Sebuah Catatan Pribadi tentang Bahasa Arab (Part1)

Bahasa Arab, untuk banyak anak muda Indonesia masih dianggap kurang keren. Setidaknya bahasa Inggris, Prancis atau yang sekarang sedang booming, Bahasa Korea masih menjadi favorit dan dianggap lebih keren dibandingkan dengan Bahasa Arab. Dan terima kasih kepada media massa yang seringkali menampilkan sosok Arab yang bicara cadel huruf “P” dan menjadi bulan-bulanan; yang mungkin, menurut analisis saya, hal ini juga menjadi pengaruh tersendiri menjadikan Bahasa Arab jadi terasa nggak keren. Padahal bangsa kulit putih juga banyak yang dalam berbahasa tidak bisa mem-pronounce huruf “R”. Sebut saja Prancis, atau orang-orang berbahasa Inggris yang menyebut “R” hanya di ujung lidah. Tapi herannya, mengapa tidak dianggap “tidak keren”?

Personally, saya suka belajar bahasa. Jadi, sampai beberapa waktu lalu, saya tidak punya tendensi apa-apa saat belajar bahasa asing. Dulu sekali saya pernah belajar bahasa Prancis, tapi selalu tidak bisa menyelesaikan satu term karena terbentur waktu dan aktivitas lain. Alasan saya belajar bahasa Prancis selain karena kesukaan saya pada bahasa, adalah karena they just sound so…beautiful. Dan Bahasa Prancis, konon adalah akar dari bahasa-bahasa Eropa. Banyak buku-buku klasik keilmuan Barat ditulis dalam bahasa Prancis.  Alasan terakhir, karena jaraknya dekat dari rumah saya waktu itu. Hehe. Pandangan saya terhadap per-bahasa-an ini mulai bergeser saat saya S2. Saya baru melek bahwa bahasa sejatinya bisa menjadi petunjuk atas banyak hal. Siapa influencer terbesar sebuah bangsa bisa terlihat dari bahasanya. Sejauh mana kemajuan peradaban sebuah bangsa juga bisa dilihat dari bahasanya. Pilihan kita dalam menggunakan bahasa pun menunjukkan siapa kita.

Menarik bahwa Indonesia adalah rumah bagi seperempat populasi Muslim dunia tapi hanya segelintir orang yang mampu bicara bahasa Arab. Padahal aksara-aksara Melayu kuno banyak dipengaruhi oleh bahasa Arab. Dan kesusasteraan bangsa Melayu di masa keemasannya sungguh indah, santun dan tinggi. Lalu, kapan mulanya bahasa Arab menjadi “tertinggal” dari bahasa-bahasa bangsa barat? Mungkin sejak “The Britanian Rules The Waves” dan imperialisme serta misi penaklukan kembali dilakukan. Lalu menjadi serupa dengan bangsa penjajah meningkatkan kelas sosial…

 Buku-buku Komunikasi Antar Budaya yang menjadi makanan saya selama mengajar mata kuliah bernama sama banyak mengajarkan saya tentang makna di balik sebuah bahasa. Sudah jamak diketahui bahwa salah satu bagian dari nilai budaya adalah perbedaan “high context” dan “low context”. Gampangnya begini, budaya dengan konteks tinggi adalah budaya dengan bentuk komunikasi tersirat. Maknanya tidak selalu ada dalam bahasa verbal. Alih-alih seseorang harus melihat pada banyak konteks serta gesture non verbal untuk bisa menemukan makna. Budaya konteks rendah sebaliknya. Makna bisa ditemukan dengan cukup memahami bahasa verbal seseorang. Tidak banyak konteks yang melatarbelakangi sebuah interaksi.

Ribet?

Begini contohnya. Indonesia, khususnya Jawa berkonteks budaya tinggi. Lihat bagaimana orang Jawa memulai sebuah pembicaraan. Seringkali maksud pembicaraannya tidak sama dengan ucapannya, dikarenakan banyaknya konteks yang mengelilingi sebuah interaksi. Penuh dengan tata krama. Berbicara dengan orang yang lebih tua berbeda dengan bicara dengan orang yang lebih muda. Bicara dengan Sultan, berbeda dengan bicara dengan tukang becak.

Bandingkan dengan, misalnya, Amerika Serikat. Kepada boss, seseorang bisa memanggil nama; seorang anak kecil juga bisa memanggil nama pada orang-orang tua; bahkan seorang anak kadang memanggil ayahnya dengan nama. Tidak ada Anda, tidak ada Sampean, tidak ada Panjenengan. Semuanya “Kamu”. 

