Hari Ini Saya Deja Vu Lagi

Pernah merasakan deja vu? Pasti pernah. Sepertinya hampir setiap orang pernah mengalami deja vu. Atau mungkin hanya sebagian saja. Kalau memang begitu, berarti saya adalah yang sebagian itu.

Deja vu adalah sebuah perasaan ‘been there before’. Dan katanya deja vu adalah sebuah kelainan kerja otak. Memori kita mengatakan kita pernah mengalami suatu situasi yang sama dengan yang kita hadapi sebelumnya, tapi sebenarnya tidak.

Benarkah?

Sejak kecil saya cukup banyak mengalami deja vu. Kadang saya tidak bisa mengingat kapan, dimana, dan bagaimana kondisinya, yang jelas saya pernah merasakannya. Tapi, seringnya saya mengalaminya di dalam mimpi. Dan anehnya, hal itu selalu berhubungan dengan suatu tempat, dan tidak ada hubungannya sama sekali dengan prediksi kejadian atau ramalan, atau melihat masa depan, atau… apapun itu namanya.

Suatu malam di masa ABG saya, saya bermimpi berada di sebuah bangunan di malam hari. Tiba-tiba gedung tersebut terbakar, orang-orang di dalam panik berhamburan ke luar gedung. Dan saya, entah bagaimana ceritanya meluncur di pegangan tangga. Mimpi itu masih saya ingat sampai sekarang.

Beberapa bulan setelah mimpi tersebut, saya dan keluarga pergi ke Bandung. Oleh sepupu yang tinggal di Bandung, kami diajak berkeliling Bandung dan sekitarnya. Mulai dari Cihampelas *waktu itu belum ada factory outlet*, Kawah Putih, dan terakhir… Dago Tea House.

Di tempat terakhir itulah saya mengalami deja vu. Saya berusaha mengingat-ingat, dimana dan kapan saya ke tempat ini sebelumnya. Dan akhirnya saya ingat mimpi saya tentang bangunan yang terbakar itu adalah Dago Tea House. Dan… alhamdulillah tidak terjadi apa-apa …

Saya juga pernah bermimpi mengunjungi suatu rumah, rumahnya sudah agak tua. Mimpi itu terjadi beberapa kali di masa SMA, jauh sebelum saya kuliah di Unpad, Jatinangor. Anehnya, suatu hari ketika saya sudah kuliah, papa saya berencana membeli rumah kos-kosan di daerah Cisitu. Kami berkeliling dari rumah ke rumah yang hendak dijual. Dan sampailah kami di suatu rumah dengan lokasi sangat strategis. Konon yang punya rumah lagi B.U., jadi rumahnya plus kos-kosannya plus anak kos-nya akan dijual.

Rumahnya sudah agak tua. Begitu saya masuk ke dalam, anehnya saya merasa bisa mengetahui detail rumahnya, sampai ke letak ruang tamu dan letak kursi ber-jok bludru berwarna cokelat. Dan saya pun ingat rumah yang sering muncul di mimpi saya. ‘Nah, ini dia!’ Hihi…

Tapi, sekali lagi, mimpi saya tidak berarti apa-apa, karena tiba-tiba yang punya rumah mendapat suntikan dana dan batal menjual rumah tersebut. Tadinya, saya berpikir apakah mimpi saya berarti kami ‘jodoh’ dengan rumah tersebut? Eh, ternyata memang bukan rejeki…

Perasaan yang sama juga pernah datang ketika saya pertama kali menginjakkan kaki di UI Salemba. Rasanya pernah ke situ, tapi sekali itu saya lupa kapan dan dimana. Mungkin saya memang pernah ke situ, tapi saya yang lupa… Hehe…

Nah, hari ini saya kembali mengalaminya. Ceritanya saya hari ini harus daftar ulang untuk seleksi CPNS di suatu institusi. Tampak luar, gedungnya berbentuk kotak ber-cat putih, dan sudah agak kuno tapi masih bersih. Nama institusinya terdisi dari empat kata, silahkan ditebak sendiri. Hehehe….

Saya kira gedungnya kecil, hanya melebar gitu aja, rupanya ada taman yang menjembatani antara gedung satu dengan gedung lainnya. Saya yakin banget, taman ini yang ada di mimpi saya. Lupa sih detail mimpinya. Semakin diingat semakin lupa.

Tapi karena, sekali lagi, mimpi dan perasaan deja vu saya tidak ada hubungannya dengan prediksi masa depan, jadi saya santai saja. Tidak berharap-harap hanya karena mimpi. Nanti bisa musyrik. Hi… Berharap hanya pada Allah Sang Maha Pemberi Rizki saja. Toh bisa saja mimpi saya bukan berarti apa-apa, atau amit-amit, memang sedang terjadi kelainan dalam sistem saraf di otak saya.

So, Deja vu, anggap saja sebagai kejutan manis kalau kita sedang mengalaminya 🙂

 

Ceritanya sih Mau Menganalisis Framing

Aku akan memulai thesis-ku. Analisis Framing. Dan aku… masih terlalu dodol untuk memulai, untuk memilih memulai dari mana. Sementara rekan-rekanku sudah meluncurkan roket, aku masih duduk-duduk nonton TV sambil ngemil di rumah! Hiks Hiks…

So, hari ini aku putuskan untuk membaca buku ‘Analisis Framing’ dari Eriyanto. Don’t laugh! karena, yep, aku memang harus belajar dari NOL! Remember, aku dulu anak humas bukan anak jurnal. Jadi aku memang nggak pernah belajar satu semester pun khusus tentang analisis framing. Oh God!

