Perjalanan Pulang

Hidup itu, adalah perjalanan pulang…

***

Tulisan ini, adalah tentang perjalanan itu. Perjalanan yang bertele-tele, yang kita semua jalani. Sibuk kita sepanjang tahun mengumpulkan bekal perjalanan, memikirkan pakaian apa yang harus dikenakan dalam perjalanan. Tapi, kerap kali, kita lupa bahwa sebaik-baik bekal, sebaik-baik pakaian adalah takwa…

Saya tidak tahu harus darimana saya memulai tulisan ini. Tapi, mungkin saya harus mulai dari malam tadi. Saat saya bertekad untuk tidak tidur lagi setelah sahur di keesokan hari. Ada undangan promosi doctoral rekan saya yang harus saya hadiri, dan saya tidak mau absen lagi seperti undangan dua hari sebelumnya.

Namun selepas Shubuh pagi tadi, saya mulai kriyep-kriyep. Mengangguk terkantuk-kantuk. Mungkin memang harus tidur. Sebentar saja, piker saya. Paling tidak saya tidak akan benar-benar kesiangan karena suami saya pun harus berangkat pagi-pagi. Udara yang sejuk pagi ini semakin mengkondisikan saya untuk menarik selimut dan terlelap, sampai Mama menelepon…

“Pak Jamal meninggal…,”ujarnya.

“Hah? Pak Jamal mana, Ma?” Tanya Suami saya yang mengangkat telepon dari Mama.

“Pak Jamal supir…”, jawab Mama.

“Hah??”

“Kok Hah?! Innalillahi dong…”, ralat Mama.

Sontak, kantuk saya hilang.

Inna LiLlahi wa Inna Ilaihi Rajiuun…

Rasanya sulit saya percaya bahwa laki-laki yang sering saya mintai tolong untuk mengantar-jemput saya  sudah berpulang ke haribaan-Nya. Pasalnya, baru Sabtu lalu saya minta tolong diantar ke kajian Asma’ul Husna Ust. Bahtiar Nasir. Beliau tidak tampak sakit, bahkan tampak segar sekalipun sedang shaum.

Pak Jamal ini bukan supir “tetap” keluarga saya. Selepas pension dari Bank CIMB Niaga (juga sebagai supir), Pak Jamal sering dimintai tolong tetangga saya untuk menjadi supir harian. Saya termasuk yang sering menggunakan jasa beliau beberapa tahun belakangan.

Reaksi pertama saya mengetahui beliau meninggal tentu saja terkejut dan tidak percaya. Lalu terbersit juga sedih, karena bagaimanapun saya sering bepergian bersama beliau. Seorang supir, walaupun hanya “supir”, profesi yang tidak membutuhkan titel sarjana dan tidak pula dibayar mahal, sejatinya saya sebagai penumpang berhutang “keselamatan” padanya. Kita pun, dalam perjalanan, menitipkan “keselamatan” orang-orang tercinta pada seorang supir. Banyak hal yang terjadi selama perjalanan, kita melaluinya bersama sang supir. Bersama Pak Jamal, saya “pecah telur” melakukan presentasi pertama saya di konferensi internasional komunikasi di Bandung, belum lama ini. Beliau juga yang selalu siap sedia datang pagi-pagi buta mengantar suami saya menuju bandara untuk perjalanan bisnisnya. Jadi, tidak berlebihan saya rasa, apabila saya dan keluarga merasakan kedekatan dengan Pak Jamal dan turut merasakan sedih saat beliau berpulang.

Namun, sedih itu lekas berganti. Saya tidak lagi sedih untuk beliau, ketika saya mengetahui bahwa beliau wafat saat sedang shalat Shubuh berjamaah di masjid. Pada rakaat kedua, saat imam membaca Al-Fatihah, ia ambruk ke belakang dan tidak pernah bangun lagi setelah itu.

Saya sedih untuk diri saya sendiri.

Episode hidup Pak Jamal sudah selesai, dan Allah menutup layar panggung kehidupannya dengan akhir yang indah. Akhir yang saya yakin diinginkan, disebut-sebut dalam do’a jutaan Muslim di seluruh dunia. Namun episode hidup saya, dan banyak orang yang ditinggalkan Pak Jamal, belum selesai. Entah kapan Allah menyelesaikannya, dan yang terpenting adalah bagaimana Allah menyelesaikannya…

Saya yakin, akhir hidup seseorang berbanding lurus dengan kesehariannya. Saya pernah mendengar seseorang yang meninggal tersengat listrik tetangganya yang sedang ia perbaiki. Rupanya ia dikenal sebagai orang yang senang membantu tetangga tanpa pamrih. Pernah pula saya mendengar akademisi komunikasi tutup usia dalam perjalanannya memberi kuliah. Betapa kematian itu sesungguhnya tidak pernah menunggu terlalu jauh dari kehidupan kita…

I was wondering, apa yang sering dilakukan Pak Jamal sehingga akhir hidupnya yang begitu tiba-tiba membuat semua orang melepasnya dengan rela bahkan mungkin cemburu?

