If You Call It Nikah Mut’ah; I Call It Prostitution

Penasaran dengan nikah mut’ah dan ajaran Syiah yang akhir-akhir ini marak di pemberitaan, saya coba googling tentang itu. Se-sore-an ini, sebagaimana saya kalau lagi penasaran. Niat saya mau tabayun. Mau objektif, walaupun agaknya tidak terlalu berhasil mengingat Syiah menghina istri dan sahabat-sahabat Rasulullah SAW. But I did try. Saya mencoba melihat dari sudut pandang orang syiah, ke sebuah tulisan di blog, yang tulisan itu menjelaskan tentang nikah mut’ah dan alasan serta dalil-dalil paham Syiah tentang mengapa nikah mut’ah itu dibolehkan.

FYI, nikah mut’ah dalam bahasa gampangnya adalah kawin kontrak. Yup, sepasang lelaki dan perempuan sepakat untuk menikah dalam jangka waktu tertentu. Bisa sejam, bisa tahunan. Dan nikah mut’ah ini berbeda dengan nikah biasa. 

Jadi, ini alasan yang saya temukan dari blog Syiah. Nikah Mut’ah halal, karena hadits2 Rasulullah SAW (di jaman dua perang) membolehkannya. Memang, karena kondisi mendesak, Rasulullah SAW pernah membolehkan nikah mut’ah di jaman perang hunain, klo ga salah. Dan satu perang lagi yang saya lupa. Anehnya, paham Syiah tidak memasukkan hadits shahih dimana Rasulullah SAW telah mengharamkan nikah mut’ah selamanya.

 

Jujur, ketika saya membaca tulisan di blog syiah itu, saya rasanya ingin kucek-kucek mata nggak percaya. Nggak percaya kalau bahkan di tulisan versi mereka aja, mereka GAGAL membuat nikah mut’ah itu tampak “halal”, dan nggak percaya kalau mereka benar-benar menghalalkannya. Apalagi salah satu faedahnya disebut blog itu adalah untuk menghindari zina (?!). Lalu apa bedanya dengan kumpul kebonya orang barat kalau yang membedakan hanya akadnya saja?? Memangnya Allah bisa dibodoh-bodohi?? (Inget kisah orang Yahudi yang dilarang bekerja di hari Sabbath tapi sudah menyiapkan jala agar tetap bisa menangkap ikan. Bah!) 

Kalau saya orang non Muslim dan membaca teks tersebut tanpa mengetahui ajaran Islam yang lain, saya mungkin sudah tunggang langgang meninggalkan Islam jauh-jauh. Semakin jauh saya membaca, semakin saya “stress” dibuatnya. Akal dan hati saya tidak bisa terima. Pantesan, gara2 mereka rupanya imej perempuan begitu hina di mata orang barat (tanpa menafikan kepentingan di balik media massa). I mean, mereka menjadi santapan lezat bagi pihak-pihak yang tidak suka dengan Islam untuk diekspos. Saya tahu, kepentingan di balik media massa, yang tidak suka dengan Islam akan selalu mencari cara untuk membuat Islam tampak buruk; tapi mereka membuat siapapun dan apapun kepentingan di balik media massa dengan mudah menjadikannya bahan olok-olok.  

Satu aturan yang membuat saya berang: Apabila seorang perempuan sudah pernah menikah (baca: sudah tidak perawan), maka tidak butuh persetujuan walinya untuk melakukan nikah mut’ah; kata blog itu. What?!

Sekarang, saya melihat sendiri banyak Arab (atau orang Farsi saya juga gatau dan ga mau tau) menggandeng istri lokal mereka di Puncak. *BANYAK juga turis Arab yang membawa seluruh keluarga dan istri sah mereka berwisata, so ga boleh digeneralisir ya..* Dan tukang urut langganan ibu saya di Puncak juga suka cerita kalau perempuan-perempuan sana sudah biasa “begitu”. Apalagi kalau perawan, tarif “nikah”-nya lebih mahal. Dalilnya adalah “nikah mut’ah”=halal. Walaupun saya ga tahu berapa banyak; tapi ada di antara pernikahan kontrak itu yang berujung dengan aborsi karena si suami sementara tidak menginginkan istri sementaranya hamil.