Sebenernya sih, aku sudah paham, tapi belum dalam. Belum cukup dalam untuk bisa diimplementasikan dalam sebuah thesis. Dan bukunya Pak Eriyanto yang ada pengantarnya Prof Deddy Mulyana ini sangat bermanfaat buat aku.

*Oh Bagus, dan aku mulai diare karena susu yang baru kuminum. Mamaku memberiku terlalu banyak susu waktu kecil, jadi sekarang lambungku mungkin sudah muak dengan susu*

Anyway, jadi di buku ini disebutkan sedikit bahwa untuk memahami teks, tidak cukup mumpuni apabila menggunakan paradigma positivistik. Walaupun faktanya, masih banyak penelitian mengenai teks-teks media yang menggunakan paradigma positivistik. Prof. Deddy Mulyana menyebutkan, “Padahal, seperti ditunjukkan model-model konstruktivis, fenomena komunikasi tidak berada dalam vakum sosial. Alih-alih, setiap kata, frase, kalimat, atau wacana secara keseluruhan bermakna ambigu, ganda, dan terkadang paradoks, karena terikat oleh konteks ruang, konteks waktu, dan konteks sosial”.  So, komunikasi tidak tercipta di ruang hampa.

Shinta likes this! Ah, seandainya saja semua buku saya bisa dipahami semudah memahami tulisan Pak Deddy… U know, membuat tulisan yang keren-dan-cerdas-dan-menjual-dan-oke punya itu nggak harus bikin njelimet yang baca. Justru seperti kata Prof. Alwi Dahlan, semakin cerdas seseorang, semakin pintar dia menjelaskan ilmunya dengan bahasa yang sederhana…

Lanjooot!!

then, Prof. Deddy melanjutkan. Mengutip Peter D. Moss (1999), wacana media massa, termasuk berita surat kabar, merupakan konstruk kultural yang dihasilkan ideologi karena, sebagai produk media massa, berita surat kabar menggunakan kerangka tertentu untuk memahami realitas sosial.

Kerangka tersebut pastinya adalah kerangka versi media massa tersebut. Ini sih sebenarnya kembali ke pelajaran dasar pengantar ilmu komunikasi bahwa manusia itu memiliki Frame of Reference dan Field of Experience yang berbeda-beda. *sotoy banget pake -sih-* Artinya, media massa tidak akan pernah lepas dari yang namanya subjektivitas, walaupun katanya “knowledge to elevate”, “layak dibaca dan perlu”, “aktual, tajam, terpercaya” atau apapun-lah tagline-nya. Nah, milih tagline aja udah subjektif…

Informasi dari media massa yang ditangkap oleh panca indera adalah hasil respon panca indera sang jurnalis. Apa yang ditulis di paragraf pertama itu adalah murni kehendak jurnalis *dan kehendak pemred dan pastinya kehendak Allah*. Itu aja udah subjektif yang pertama. Belum beritanya sampe ke meja redaktur, ada yang dipotong mungkin, ada yang dihapus. Itu udah subjektif yang kedua. Belum lagi ternyata beritanya bertentangan dengan visi dan misi perusahaan. Subjektif yang ketiga.

Prof. Deddy Mulyana mengatakan, “Melalui penggunaan bahasa sebagai simbol yang utama, para wartawan mampu menciptakan, memelihara, mengembangkan, dan bahkan meruntuhkan suatu realitas…

“.. Dus,wacana media massa pada dasarnya menawarkan kerangka makna alternatif kepada khalayak untuk mendefinisikan dirisendiri, orang lain, lingkungan sosial, peristiwa-peristiwa, dan objek-objek di sekitar mereka”.

Begitu sampai di khalayak, pencipta teks-teks tadi tidak bisa melakukan apa-apa kan? the author should die. Pemaknaan itu subjektif. Tapi bagaimana khalayak bisa menciptakan makna tertentu, teks-teks media massa bisa mengarahkannya. Media berarti dipandang powerful ya? *ngomong sendiri*

Media mampu memberikan definisi, memberikan label, memberikan skala kepentingan terhadap suatu isu. Inilah mengapa jihad identik dengan kekerasan, dan Islam identik dengan terorisme. Hmmm… Ini adalah penjajahan bentuk baru! seperti hit and run. Sesudah membombardir khalayak dengan teks-teks, media lepas tangan. Apakah media mau bertanggung jawab jika pembaca koran jadi berburuk sangka pada SBY setelah membaca tajuk rencananya?

huff… okay, i’m way out of context…

Prof. Deddy Mulyana mengatakan, “Setelah membaca buku ini seyogianya para wartawan sadar bahwa mereka tidak bisa sepenuhnya objektif, adil dan netral dalam memberitakan suatu peristiwa, seperti yang mereka klaim selama ini. Mereka juga seyogianya lebih mawas diri untuk mengantisipasi setiap risiko yang timbul sebagai akibat dari pemberitaan yang mereka lakukan. tugas wartawan sebenarnya bukanlah untuk menyingkapkan kebenaran, karena kebenaran mutlak itu tidak akan pernah kita ketahui, tetapi menanggalkan semaksimal mungkin bias-bias yang mereka anut selama ini”.

Wallahu a’lam. Aku masih belajar, masih mengeja, masih terbata-bata.