Saya lalu memulai dengan kepribadian beliau yang saya kenal selama ini. Hal yang paling berkesan untuk saya adalah keikhlasan beliau selama menjalani profesinya sebagai supir. Saya tidak pernah marah satu kali pun, sejauh yang saya ingat. Ada beberapa supir yang tampak terbebani saat mengemudi. Apalagi pengemudi taksi. Ada kalanya membuat penumpang merasa “tidak diinginkan”. Tapi Pak Jamal berbeda.

Saat saya meminta beliau mengantar saya dan adik saya berwisata ke Taman Safari, ia tampak begitu gembira menjalaninya. Padahal jalanan macet, dan perjalanan ke sana tidak bisa dibilang dekat. Ia tampak senang ikut memberi makan hewan-hewan yang ada di Taman Safari. Begitu juga saat saya meminta beliau mengantar saya ke Majlis Ta’lim (sebagai momen terakhir yang saya ingat), tidak seperti pengemudi lain yang mungkin memilih tidur di mobil, ia memilih untuk ikut serta di ta’lim.

Selain masalah profesionalitas seperti yang saya sebutkan di atas, saya juga mengenal beliau pribadi yang rajin shalat dan takut sekali tertinggal shalat. Beliau juga memiliki kenalan, rekan, dan sanak family yang bejibun, yang sepertinya tersebar di sepanjang Pasar Minggu. Dimanapun selalu ada kenalan beliau. Entah itu teman, saudara atau bahkan sekedar “masih” saudara. Belum lagi sifat beliau yang ringan tangan membantu orang lain tanpa pamrih. Belum lama ini, misalnya, sebagai komisi penjualan rumah, ia kebagian jatah 6 juta. Jatah itu terbilang kecil dari komisi sebenarnya yang harus dibagi empat dengan saudara-saudaranya yang lain. Akan tetapi, 6 juta itu ia bagi-bagikan pada anak-anaknya, saudara-saudaranya juga bahkan pada supir Mama saya yang lain (yang bekerja tetap) sebagai “uang dengar”.   

Akhir tulisan ini, saya ingin mengutip kata-kata seorang ustadz pada shalat jenazah beliau. Kita harus belajar dari almarhum. Apa kebiasaan almarhum, dan kebaikan almarhum yang sering beliau lakukan semasa hidupnya, yang membuat Allah berkenan mewafatkannya saat sedang shalat Shubuh berjamaah, di penghujung bulan Ramadhan?

Kata-kata itu (atau kurang lebih seperti itu), menghajar telak saya. Sekali lagi, kesedihan ini pantasnya saya nisbatkan untuk diri saya sendiri. Di dunia, posisi saya dan Pak Jamal boleh berbeda. Kasarnya, saya bisa mengatakan bahwa saya adalah “majikan”, dan beliau adalah supir. Di dunia pula, posisi Pak Jamal dan pejabat-pejabat salah satu bank swasta terbesar di Indonesia itu pun boleh jauh berbeda. Akan tetapi, saya, belum tentu bisa berkompetisi dengan beliau di sisi Allah. Sampai kelak saya wafat, saya (harusnya) masih harap-harap cemas, dimana posisi saya di sisi-Nya? Apakah kelak Allah juga berkenan menuliskan “The End” episode hidup saya dengan indah dan bahagia?  

Jadi, hari ini saya ingin mengucap syukur pada Allah Sang Maha Menentukan Takdir. Telah ditakdirkan-Nya, saya selama ini diantar-jemput oleh orang yang dipilih-Nya untuk husnul khatimah. Saya juga ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada Bapak Jamaluddin untuk semua jasanya, bantuannya semasa hidup. Untuk tidak pernah mengeluh, dan untuk selalu menyertakan Allah dalam setiap perjalanan. Terima kasih pula telah mengajarkan banyak hal kepada saya hari ini. Bahwa tidak perlu titel berderet-deret, harta bergunung-gunung atau jabatan setinggi langit untuk mendapatkan kemuliaan di sisi Yang Maha Mulia.

Selamat menikmati kehidupan baru, semoga Allah menghapus bersih kesalahan-kesalahanmu. Dan semoga kelak, surga-Nya adalah tempat kita berjumpa…

Aamiin.

