapi si Y (menyebut koleganya yang lain) itu Malaysia baik (?!), nggak sombong orangnya, humble, beda deh sama si X…”.

Haha. Lucu ya. Malaysia baik dan Malaysia tidak baik. Saya pikir, di dunia ini, apapun suku bangsa-nya, bahkan apapun agama-nya, manusia memang terbagi dua: baik dan tidak baik. Jadi tidak ada alasan untuk menambah embel-embel keanggotaan tertentu di depannya.

Benar kata seorang teman saya, apa bedanya kita dengan orang-orang Barat yang menyamaratakan Muslim sebagai teroris semua?

Buktinya orang-orang Malaysia yang saya temui di Indonesia, rasanya sih pada baik-baik aja… Hanya saja saya sedikit tidak diuntungkan karena saya dan suami saya beberapa kali ‘dikejar-kejar’ pedagang di tempat wisata karena disangka orang Malaysia, walaupun saya sudah mati-matian meyakinkan si Mbak penjual pulpen di Borobudur bahwa saya orang Indonesia; dan mendapat harga yang lebih mahal saat makan-makan di Tangkuban Perahu. Untung di Tanah Abang saya nggak dimahalin juga… Haha… x)

Bagi saya pribadi, sebal pastinya dengan penyiksaan pekerja migran di negri Jiran; tapi kalau mau dipikir-pikir lagi, siapa suruh mereka dikirim terus ke sana? Kita juga pasti kesal kan dengan imigran gelap dari negara tertentu yang menetap secara ilegal di Indonesia, yang hidup dari perdagangan narkoba?

Saya sebal juga dengan klaim-klaim Malaysia terhadap budaya kita. Tapi kenyataannya, Malaysia memang punya batik, walaupun motifnya, pastinya tidak se-indah, tidak se-filosofis batik Indonesia yang tiap guratannya kaya makna. Oh iya, Afrika juga punya batik lho! Malahan katanya salah satu asal-muasalnya batik di Asia Tenggara itu dari Afrika dan India. Tapi mereka adem ayem aja tuh, padahal batik Indonesia dijadikan world heritage, yang artinya bukan lagi monopoli Indonesia tapi sudah dimiliki masyarakat dunia…

Jadi, salah gue? Salah temen-temen gue? *nggak nyambung*

Salahnya adalah kita baru ribut, dan merembet-rembet kemana-mana saat budaya kita sudah diklaim bangsa lain. Seperti Tari Pendet, Tari Serimpi (yang jadi iklan turisme Malaysia di Discovery Channel), dan lain-lainnya. Kayak yang peduli aja sama budaya sendiri sebelum diklaim Malaysia? Mungkin kita juga nggak bisa membedakan mana batik Jogja, mana batik Pekalongan; kita juga (saya sendiri sih tepatnya) mungkin tidak bisa membedakan tari-tarian Jawa.

Waktu saya melihat iklan turisme Malaysia yang ada Tari Serimpi-nya, yang saya yakin itu nggak mungkin budaya asli Melayu karena karakter tariannya luwes; saya ragu-ragu, itu tari apa ya namanya? Saya coba search di google, dan guess what? Benar itu Tari Serimpi dari DIY! Dan saya bahkan butuh gugling lagi ketika menulis ini karena saya ragu-ragu Tari Serimpi asalnya dari mana… *ketahuan deh…*

Jadi, daripada membenci orang-orang Malaysia, lebih baik kita coba menjernihkan pikiran dulu sekarang. Kewajiban kita adalah melestarikan budaya Indonesia. Mempelajarinya, mengajarkannya pada bangsa lain, mempromosikannya besar-besaran di media supaya Indonesia laris manis didatangi turis, dan melestarikannya. *PPKN banget*. Dan kewajiban kita juga, sebagai Muslim, untuk memuliakan tamunya. Sedangkan membenci orang-orang Malaysia, tidak termasuk pada kewajiban kita. Kayaknya sih nggak dapet pahala juga :p .Malahan bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila dan ke-Muhammadiyah-an (?!).

Malahan menghabiskan energi, malahan tidak meluaskan wawasan kita, dan yang lebih serem bisa merusak ukhuwah Islamiyah. Kita menolak belajar dari mereka, padahal kita sendiri juga jauh dari sempurna. Setidaknya, kata National Geographic Channel, Malaysia telah berhasil menuntaskan banjir pada ibukotanya, dengan teknologi tinggi yang kata NGC pertama di dunia. Yang beginian nih yang seharusnya gantian ‘dicontek’ sama Indonesia. Bukan malah marah-marah aja.

Ada satu hal lagi yang saya suka dari orang-orang Malaysia, terutama perempuannya. Saya suka sekali jika mereka berbaju kurung. Selain busananya santun dan perempuan sekali, katanya sih bahannya banyak dibeli di Bukit Tinggi, hehehe,,,tetep bangga dengan produk sendiri,, Dan mereka tidak malu mengenakannya. Coba deh cewek-cewek Indonesia disuruh pake kebaya atau baju kurung pergi kuliah, kalau nggak pada biang keringet, hihi…

SO, tunjukkan pada bangsa lain, Indonesia adalah bangsa yang ramah tamah, dan tidak suka menjamah apalagi menjarah… Tunjukkan pada bangsa lain, Indonesia adalah bangsa yang cerdas dan tidak mudah ditindas… Tunjukkan pada bangsa lain Indonesia adalah bangsa yang rendah hati; tapi anti intimidasi…

Kita dihormati hanya dengan bersikap terhormat 🙂

Let’s Love Indonesia, Don’t Hate Malaysia..