Oh iya, ada yang janggal deh dengan bukunya Pak Eriyanto ini. Prod. Deddy dari awal menyebut-nyebut paradigma konstruktivisme, tapi di bab-bab setelahnya Pak Eriyanto malah menyebut konstruksionis… Apakah mereka membicarakan hal yang sama padahal kedua paradigma itu berbeda? Pak Eriyanto juga menyebut-nyebut Peter Berger dalam paradigma konstruksionisme. Padahal yang aku tahu selama mengikuti kelas Media dan Konstruksi Sosial, pemikiran Om Berger itu masuk dalam konstruktivisme. Atau bisa applied both? Sayang aku tidak menemukan FB-nya Pak Eriyanto… Aku jadi agak susah melanjutkan…

*_*

 

Syafakallah, Get well soon, Semoga lekas sembuh,Prof…

Memang, dalam UUD 1945 dikatakan bahwa “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Aku nggak tau apakah itu mencakup kemerdekaan untuk tidak beragama juga. Dan sebagai Muslim dan warga negara yang baik, aku menghormati apapun kepercayaan maupun ketidakpercayaan siapapun. Tapi…

Aku baru saja mendengar kabar seseorang yang selama ini ‘tampak’ tidak beragama walaupun ‘sepertinya’ terlahir Muslim, sedang dalam kondisi kritis. Dan seseorang itu adalah salah satu orang paling pintar di tempatku sekarang menuntut ilmu. Memang sih, aku bukan siapa-siapa untuk menilai keimanan seseorang. Itu adalah wilayah paling privat, hanya bagi hamba dan Tuhan-nya.  Tapi…

Jadi gini… Seseorang itu beberapa kali membuat jokes tentang Tuhan.  Jokes yang sekilas terdengar cerdas karena datang dari seorang profesor. Tapi…

Aku jadi bertanya-tanya sekarang, apakah sekarang Allah benar-benar membuat ‘jokes’ dengan hidupnya?

Ah, bukankah Allah Maha Baik dan Maha Pemaaf? Tapi…

bukankah Allah sesuai prasangka hamba-Nya pula? Tapi…

Ah… Tidak, Allah tidak mungkin membalas dendam atas jokes-jokes tersebut. Aku yakin, apa yang Allah inginkan adalah memberinya petunjuk bahwa di saat-saat maut sudah setipis kulit ari dengan hidup, tidak ada…Tidak ada yang berkuasa untuk mengulur atau tidak mengulurnya kecuali DIA.

Seluruh ilmu dan titel berderet-deret di belakang nama, ah, bukankah itu semua akan berakhir menjadi tanah merah dan satu gelar saja: almarhum. Almarhum, gelar bagi mereka yang sudah menyelesaikan universitas kehidupan ini, dengan baik atau dengan tidak baik…

Di atas segalanya, aku selalu menghatur do’a, jauh sebelum sakitnya profesor-ku itu, agar Allah membukakan hatinya dan menghembuskan hafas hidayah dan memenuhinya dengan kecintaan pada-Nya. Karena akan sungguh beruntung jika Islam dikuatkan dengan orang-orang pintar seperti beliau.

Syafakallah, Get well soon,  Semoga lekas sembuh,Prof…

Sesungguhnya segala sesuatu berasal dari Allah dan akan kembali kepada-Nya.

Ngegosip-in Mbak Suarez Ah!

Hua… Aku akhirnya menamatkan Ugly Betty Season 4.

Aku sangat suka suka suka dengan sosok Betty Suarez. Pertama, Betty Suarez punya penampakan mirip aku: bulat. Hihihi… Kedua, Betty adalah seorang jurnalis dan blogger!!! Ketiga, Betty selalu menerima dirinya apa adanya dan yakin akan kemampuannya. Keempat, Betty pantang menyerah. Kelima, Betty selalu berpikir positif. Keenam, Betty, tidak seperti sinetron Indonesia yang tokoh utamanya selalu baik hati bak malaikat bersayap putih, punya sisi manusiawi yang kadang lebih dominan daripada akal sehatnya.

Banyak hal yang menginspirasi dari film Ugly Betty. Betty, perempuan Hispanic yang cerdas, pintar dan bisa dipercaya, akan tetapi…. ‘Ugly’ bagi standar kecantikan dunia fashion. Ada banyak pesan yang penyampaiannya dibungkus oleh lakon kocak, kadang mendebarkan, kadang menyebalkan, dan kadang juga mengharukan.

Selain Betty Suarez, tokoh kesukaanku di film tersebut adalah Marc St. James. Seorang gay yang selalu berpembawaan negatif sekalipun ia memiliki penampilan yang sangat modis. Sungguh kontras dengan Betty yang selalu berpembawaan positif namun selalu menjadi fashion disaster. Di balik sifatnya yang sinis, Marc sebenarnya punya hati yang baik dan kesetiaan terhadap teman. Tapi di season 4 ini, Betty sudah mulai mendapatkan sense of fashion.  Poni khasnya sudah tidak ada, rambut kriwilnya sudah diluruskan menjadi ikal sederhana yang seksi, bahkan braces-nya pun dicopot!

Ada kisah yang menarik sebelum braces-nya dicopot. Hari itu Betty memang seharusnya dijadwalkan melepas braces-nya setelah empat tahun ‘memenjarakan’ gigi-giginya. Dia bangun dengan sangat excited. Keluarganya bahkan sempat memberikan perayaan kecil-kecilan, perpisahan dengan braces.

Then, one thing led to another. Betty jatuh dan pingsan. Sesaat sebelum pingsan, ia sempat mengucapkan keinginannya ‘seandainya saja aku terlahir dengan gigi yang indah’. Dan saat ia terbangun, voila! Ia bukan lagi the ugly betty, melainkan the smokin hot Betty, tanpa kacamata dan gigi-gigi yang harus dipagari. Rambutnya berkibar, melambai indah. Dia adalah Betty, orang kesayangan Wilhelmina, dan musuh bersama orang-orang di Mode.