Apa begini ajaran Islam? Apa ini yang diajarkan Nabi SAW? Bukankah Islam menjunjung tinggi martabat perempuan serta mensakralkan institusi pernikahan? 

Menikah bukan hanya perkara seksual, tapi membangun kehidupan; membangun peradaban… Apa yang diperoleh dari sebuah nikah mut’ah, apalagi yang jangka waktunya hanya jam-jaman; selain kepuasan seksual belaka???

Apapun alasannya tidak masuk akal. Dalil manapun yang mereka gunakan hanya akal2an mereka aja. Dan saya kok su’udzon kalau para komentator di blog itu yang bertanya “bagaimana caranya?” dan “berapa maharnya?” bukan tertarik pada intisari ajaran agamanya; melainkan hanya semata-mata mencari apology untuk well.. u know..

*emosi*

Maaf ya, saya tidak bermaksud emosional sewaktu ingin menuliskan ini. Tapi sebagai perempuan, jujur, saya rasanya ingin menggunakan sepatu stiletto saya yang jarang saya pakai itu untuk menggetok kepala orang-orang gila yang mengatasnamakan Islam untuk menghalalkan perzinahan dan melanggengkan sistem yang JELAS-JELAS merendahkan perempuan; dan tidak lupa mereka yang mengatakan ini bagian dari Islam; padahal JELAS-JELAS berbeda.

If u call it nikah mut’ah; I call it prostitution.

 

 

On Being a Lecturer

Do you understand the feeling when you do something you really like doing and got paid with doing what you love doing?

I thought that could only happen to football players or singers. But now I know how that feels. It feels GOOD. I don’t feel like working, because I know how “working” felt like. Working is when you get up in the morning, feeling like going back to bed but you gotta prepare for that thing called work. Working is when you count every detail of your salary, every hardwork you’ve spent. Working is when you spend all weekend with sleeping and “couching”, and googling for another job.

I’ve been there. Coming home feeling extremely tired, physically, mentally and spiritually. Feeling like a human-robot, doing all the routine you know you can even do it with both of ur eyes closed.

Alhamdulillah. And beyond that. Thank Allah for He has granted my wishes  :”)

So what exactly do I do?

I teach. Teaching undergrad students, laughing and sometimes I do nag at them. Many of them ( I teach the freshman students) are still like a bunch of naught teenagers. But still a lot of fun.

Although outside classroom, actually I prefer to be called “Mbak”, but being called as “ibu” do change some things in my way of teaching, and their respect toward me. So I think I  kinda enjoy this “Ibu Shinta” thing, and I wanna keep it that way. 😀

Teaching is my passion. There’s always a pleasure, some sort of satisfaction after class. I do feel tired. Physically, and sometimes mentally. Because a few of my students could be really troublemaker or in some case they have issues in their life they need to share with me. And those issues are not small issues. 

I got paid doing my passion, yes indeed I do. Although my salary might not have so much “zero” in the amount, unlike bankers or oil company workers; but I’m still proud with it 😀

Once again, alhamdulillah.

I’ve mentioned above that I’ve been in the condition where “work days” seemed so hard to get through. There are also times when people underestimate me, since my position was nearly the lowest position, just two levels above cleaning service and security. And I often wondered, “WHY?”. But now I know why. Being a customer service brought a lot good things. The best part was I got to know a lot of people, different people with different attitude. Some of them were nice, some just weren’t really nice. There I learned the best way of understanding people’s character -well they say experience is the best teacher, right? and I learned the hard way to understand how it felt like to be in the bottom (although not the least bottom) of organization, then I learn to be a better person in this case, be nicer to the waiters and waitresses in the restaurant or any “service person”. It is not easy to serve people, especially when the salary wasn’t worth it. 

Despite of everything, I still miss those days sometimes. Being the “pretty girl” in the front desk (I had to always put on my make up), sharing thought with my kind and friensly co-workers, listening to the customers and their story of life… Without those hard days, I would not be in my position now. I teach communication psychology, and with an experience as a customer service, the subject sort of give a deeper meaning to me and in someway it influences the way I teach  🙂

Hopefully my students could really learn something that benefit them for all their life.

 

Gambar