  

Confession of a Fashion Lover

“Hai anak Adam, Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian utk menutup auratmu & pakaian indah utk perhiasan. & pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, Mudah-mudahan mereka selalu ingat.” (QS. Al-A’raaf: 26)

Saat saya mengetik ini, saya sedang kegirangan mengetahui bahwa celana Jeans saya yang sudah sempit sekarang bisa dipakai lagi. Mungkin ini hikmah Ramadhan, sekaligus ujian bagi saya dan komitmen saya untuk berhijab lebih baik dan sesuai tuntunan Al-Quran dan Sunnah. 

Sengaja saya pelihara Jeans belel ini untuk indikator lingkar pinggul (masih hipster bo..), dan mungkin sesekali untuk saya kenang bahwa saya pernah langsing (bukan kurus). Keinginan untuk memakai kembali masih sangat kuat. Jujur, sebagai perempuan biasa, saya terkadang kangen pake jeans lagi, dengan baju yang nggak panjang-panjang amat. Sebagai perempuan biasa pula, saya kangen membeli kemeja di toko “biasa” tanpa harus memperhatikan panjang bajunya, apakah bajunya transparan atau tidak, membentuk badan atau tidak dan sebagainya. 

As a matter of fact, saya memang masih mengenakan celana panjang pada saat tertentu, khususnya saat-saat saya harus bergerak dengan mobilitas tinggi. Personally, saya tidak menganggap celana adalah pakaian laki-laki. Karena apabila dikotominya adalah demikian, maka gamis pun adalah pakaian laki-laki di Timur Tengah, rok tartan adalah pakaian laki-laki di Skotlandia, dan celana adalah pakaian perempuan di China. Maka apakah ketika saya mengenakan gamis saya menyerupai laki-laki? Dan apakah ketika suami saya mengenakan celana, ia menjadi seperti perempuan?

Untuk saya, celana lebih pada “bentuk”nya yang membentuk bagian tubuh mulai dari pinggul hingga tungkai kaki. Apalagi celana jaman sekarang yang ketat ketit. Buat saya yang dianugerahi tubuh tidak kurus (dan mungkin memang tidak akan bisa benar-benar kurus), mengenakan celana dengan baju biasa (bukan tunik panjang) adalah PR sendiri. Untungnya, tren busana muslimah sekarang memunculkan ragam kulot yang unyu-unyu.

Pada akhirnya, saya memang lebih menyukai kombinasi gamis dan kerudung yang labuh karena beberapa hal:

Pertama, karena mengenakan gamis (atau gaun panjang) dan kerudung labuh (kerudung menutup dada maksudnya…. saya belum bisa mengenakan khimar yang menutup pergelangan tangan…) lebih tidak membentuk tubuh (asal bukan sackdress panjang yaa…) dan lebih sesuai dengan perintah Allah pada Al-Quran, surat Al-Ahzab ayat 59.

Kedua, memakai gamis memberikan saya sense of femininity (entah ini sebuah kata atau bukan :p) yang membuat saya merasa lebih perempuan dan lebih anggun (prett).

Ketiga, memakai gamis membuat saya bergerak lebih bebas, dalam artian, mau duduk saya rapih, mau kaki saya naik ke kursi saya tidak perlu khawatir ada bagian tubuh saya yang akan ter”gambar”.

Keempat, sebagai seorang perempuan yang besar dengan dongeng-dongeng princess, bergamis memberikan saya sensasi “princess-like”, apalagi kalau bahannya chiffon dan bentuknya A-line, lalu sedikit kepanjangan sehingga saya harus menariknya sedikit dengan kedua tangan saat saya menuruni tangga…Saat itulah saya merasa bak Aurora Syariah :p *abaikan*.

Kelima, gamis adalah pakaian yang sederhana, membuat saya tidak perlu berlama-lama memikirkan atasan dan bawahannya (tapi lama juga milih kerudungnya hehehehe…).

Keenam, dengan kerudung yang labuh dan gamis, saya merasa punya privasi dan kebebasan, dan perasaan ini yang mungkin dimiliki oleh Muslimah bercadar. Sense of privacy bahwa “tubuhku adalah milikku”. I own my body, dan tidak ada yang bisa mendikteku. Tidak trend fashion barat di media massa maupun stigma sosial. Hanya Allah dan Rasul-Nya yang bisa telling me what or what isn’t to do. 

Ketujuh, kombinasi gamis dan kerudung yang labuh, selain memberikan rasa aman dan kedewasaan, pada titik tertentu juga menjadi refleksi sekaligus kontrol diri. Pertama, mengontrol perilaku saya dan perilaku orang lain (saya merasa diperlakukan lebih “respek” saat bergamis), kedua mengontrol perilaku belanja karena saya menjadi lebih selektif terhadap pemilihan model, ukuran serta bahan. 