Tapi, karena ceritanya doi terlahir dalam keadaan yang cantik luar biasa, ada beberapa hal yang harus berubah dari hidupnya. Ayahnya pemain judi, dan Betty Suarez dikenal sebagai sosok yang menyebalkan, licik, dan.. yah… Wilhelmina mini-lah.

Yang membuatnya selama ini *selama hidup dengan braces dan kacamata- dan menjadi dorky* menjadi orang yang penuh empati dan menghargai orang lain adalah karena dia tahu rasanya ketika orang-orang tidak menghargainya, sebab tampilan luarnya yang kurang enak dilihat. Dan ketika ia terlahir sempurna, ia menjadi sosok yang tidak bisa merasakan apa yang orang lain rasakan. Ia menjadi licik, egois, dan akan melakukan apa saja untuk mendapatkan apa yang ia mau.

Persis kan seperti hidup yang kita jalani? Kadang kita berandai-andai, kadang kita protes sama Allah. ‘Kenapa aku tidak begini, kenapa bukan begitu?’. Padahal kehidupan ini bukan didasarkan pada keinginan kita kan? Kehidupan itu seperti garis yang saling kait berkait, pada titik tertentu garis tersebut bersisian dengan garis orang lain. Begitulah adanya. Allah sudah menciptakan skenario alam raya ini sedemikian besar dan sempurna. Akan tetapi kita hanya memiliki sepasang mata untuk ‘mengintip’ skenario Allah yang besar itu. Kita tidak tahu apa yang Allah rencanakan untuk hidup kita.  Tapi terkadang kita sok tahu, protes, marah, bahkan membenci takdir yang sudah kita jalani.

Seperti Nabi Musa salah persepsi dengan tindakan Nabi Khidir.

“Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu? ” begitu ucap Nabi Khidir dalam Al-Qur’an surat Al-Kahfi ayat 68. Sebuah pertanyaan retoris, semestinya. Bukan untuk dijawab, akan tetapi untuk direnungkan maknanya.

Whoah… Jadi panjang kemana-mana…. xO

Anyhow, kembali ke Mbak Suarez. Ia mendapatkan pekerjaan di sebuah majalah yang genre-nya sesuai dengan minat Betty, nun jauh di London sana. Setelah berpikir panjang, akhirnya ia memutuskan untuk mengambil pekerjaan itu. Berat sekali rasanya untuk mengatakan pada Daniel yang selama empat tahun ini sudah menjadi demikian akrab, bukan lagi antara bos dan anak buah, akan tetapi menjadi sahabat.

Then, Daniel ngambek. Singkat cerita, akhirnya dia menyadari sesuatu setelah sesuatu itu kan pergi jauh.

Daniel: “Me First, Betty. I can’t live without you!”

Ya, walaupun tidak secara blunt , tapi secara tersirat Betty akan berakhir dengan Daniel. Well, at least, I hope so 🙂

Bukankah selama ini Daniel selalu tergantung pada Betty dalam segala hal. Daniel percaya dan mempercayakan hidupnya bahkan rahasia-rahasianya yang paling kotor sekalipun. Dan bukankah Betty juga selalu ada untuk Daniel?

Kadang perasaan cinta itu datang begitu perlahan, begitu halus hingga tidak kita sadari, sebenarnya orang yang paling kita inginkan untuk menjadi pasangan hidup adalah orang yang selama ini kita sebut-sebut sebagai sahabat. Karena hanya dengan dia, segala hal di dunia ini sepertinya berjalan pada jalurnya; hanya dengan dia segalanya terasa aman dan baik-baik saja.

Ya… Kadang-kadang juga enggak. Hehehe…

Artinya, tidak butuh rupa yang luar biasa, tubuh yang indah menawan, atau harta yang melimpah membabi buta. Cinta itu bersaudara kandung dengan rasa nyaman. Kalau kita cinta seseorang, kita menemukan tempat yang paling nyaman di dunia: HOME.

At last, aku berkhayal tentang Ugly Betty The Movie, atau season 5 yang menggambarkan kehidupan baru Betty di London. Pasti seruuuu!!! :)))

 

Sebuah Pesan dari Tiga Orang Idiot

I just watched ‘Three Idiots’!! Telat banget ya? Hehe…

Untuk sebuah alasan, aku suka film ini. Bukan dari ceritanya, yah…suka juga sih, tapi bukan itu yang utama. Yang aku suka adalah film ini sangat bisa menyampaikan pesannya bahwa belajar itu adalah sebuah kesenangan, bukan keterpaksaan, bukan tekanan.  Belajar tidak pula direpresentasikan dengan ranking yang memetakan manusia menjadi pintar dan tidak pintar. Membentuk sistem kasta pendidikan: The A’s, The B’s, and the leftovers.

Itulah yang terjadi di Indonesia saat ini, begitu pula yang terjadi di banyak negara. Salah kaprah. Mungkin hanya di Indonesia anak kelas 3 SD dijejali dengan begitu banyak gambar dan pengertian tentang danau tanpa mereka pernah diberi kesempatan memahami, menerjemahkan, dan mengartikan sendiri apa itu danau? Dan karenanya anak-anak Indonesia menjadi terbiasa untuk menghafal, bukan memahami. Terbiasa mengekor apa kata bu guru, pak guru, dan apa kata buku tanpa punya keinginan untuk menciptakan sendiri. Inilah mengapa gunung dimanapun di kertas gambar siswa siswi Indonesia selalu dua buah dengan matahari di tengahnya, jalan terbentang, dan sawah menghampar. As if Indonesia hanya gunung dan sawah. Bagaimana dengan Pegunungan Jayawijaya? Bagaimana dengan Gunung Krakatau?