Dari sinilah, muncul kekaguman saya pada bahasa Jawa, bahasa China, bahasa Jepang, dan bahasa Arab. Betapa tinggi sebenarnya peradaban dan tata kelola masyarakat yang bangsa-bangsa itu bangun di masa lalu. Tidak mudah menciptakan, membangun peradaban dari komunikasi yang sarat konteks. Sejak itu anggapan saya terhadap bahasa Inggris jadi agak rendah. Belajar bahasa Jawa, jadi terlihat lebih classy dari belajar bahasa Inggris.  

Nah, di antara bangsa-bangsa yang berkonteks budaya tinggi, sebagaimana sudah saya sebutkan, adalah Arab. Sekalipun gaya bahasa mereka “outspoken”, tapi ketika berbahasa banyak konteks yang meliputinya. Sebuah kata tidak bisa dipahami sepotong-sepotong, tapi harus dipahami seluruh kalimat, dilihat kalimat sebelum dan sesudahnya serta dilihat pula konteksnya. Tata bahasanya pun sangat detail, memisahkan laki-laki dan perempuan (seperti bahasa Prancis ada feminin dan masculin), memisahkan benda berjumlah satu, dua dan lebih dari dua, membedakan gramatika bahasanya atas masa lalu, masa kini, kata suruhan dan kata larangan. Satu kata bisa memiliki banyak arti dan banyak perubahan bentuk dengan arti yang berbeda. Sebuah kata juga bisa berubah pengucapannya mana kala berubah kedudukan dalam kalimat. “Rumah” pada kata “Rumah yang Indah” berbeda dengan “Saya ada di rumah”. 

Al-Quran, sebagai sebuah kitab otentik berbahasa Arab yang tidak berubah sejak masa diturunkannya, sebenarnya awalnya ditulis oleh para sahabat Rasulullah SAW yang bisa menulis tidak dengan bantuan tanda baca, alias arab botak. Artinya mereka paham betul makna serta konteks sebuah ayat dan kedalaman maknanya. Menurut guru bahasa Arab saya, Al-Quran diberi tanda baca untuk memudahkan bangsa non-Arab belajar Al-Quran. Ya, kebayang sih ya… 😀

Saya, yang baru belajar beberapa bulan dengan tambahan sisa ingatan ilmu jaman SMP,  alhamdulillah dengan izin Allah, begitu norak karena senang mulai bisa membaca (baca: menebak) sedikit petunjuk dengan tulisan Arab gundul. Kuncinya adalah memang memahami konteksnya. Begitupun, saat saya lagi “ngawur”, saya ditertawakan ustadzah bahasa arab saya karena salah membaca “Al-Jumu’ah” dengan “Al-Jaami’ah”. Padahal tulisannya beda dan artinya jauh. Al-Jumu’ah merujuk pada Hari Jum’at. Al-Jaami’ah merujuk pada universitas :p. Dan memang semakin kita pahami konteksnya, tanpa tanda baca pun sebenarnya terlihat maknanya. 

Artinya apa? Artinya, apabila Al-Quran dituliskan awalnya tanpa tanda baca, dan Al-Quran memiliki tingkat kesusasteraan yang sangat tinggi bagi bangsa Arab di jaman itu (dan jaman sekarang) memahaminya memang harus melihat konteksnya. Saya bener-bener baru agak paham makna surat Ad-Dhuha waktu nonton film Omar. Waktu Ammar Bin Yasir membacakannya kepada kedua orangtuanya, dan saya membaca subtitlenya. Surat yang sudah saya hafal sejak SD, ternyata dalemmmm banget maknanya, terlebih lagi di film yang membuat saya paham dengan konteks surat tersebut. Dan saya jadi paham mengapa disunnahkan dibaca pada waktu shalat Dhuha, yang katanya adalah shalat para pencari rizki.  

 

 

Ketika Muslimah Dikomersialisasi

Islam memuliakan perempuan bukan dengan mahkota dan kemewahan 🙂

Image

Rame-rame pro kontra Miss World akhir-akhir ini membuat saya ingat masa kecil saya. Dibesarkan dengan buku cerita yang penuh putri-putri Disney, mulai dari Snow White sampai Pocahontas (dan Mulan tapi saya sudah agak gede waktu nonton Mulan) membuat saya menyukai sosok “princess-like” yang bertubuh langsing, dan cantik jelita. Sudah dapat dipastikan saya juga suka mengikuti acara-acara beauty pageant sebagai penonton setia. Putri Indonesia sih yang dulu selalu saya ikuti. Waktu itu saya masih SD. Bayangan saya akan Putri Indonesia nggak jauh-jauh amat sama imej “princess” a la Disney, cantik, berambut panjang terurai dengan gaun panjang dan mahkota, yang melambaikan tangan dengan putaran seperti kipas angin (bukan ke kiri ke kanan tapi ke arah dalam dan luar).