Last but not least, banyak yang bertanya pada saya, “beli baju dimana?”. Sebagian besar baju saya tidak dibeli di Matahar* atau Debenham* atau R*nti atau Shaf*ra atau toko-toko mainstream di mall-mall. Sebagai rakyat jelata, saya sering berburu baju lucu-lucu di Tenabang dan tetangganya, Thamrin City. Tapi, sepertinya sebagian besar kebutuhan per-hijab-an saya sekarang saya peroleh dari OL Shop.  

So, di sini saya akan me-list beberapa online shop (ini bukan tulisan berbayar yaaa…) yang menjadi favorit saya karena menurut saya recommended dari harga, kualitas dan bahan:

1. Kafika by Ficca. Ini OL Shop yang juga punya Offline Shop di Thamcin City. Yang punya adalah sahabat saya, Ficca. Koleksinya yang didominasi bahan Jersey bisa dilihat di Instagram @kafika_fika. Harga sebanding sama bahannya, selalu dibuat dalam ukuran besar (padahal pemiliknya imut-imut) jadi bisa untuk bumil dan plus size, serta banyak koleksinya yang breastfeeding friendly. Kafika ini banyak menjual tunik, gamis dan celana longgar yang sangat nyaman (untuk tidur maupun jalan-jalan). Hati-hati penggemar warna pastel, kemarin koleksi pastelicious-nya sukses meluluhkan hati.

2. Rheen Shop. Rheen Shop adalah agen resmi gamis deema yang ciri khasnya berbahan katun dengan warna-warna menarik. Yang paling saya suka dari koleksi gamis deema yang dijual di Rheen Shop adalah dia hampir selalu lebih bagus aslinya daripada fotonya. Selain itu, gamis yang didominasi oleh bahan katun rami dan jatun jepang menggunakan bahan yang digunakan juga digunakan oleh line Muslimah Clothing lain tapi dengan harga jauuuuuhhhh banget. Ini sudah saya buktikan sendiri. Satu gamis merk lain dengan bahan yang sama bisa dijual dengan harga 400-500 ribu. Sedangkan gamis deema harganya kurang dari 200 ribu. Baru-baru ini gamis deema juga mengeluarkan gamis jersey (yang bahannya juga digunakan oleh clothing line terkemuka) yang dibanderol dengan harga juga di bawah 200 ribu. Oia, gamis deema ini juga semuanya breastfeeding fiendly lho…

3. Lubna Zhifara. OL Shop milik Mbak Susan ini adalah agen resmi dari kerudung Zhifara. Personally, saya berani bilang bahwa Mbak Susan adalah pedagang OL Shop terbaik yang pernah saya temui. Selain karena dapat dipercaya juga sangat customer oriented menurut saya. Untuk kerudung Zhifara-nya sendiri menggunakan spandex sutra, bahan yang sangat nyaman dikenakan. Tapi, hati-hati untuk yang badannya agak berisi, karena kerudung spandex terkadang suka “nyeplak”. Pintar-pintar pilih modelnya, karena walaupun semua model kerudung Zhifara unyu-unyu, tidak semua bisa digunakan oleh Muslimah yang tubuhnya berisi. Nah, baru-baru ini Zhifara mengeluarkan gamis katun dengan model A-Line dan bisa customize. Motif dan coraknya berragam dan manis sekali. Walaupun awalnya saya merasa agak terlalu mahal untuk sebuah gamis katun dihargai 250 ribu rupiah; akan tetapi ketika merasakan sendiri nyamannya katun jepang di badan, saya pikir itu harga yang worthed it. Katun Jepang gitu loh… Harga sprei katun Jepang aja mihil bingits…Oia, OL Shop Lubna Zhifara juga menjual khimar berbagai ukuran. Ada yang 120×120 sampai 150×150 berbahan moscreppe dengan berragam warna. Bahannya agak mengkilap dan tidak tansparan. 

Sebenarnya ada beberapa lagi OL Shop yang saya sukai, tapi sementara tiga ini dulu yang menjadi favorit saya. Semoga bisa menjadi referensi berbelanja “perabotan hijab” yang sesuai Al-Quran dan Sunnah.

Akhir kata, saya ingin mengingatkan diri saya sendiri bahwa sebaik-baik pakaian adalah pakaian taqwa, yang dikenakan atas dasar ketaqwaan bukan atas dasar ketenaran. Yang benar datang dari Allah, dan kesalahan serta kealpaan dalam tulisan ini adalah dari saya sendiri.