 

Hmmh…. *taking deep breath*

 

Frankly, I still do the same thing to my 8 years old sister. Awalnya aku ingin menerapkan cara belajar yang berbeda. Yang merangsang otak kreatifnya. But then, aku kehilangan rujukan dan referensi. Bukankah selama puluhan tahun ini aku belajar selalu didominasi oleh buku-buku teks yang harus dihapal serta titah guru dan orang tua? Aku bahkan tidak pernah benar-benar belajar, selain waktu kelas 2 SMA karena mengejar nilai. Aku tidak benar-benar menikmati proses belajar, dan aku juga banyak siswa lainnya dipaksa untuk mengikutinya. Aku sudah me-list down pelajaran yang menjadi favoritku sejak SD di luar pelajaran agama Islam karena itulah pelajaran favoritku sebenarnya : Matematika, Bahasa (Inggris, Indonesia, Arab), dan Sejarah. Pelajaran Sains lainnya? Ah, forget it! Satu-satunya alasanku belajar sampai berhari-hari sewaktu SMA adalah agar naik kelas.

 

Makanya, aku seringkali diburu rasa bersalah saat harus ‘memaksa’ adikku menghafalkan perkalian. Perkalian bukan dihafal,bukan? Perkalian itu seharusnya dipahami sebagai proses dari multiplikasi suatu angka. Dan sisanya, biarkan mengalir saja. Pasti dia akan hafal sendiri. Tapi aku tidak bisa karena sejumlah alasan. Pertama, dia akan menjadi bagian dari underdog yang tidak bisa dengan cepat menjawab hasil dari 6 dikali 8 karena dia akan menghitung dengan jari-jari tangannya, instead of menghafalnya seperti teman-teman lainnya. Kedua, pak guru-nya, sayangnya, akan menilai dia sebagai ‘lambat’ belajar -seperti kata bu gurunya saat adikku kelas satu- karena satu per satu murid di kelas akan dipanggil ke depan untuk menyebutkan seluruh perkalian 2 sampai dengan 10. Exactly seperti masa aku sekolah dulu. Beruntung, aku senang menghafal. So, it was kind of a challenge for me.

 

Jujur, aku bingung, harus seperti apa model belajar adikku? Dia bisa memberitahuku cara ‘berolahraga’ singkat saat terjebak kemacetan di dalam mobil. Yaitu dengan cara meregangkan tangan dan bahu, menarik jari-jari tangan satu per satu kebelakang dan menghitung sampai delapan, dan memutar pinggang ke kiri dan kanan perlahan. Dia mempraktikannya dengan sangat bagus, seolah-olah dia sedang di dalam mobil. Aku sedikit terkesima. Lalu aku pun bertanya, “Kamu belajar darimana,dek?”.

Dan dia menjawab santai, “Itu dari TV barusan”.

Pun dengan bumbu-bumbu dan resep masakan, cara merawat bayi, cara membersihkan botol susu; dia memberitahuku semuanya, persis seperti bu guru. Dan semua dia dapat hasil menonton acara ‘Dapur Aisyah’ dan ‘Diary Bunda’. Kadang aku geli sendiri. Adikku senang menonton acara Ibu-ibu. But that’s her. Dia punya sesuatu yang anak lain tidak punya. Dia senang pada bayi-bayi dan anak-anak yang lebih kecil, senang menata rambut ibuku dan memijat-mijat -persis seperti di salon-, dan senang masak-memasak (tapi sayangnya tidak dengan makan-memakan).  Dia bahkan bisa memasak nasi sendiri, Dulu, adikku bercita-cita menjadi baby sitter, kemudian meningkat menjadi suster. Tidak lama dia berganti cita-cita menjadi koki, tukang salon dan florist, alasannya menjadi suster rentan tertular penyakit. Sekarang, mengikuti pakem cita-cita semua anak Indonesia, ia memasukkan dokter ke dalam cita-citanya. Tapi supaya adil kata adikku, “kalau pagi aku praktek dokter, nanti siangnya aku jadi koki, malem-malem jadi pelukis.” Lho?!

 

Be it! Walaupun sebenarnya aku tahu gambarnya tidak terlalu berkembang, aku tidak akan pernah mengatakan bahwa dia tidak bisa melukis. Cita-cita itu, seperti kata the cute Rancho dalam film 3 Idiots, seharusnya ‘our passion, what we enjoy doing the most’, dan penghasilan akan mengikuti then, ‘pants down’, orang-orang akan menghormati.

 

Aku mencoba menatap diriku sendiri. Then I found that I didn’t exactly do things I enjoy the most. Salah satu kesalahan terbesarku adalah dengan mengikuti keinginan orang tuaku (yang akhirnya tidak mereka akui sebagai keinginan mereka) untuk masuk jurusan Humas saat aku sesungguhnya ‘madly in love with journalism’, sampai detik aku menulis posting ini. Kata orang-orang sekitarku, aku terlalu kalem untuk menjadi jurnalis. Kata papa-mama-ku aku tidak mungkin tahan banting, sementara menjadi jurnalis harus tahan banting. Tapi kata orang Humas, aku terlalu ‘nggak dandan’ untuk menjadi anak Humas. Sebenarnya, aku terlalu takut dengan apa yang tidak aku ketahui jika aku masuk jurnalistik. Aku selalu berpikir, jangan-jangan benar kata Ibuku, bahwa aku tidak akan cukup kuat. Atau benar kata orang-orang aku terlalu kalem.