Sekarang sih, saya memandang acara-acara beauty pageant, jujur saja dengan pandangan iba. Bagaimana bisa perempuan-perempuan yang katanya nggak cuma cantik tapi juga pintar, tidak cukup pintar untuk menyadari bahwa kecantikan mereka-lah yang membawa mereka sampai ke kontes semacam itu. Pernah melihat kontestan miss world atau miss-miss lain yang over-weight ? Uh wait, saya lupa ada juga acara-acara miss-miss-an untuk mereka yang over-weight. Atau pernah lihat acara beauty pageant yang pesertanya handicapped? Apa mereka tidak cantik? Apa mereka tidak pintar dan kurang behave?

Lupakan acara miss-miss-an, itu belum seberapa, saya lebih iba dan kasihan lagi dengan adanya kontes Muslimah bertaraf dunia. Inna Lillah…

Apa segitu doang nilai Muslimah? Senilai kontes dunia? Apa gunanya mencantumkan embel-embel “Muslimah” kalau ternyata pesertanya pun tidak jauh dari cantik dan gaya? Apa guna hijabnya kalau tidak bisa meng-hijab dirinya? Bukankah Allah tetapkan hijab itu untuk melindungi dan menjadikan seorang Muslimah “berbeda”?

Muslimah “Berbeda” bukan karena eksklusif dan mewah, tapi “berbeda” karena kita sudah Allah berikan sarana untuk melindungi diri. Berlindung dari kesombongan, rasa ingin tampil dan yang paling utama Allah melindungi kita dari dipandang sekedar fisiknya saja. Lalu apa bedanya Miss World dengan Miss (atau Ukhti) World Muslimah kalau orientasinya juga hanya fisik semata? Apa dengan embel-embel ke-Islam-an membuat segala sesuatu menjadi Islami? I’m not quite agree with that.  

Muslimah sudah keren dari sononya, saya berulang kali menulis ini, tanpa harus dikontestasi, tanpa harus dilombakan. Keren karena kita semestinya merdeka dari penjajahan fashion, mode dan tuntutan jaman yang entah kapan habisnya. Keren karena kita diwajibkan menuntut ilmu dan memberi sebesar-besarnya manfaat untuk orang banyak. Keren karena kita adalah tiang negara dengan segala potensi yang Allah berikan pada tiap-tiap diri. Keren karena dalam Islam perempuan juga bisa menjadi penutur sejarah, tidak hanya “his story”, tapi juga “her story”. Keren karena dalam Islam perempuan sudah dari lahirnya dilindungi hak dan kewajibannya dengan seadil-adilnya. Keren karena seorang laki-laki dalam Islam selamanya harus tunduk pada Ibunya. Keren karena perempuan (Ibu) tiga kali lebih berhak dihormati daripada Ayah. 

Sudah keren. Tanpa tren. Sudah punya mahkota. Walau tanpa permata. Sudah mulia. Tanpa perlu piala.

As for myself, saya punya banyak sekali alpa dan kekurangan. Bukan saya lebih baik dari siapapun, apalagi di mata Allah hanya amal shalih yang dihitung, sedang saya sadar belum melakukan banyak hal. Mungkin para peserta dan penyelenggara kontes muslimah dunia jauh lebih mulia dari saya di sisi Allah. Ini hanya sisi “kritis” saya dan hati saya yang tidak nyaman dan iba dengan saudari Muslimah saya yang harus menjadi pusat perhatian di saat semestinya ia bisa menjadi lebih dari sekedar produk komersialisasi dan komodifikasi. 

Bu Een Sukaesih, seorang guru di Cimahi yang insyaAllah, Allah muliakan dengan rematik di sekujur tubuh, menurut saya lebih pantas menjadi duta Muslimah dunia, karena dedikasinya yang luhur pada pendidikan, ketulusan, semangat dan kesabarannya menghadapi penyakit yang tidak mudah. Bu Saidah di Buton yang menjadi aktivis konservasi biota laut, juga tidak kalah pantasnya menjadi inspirasi dunia. Keduanya mungkin tidak punya waktu untuk “bergaya”, alih-alih keduanya mengisi hari-hari dengan banyak karya. Saya yakin, selain mereka, masih banyak Muslimah-muslimah keren nan tangguh di luar sana, yang pantas menjadi inspirasi bagi kita semua, mungkin tanpa selempang gelar, tanpa mahkota dan make-up tebal, mungkin kedua matanya tidak bisa melihat, atau kakinya hanya ada satu, mungkin tampilannya tidak menarik dari tolak ukur dunia. Tapi, bukankah apa yang di dunia lambat laun akan sirna, dan apa yang di sisi Allah akan kekal?

 

“Katakanlah kepada wanita yang beriman, hendaklah mereka menahan sebagian pandangannya dan memelihara kemaluannya. Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa nampak daripadanya…” (QS. An-Nur:30) 

*Image Courtesy of Getideaka/freedigitalphotos.net