Selamat Musim Hujan

Aku suka suara daun kering yang terinjak. Seperti berteriak marah, sekaligus pasrah tanpa daya. Aku suka melihat daun yang berguguran. Menerbitkan rasa romantis yang norak dari seorang perempuan yang hidup di negeri tropis, tidak tahu seperti apa bentuk musim gugur di negari empat musim. Aku suka keduanya. Melihat pepohonan menggugurkan daunnya; dan menginjak-injak daunnya. Dan hanya ada satu tempat yang sempurna untuk itu. Tapi aku tidak akan mengatakannya kepadamu. Aku hanya akan membiarkanmu menebak-nebaknya.

 Hanya aku dan Tuhan saja yang tahu, betapa aku menyukai berjalan di setapaknya yang dipenuhi dedaunan kering sekaligus dihujani guguran daun. Indah sekali. Apakah ini rasanya musim gugur?

Saat berbilang tahun aku absen mendatanginya, mereka, pepohonan tua dan besar-besar itu sudah tidak lagi mengenaliku. Mungkin berat badanku bertambah sehingga aku tampak gemuk sekali. Atau memang aku hanya satu dari ribuan penikmat guguran daun dan bunyi ‘gemeresek’ saat ia diinjak? Atau…ah…mungkin aku memang tidak layak diingat-ingat. Toh aku sendiri sudah mencoba melupakan tempat ini. Hanya saja… terkadang suara ‘gemeresek’ itu begitu menggoda…

“Hei kamu…datang lagi!” Ah, akhirnya ada juga yang mengenaliku. Sebatang pohon X, yang tak perlu kusebutkan namanya karena memang aku tidak tahu. Yang jelas ia cukup tinggi dan cukup rindang untuk menaungiku, dan pada masa-masa seperti ini, daunnya banyak sekali yang berguguran.

“Masih mengenaliku, pohon? Ia bergoyang sedikit. Tidak sampai menjatuhkan daun sehelai pun. “Kamu selalu berdiri di sini dengan wajah sumringah dan pipi bersemu merah penuh gairah. Tapi hari ini sedikit berbeda. Nyaris saja aku tidak mengenalimu,”

“Apa yang membuatku berbeda? Pasti aku tambah gemuk ya?”

“Hmmm… Kami pepohonan tidak peduli pada hal-hal demikian. Kamu tampak lebih bahagia, tapi pipimu tidak lagi bersemu merah. Hatimu lebih tenang walaupun sedikt lebih tidak bergairah. Dan matamu lebih redup tapi lebih mengayomi.”

Aku sedikit terkejut. “Wah, aku tidak tahu ada diam-diam memperhatikanku… Aku sudah beranjak tua, Pohon. Wajar saja jika aku tidak menampakkan wajah remajaku lagi.”

“Aku tidak diam-diam memperhatikanmu. Kamu-lah yang selalu berdiri di sini dan diam-diam memperhatikan. Aku hanya memperhatikan itu.”

Aku tertawa berderai-derai. “Pohon, kamu ada-ada saja….”

“Ah akuilah, untuk itu kan kamu kembali? Masih menunggu rupanya?”

Aku menengadah jauh ke atas. Tersenyum lebar. Selebar-lebarnya.

 “Pohon yang budiman, aku kembali karena merindukanmu dan teman-temanmu menggugurkan daun kalian. Aku sudah tidak menunggu apa-apa lagi, Pohon. Aku sudah dapatkan apa yang aku cari… Dan asal kamu tahu ya, Pohon, aku tidak pernah mengintip dari sini…”

Ia sedikit cemberut. “Aku tidak mengatakanmu mengintip. Aku kan bilang memperhatikan diam-diam.”

“Hihihi… Sudahlah. Hmm..Sepertinya aku harus pulang, lihat, langit sudah menghitam. Dedaunan yang jatuh akan basah dan menghitam terinjak kaki-kaki yang berlumur lumpur. Aku tidak suka itu. Aku sebaiknya pulang sekarang. Senang bercakap-cakap denganmu,” Aku mengangkat topiku sembari berseri. Topi bundar bersisi lebar, dengan pita merah muda.

“Baiklah. Senang mengetahui kamu sudah bahagia. Sering-sering mengunjungiku. Aku akan senang menaungimu seperti dulu,” ujar Pohon sambi mengedipkan mata.

“Tentu. Selamat tinggal dan selamat musim hujan…” Hujan pun turun satu-satu. Rerumputan menangis haru karena sudah lama tidak bermandi hujan. Baunya lembut mengajakku berdansa dengan iringan seruling bambu.

Tempat itu masih seindah dulu. Kuberitahu padamu sedikit rahasia mengenai tempat itu: ia tetap indah saat panas, maupun dingin. Kemarau maupun hujan. Tapi di antara semuanya, ia menjadi lebih indah, paling indah saat kamu jatuh cinta 😉