 

Dan akhirnya, aku memilih jalur aman: Humas. Tugas kuliahnya teratur, nilainya mudah dan lulusnya cepat. Memang sih, aku tidak mungkin berangkat kuliah tanpa mandi dan sarapan pagi. Hidupku terlalu teratur untuk jadi jurnalis. Kadang-kadang teman-temanku yang mengambil jurnalistik berangkat ke kampus tanpa menyentuh air dan sabun, begitu pengakuan mereka, saking banyak dan susahnya tugas mereka. But they seemed to enjoy it very much and for what is worth, they were really proud…

 

Tapi, that’s my passion. Aku suka menulis. Dan akhirnya aku menghibur diriku sendiri dengan mengatakan bahwa, aku tidak harus masuk jurnalistik untuk menuliskan kebenaran. Aku tidak harus berjaket biru dengan empat strip putih (sebagai simbol ‘the fourth pillar of the state’) untuk bisa tetap menulis dan menulis.

 

Well, then, above everything, tiga ke-idiot-an yang harus ditumpas menurut aku adalah: malas, putus asa, dan… lupa pada-Nya. *kok ngga nyambung ya…*

 

Mencari Kanjeng Nabi, Resensi Sangat Subjektif buku “Muhammad: Lelaki Penggenggam Hujan” karya Tasaro GK

Shalawat dan salam teruntuknya, Rasulullah Muhammad, keluarganya, serta kerabatnya…

Mungkin sudah banyak yang membuat resensi buku ini sebelumnya. Mungkin saya terlambat. Tapi, saya hanya ingin menuliskannya, sekaligus membaca bukunya lagi dan lagi.

Saya bahkan sudah lupa harga dan dimana saya membelinya. Saking lamanya buku itu terbengkalai, tertutup oleh plastik pembungkusnya, terjejer rapi, agak terdesak, bersama dengan buku-buku lainnya yang juga masih ‘berbaju plastik’. Kalau tidak salah, awal Ramadhan saya mulai membacanya. Halaman pertama, dan saya langsung jatuh cinta.

” Ibu, jika kelak ada orang yang salah paham

dengan terbitnya buku ini,

aku yakin itu terjadi

karena mereka mencintai Kanjeng Rasul.

Dan, percayalah Ibu,

aku menulis buku ini disebabkan alasan yang sama.”

Pun saya membeli dan mulai membacanya, disebabkan alasan yang sama: cinta dan rindu pada Kanjeng Nabi. Jadi saya yakin, saya tidak akan menyesali tiap sen yang sudah saya keluarkan untuk membeli buku itu.

Sesuai judulnya, buku ini memang menuturkan kisah tentang Muhammad bin Abdullah, bersisian dengan kisah fiksi tentang Kashva, seorang ‘Pemindai Surga’ dari Persia, yang menempuh perjalanan panjang menemukan hakikat kenabian. Mencari lelaki terakhir yang dijanjikan, sang pencerah yang terpuji yang namanya (rupa-rupanya) muncul hampir di setiap kitab suci agama-agama terdahulu dalam berbagai rupa yang semuanya mengarah pada satu makna: yang terpuji.

Selain itu, Tasaro GK juga memasukkan kisah asmara yang rumit antara Kashva dan Astu tanpa Kashva pernah menyadari bahwa sesungguhnya dirinya telah menjadi bagian dari konspirasi besar memurnikan ajaran tauhid yang dibawa oleh nabi Zardust. Bayangan saya tentang Astu adalah seperti Princess Tamina dalam film Prince of Persia: The Sands of Time. Cerdas, kuat dan cerdik. Karakternya sangat menarik yang menjadikan keduanya, pasangan Kashva dan Astu menjadi kombinasi yang rumit sekaligus romantis dengan cara yang cerdas.

“…Mencintai ada titik komprominya. Masih bisa tersimpan rapi di hati, tetapi tidak bisa maju lagi. Jika dipaksakan niscaya akan menimbulkan ketidakseimbangan.”

Dan begitulah mereka mengakhiri cinta keduanya. Gantung dan rumit.

Dengan tuturnya yang menawan, Tasaro juga mengisahkan bagaimana Rasulullah menjaga perjanjiannya dengan orang-orang Yahudi penghuni Madinah. Ia tidak memaksa siapapun yang tidak ingin masuk Islam dengan pedang atau dengan kekuasaannya. Karena, sungguh, agama bukan sesuatu yang diciptakan untuk dipaksakan, akan tetapi agama adalah untuk dilaksanakan. Dan Allah sudah mengatakan dalam surat Ali-Imran 159:

“<span>Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampunan bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”.</span>

Begitu banyak hal dalam buku itu yang mampu mengetuk hati saya yang entah bagaimana berhubungan langsung dengan produsen air mata di atas sana dan membuat saya menitikkan air mata haru, bahagia, dan sedih. Begitu banyak hal yang tidak saya ketahui dari sejarah agama-agama di dunia ini. Begitu banyak hal yang membuat saya penasaran. Begitu banyak hal yang membuat saya ingin melihat lebih dekat kepada keyakinan lain dan memahami berbagai perbedaan, memahami hakikat ketuhanan, dan seperti penulis katakan, “bukan untuk berpindah keyakinan”.

***

Hal kecil yang paling menyentil saya adalah perihal ketidaksukaan saya pada anjing. Sumpah, saya takut sekali dengan anjing. Dan setiap saya keluar rumah, saya selalu komat-kamit merapalkan doa agar saya tidak berpapasan dengan anjing. Dan saya baru tahu dari buku itu bahwa Rasulullah, sebelum pergi berperang melawan kafir Quraisy, masih sempat memperhatikan seekor induk anjing yang sedang menyusui anak-anaknya. Beliau khawatir derap langkah kuda-kuda perang akan mengganggu ketenangan dan keselamatan ‘keluarga’ anjing tersebut sehingga ia menugaskan seorang sahabat untuk menjaga ketenangan dan keselamatan mereka. Ini adalah hal kecil yang membuat saya terharu sekaligus malu. Rasulullah adalah pemimpin besar yang memperhatikan hal-hal kecil. Bahkan anjing yang sedang menyusui… Ah…  Inilah bukti bahwa Islam adalah rahmatan lil ‘alamin. Rahmat bagi sekalian alam. Beginilah seharusnya saya berbuat, menjadi bukti bahwa Islam memang rahmat.

Sentilan lain adalah manakala Rasulullah harus berhadapan dengan Hindun, perempuan yang telah mengutus seorang pembunuh bayaran untuk membunuh Hamzah, paman Rasulullah. Sekaligus perempuan keji yang telah mengoyak tubuh Hamzah dan memakan jantungnya. Saat Hindun menyatakan diri masuk Islam, tidak ada dendam pada dirinya. Bahkan pada perempuan yang sudah menghinakan jasad paman tercintanya. Seandainya itu saya, saya pasti mengusirnya jauh-jauh. Tapi, tentulah Allah mengutus lelaki mulia sebagai seorang Rasul, manusia sederhana yang luar biasa perangainya, bukan seorang pendendam dan pendengki.

Seolah sedang berjalan bersama Rasulullah, itulah yang saya rasakan. Seolah bersama-sama Kashva dan rombongan kecilnya mencari ‘lelaki penggenggam hujan’ yang namanya tersohor bahkan sebelum ia dilahirkan. Seolah menyaksikannya hidup kembali… Dan ketika saya menutup buku tersebut, sungguh, alangkah banyaknya episode kehidupan Rasulullah yang luput dari hidup saya sebagai muslim selama hampir seperempat abad ini.

Buku ini seharusnya menjadi sedikit penawar rindu bagi mereka yang mencari hakikat Islam dan bertanya-tanya apakah Islam agama yang mengajarkan teror, agama yang mengekang perempuan, agama kampungan dan terbelakang seperti konstruksi media barat. Juga bagi mereka yang mengalami sedikit krisis identitas dan rasa malu dengan ke-Islamannya dengan buruknya citra Islam pasca berbagai insiden kekerasan lintas agama yang menempatkan Islam sebagai penjahatnya.

Baca dan lihatlah, bukan begitu Rasulullah mengajarkan kita, teman. Jadi, tidak perlulah membusungkan dada dan berkeras-keras suara. Sebaliknya, merunduklah dan rendahkan diri kita di hadapan-Nya.

Dan agaknya benar-lah testimoni A.Fuadi, penulis novel Negeri 5 Menara,

“Tasaro bagai memimpin tur spiritual ke pelosok Persia dan Arab di abad VII. Sangat personal, kadang seakan kita merasa berada di belakang Rasulullah”.

~ah…dan semoga Allah memberkahimu, Tasaro~

 

Secangkir Cinta

Ada cinta pada secangkir cokelat hangat.

Saat mentari bersembuyi di balik lembayung senja.

Ada cinta pada secangkir kopi pahit.

Saat Mikail menghembuskan dingin menggigit.

Ada cinta pada secangkit teh pekat.

Merengkuh hati, merangkul pundak yang letih.

 

Secangkir saja.

***

Sepasang cangkir putih sengaja aku pilih. Agar ia mencatat banyak memori pada tepi-tepinya.

Mungkin teralu sederhana bagi hidup yang penuh makna.

Mungkin terlalu naif bagi sepasang insan yang arif.

Semoga Allah selalu mencurahkan cinta-Nya dalam secangkir pernikahan yang bahagia. Selalu dan selamanya.

 

🙂

-Shinta dan Reiza-

Secangkir Cinta

 

 

theSis oh theSis

Sindrom ini adalah sindrom yang sama yang aku rasakan saat mengerjakan skripsi dulu. Tidak ada ‘cambuk’-nya. Bingung dari mana mulainya. Bangun tidur dengan segudang rencana menulis ini dan menulis itu, membaca ini dan membaca itu; dan berakhir dengan DVD marathon Ugly Betty.

Kiri kanan, depan belakang, buku dan jurnal menumpuk dimana-mana. Tidak punya tempat di dua rak besar pemberian Mama. Laptop lebih banyak nyalanya daripada matinya. Tidak ada waktu merapihkan gunungan baju dalam lemari. Atau bahkan sekedar menyiapkan sarapan pagi. Rasanya sibuuuuuk minta ampun.

Tapi saat aku menyadari, sebenarnya aku tidak mengerjakan apa-apa yang benar-benar berarti.

Semua cuma berputar-putar saja di kepala seperti angin berputar-putar dalam perutku saat kembung menggembung. Mbulet, kalau kata orang Jawa.

*Sigh*

Tarik nafasnya sih sudah berkali-kali. Sampai jari tidak cukup lagi menghitungnya. Tapi belum juga aku dapatkan mood untuk bahkan membaca jurnal yang hanya 30 halaman. Padahal di sebelah kiriku mengintip buku Media Literacy karya Potter dan sekilas kulihat lambaiannya seperti saat aku meminta bill pada pelayan restoran.

Memulai selalu susah. Apalagi mengakhirinya.

Dan balada seorang mahasiswa pasca mengerjakan thesis di pagi buta belum dimulai. Karena niatnya belum berubah menjadi tekad. Ia mengulur-ulur waktu hingga menghimpitnya dan mengejarnya nekad.

*theSis oh theSis oh theSis*

Despite of Everything, I’m Happy!!!

Aku selalu membayangkan sebuah pernikahan yang sederhana dan penuh makna. Aku selalu membayangkan bahwa menikah berarti kita tidak pernah merasa kesepian. Aku membayangkan pula sebuah pernikahan yang dipenuhi dengan begitu banyak kesamaan antara aku dan suamiku.

Tapi ternyata, aku tidak sepenuhnya benar tentang pernikahan bayanganku.

Menikah tidak sesederhana kelihatannya. Memang hanya dilakoni oleh dua orang: aku dan suamiku. Tapi menikah adalah lakon dengan sejuta peran pembantu, baik peran antagonis maupun protagonis. Menikah adalah lakon dengan berbagai latar, dengan berbagai topeng. Menikah adalah lakon tanpa skenario. Menikah adalah dialog panjang berbusa-busa di saat tertentu; dan di saat yang lain menikah adalah berbagi keheningan. Bahkan ada kalanya menikah adalah monolog.

Seperti halnya sandiwara-sandiwara terkemuka, semakin rumit alur ceritanya, semakin butuh pemikiran panjang, semakin bermakna mendalam sebuah sandiwara itu. Begitu juga dengan pernikahan. Semakin banyak ujian yang dihadapi, seharusnya semakin dalam makna sebuah pernikahan itu. Kadang-kadang, untuk membuktikannya, aku mencari kerutan halus di kening atau di bawah mata. Semakin dalam aku memikirkannya, berarti seharusnya semakin banyak pula kerutan di kening dan di bawah mataku.

Tapi tentu saja, menikah bukan main sandiwara. Menikah adalah realita. Bukan konstruksi realita. Menikah itu kehidupan. Tidak untuk dijalani kapan pun dan diakhiri kapan pun. Tidak untuk dilihat banyak orang bobrok dan aibnya. Tidak untuk disoraki. Tidak pula untuk menipu penonton. Menikah adalah komitmen untuk terus bersama-sama. Mencium bau ‘iler’ yang sama di pagi hari, mengendus bau keringat yang sama di malam hari. Menyeka peluh di kening yang sama. Mengantar dan menyambut orang yang sama. Dan menghaturkan doa sepanjang hari baginya. Orang yang sama. Selama-lamanya.

Kadangkala, atau malah sering kali, aku merasa kesepian. Menanti suamiku pulang ditemani Facebook, tugas kuliah, dan DVD semalaman. Menangis sendirian, tertawa juga sendirian. Sampai-sampai aku merasa menjadi heavy viewer, dan mulai terbawa-bawa perilaku Betty Suarez dalam film Ugly Betty, kesukaanku. Ada masanya aku protes. Merasa tidak dihargai. Apalagi semenjak kehadiran istri kedua suamiku yang bernama lengkap Blackberry Gemini alias blekedet. Sepanjang malam tangannya sibuk di keypad. Tertawa entah pada siapa dan menertawakan apa.

Ada kalanya aku marah. Ingin disanjung-sanjung lagi, ingin dipuja-puji lagi, ingin dimanja-manja lagi. Ah, memang dasarnya aku affectionate dan needy. Tapi, mana paham suamiku yang anak teknik itu. Hidup bagi suamiku segampang rumus fisika, dan se-ribet rumus matematika. Aku berpikir hidup yang penuh makna dalam dan dramatis. Penuh puisi dan lantunan ayat suci. Se-simpel membuat cerita pendek, dan se-susah mengakhirinya.  Dan suamiku memasukkan berbagai rumus hitung-hitungan dalam hidup dramatis versi aku. Jadilah kami bertemu, dua makhluk dari planet yang berbeda dengan cara berpikir yang berbeda pula.

Seseorang pernah bertanya, ‘apakah aku bahagia?’.

Dan, despite of everything, ‘YA, AKU BAHAGIA’.

Perbedaan itu membuat kami belajar menghargai. Perbedaan itu membuat kami belajar menerima. Perbedaan itu membuat kami belajar mendengarkan.

Suamiku rela memerahkan kupingnya, mendengarkan omelanku saat dilanda cemburu. Rela menunggu redanya tangisku saat mengharu biru. Rela memakan masakanku yang rasanya abu-abu. Rela membaca tulisanku, walaupun dia tidak suka membaca. Rela menjadi segala-galanya bagiku.

Dan aku pun belajar. Mendengarkan penjelasannya tentang gejolak pasar bursa.  Mendengarkan Sri Jegarajah di Squawk Box CNBC dan mengangguk-angguk sok ngerti. Mengerahkan seluruh kemampuanku untuk memahami teori kecepatan cahaya dan kecepatan peluru saat ditembakkan, walaupun kalau itu orang lain aku pasti bergumam, “you know what, i don’t give a damn…”.

Tapi dia suamiku, dan aku istrinya. Tugas kami adalah mencintai. Dan mencintai dapat diterjemahkan dengan bersama-sama mendengarkan, memahami, merelakan, dan… berusaha keras untuk itu.

So, pernikahan itu memang berbeda dengan bayanganku. Karena penikahan itu lebih indah ketika dijalani, bersama-sama.

And, yeah, despite of everything, i’m HAPPY!!!

 

Hubby And Me

Despite of Everything, I'm Happy