Perjalanan memanglah mengajarkan kita banyak hal. Bukan hanya sebagai pengalaman hidupyang sifatnya duniawi, tapi juga spiritual. Ya, sebuah perjalanan semestinya bisa mendekatkan seseorang pada Penciptanya. Yang pada-Nyalah seorang hamba memasrahkan rumah, harta dan keluarganya saat ia pergi. Dan pada-Nya pula, seorang hamba memasrahkan diri dalam perjalanan. Semua bisa terjadi dalam perjalanan. Baik atau buruk. Untung atau buntung.
Bulan madu saya dan suami ke Malang-Bromo beberapa minggu lalu, salah satunya. Kali ini saya tidak (belum) akan mengisahkan Bromo-nya, kali ini saya akan mengisahkan pertemuan saya dengan dua orang yang memberi saya pelajaran berharga.
Bahagianya menjadi seorang Muslim, kita diajarkan Allah berbuat adil kepada siapapun dan rendah hati kepada siapapun. Termasuk di dalamnya, rendah hati untuk belajar pada mereka yang bukan Muslim, sebagaimana Rasulullah SAW menyuruh para tawanan untuk mengajarkan anak-anak Muslim membaca dan menulis sebagai tebusannya.
Pada saat pergi dan pulang, saya berada satu pesawat dengan biarawati dan seorang bhiksu. Perilaku mereka sungguh santun dan penuh senyum. Itu yang saya perhatikan. Jujur, saya ingin mengamati mereka lebih lama tapi saya khawatir menimbulkan prasangka yang tidak diinginkan. Jadi, sedikit sekali yang bisa saya amati, karena saya hanya mencuri-curi pandang. Tapi semoga hasil “curi-curi pandang” saya membawa pelajaran berharga.
Seorang biarawati dan bhiksu. Bagaimana saya mengenali keduanya? Dari pakaiannya tentu saja. Keduanya memiliki kesamaan dengan diri saya. Saya pun (ingin) dikenali sebagai Muslim dari pakaian yang saya kenakan. Sang Bhiksu berpakaian warna kuning oranye, kepalanya tidak berambut dan berjalan perlahan-lahan dengan wajah tersenyum yang menyenangkan. Sang biarawati memakai kerudung (tutup kepala), baju panjang berleher tinggi, ramah dan tampaknya ia adalah seorang yang percaya diri. Saya bisa melihat dari caranya berbicara dan berjalan.
Lalu mengapa saya begitu ingin mengamati keduanya?
Sederhana saja, saya merasa ada “kesamaan” antara saya dan keduanya. Dan saya menaruh hormat pada orang-orang yang tidak malu menunjukkan identitas dirinya.
Dan sepertinya rasa hormat itu pulalah yang didapatkan Sang Bhiksu dan Sang Biarawati yang saya temui di bandara. Secara kebetulan, Sang Biarawati satu pesawat dengan saya saat menuju Malang dan Sang Bhiksu satu pesawat dengan saya saat perjalanan kembali ke Jakarta. Saat berangkat, saya perhatikan banyak orang membantu Sang Biarawati, dan memperlakukannya dengan respekt. Begitu pula dengan Sang Bhiksu. Saya memperhatikan bagaimana dua orang perempuan berdiri takzim dan memberikan jalan untuk Sang Bhiksu menuju bangkunya. Kebetulan Sang Bhiksu duduk di dekat jendela pesawat, dan dua perempuan tadi duduk di bangku sebelahnya.
Dan memang demikianlah saya pikir, rasa hormat itu yang akan didapatkan seseorang ketika ia berani menunjukkan dien-nya, agamanya, way of life-nya, isme-nya dan memegangnya kuat-kuat.
Apakah saya sedang menyamakan semua agama?
A’uzubillah… Bukan. Yang saya maksud di atas dengan ada “kesamaan” antara saya dengan Sang Bhiksu dan Biarawati adalah, bahwa cara kami berpakaian menunjukkan kecintaan kepada Tuhan (walaupun saya masih jauh dari sempurna).
Inilah yang agak “mengganggu” pikiran saya karena lama tertunda untuk saya tuliskan.
Sungguh, saya meyakini bahwa Islam, agama yang dengan izin Allah saya terlahir sebagai pemeluknya, adalah jalan kebenaran. Namun mengapa, adakalanya saya masih menggunakan banyak “tapi” ketika menjalankannya. Bukankah Islam itu berarti submission? Maka mengapa saya tidak menyerah saja pada apa yang Allah mau…
Bukankah semestinya saya malu? Agama yang saya jalani ini begitu mudah:
Saya tidak perlu menyepi dari dunia untuk mendekat pada-Nya.
Tidak perlu tidak menikah sebagai bentuk dedikasi pada-Nya.
Saya cukup menjalani kehidupan dan segala masalahnya dengan penyerahan dan totalitas pada Tuhan. Menjadikan hanya Allah sebagai Tuhan, tanpa perantara anak manusia, benda-benda langit, hewan atau tetumbuhan. Tidak menjadikan hawa nafsu dan kesombongan sebagai penghulu kehidupan.
Mendirikan shalat sebagai “charger” koneksi dengan Tuhan dan penghambaan diri pada Sang Khalik.
Menjadi manusia yang berperilaku mulia, sebagaimana Nabi Muhammad SAW, pembawa risalah Tuhan, mengajarkan.
Tidak menyakiti manusia lain, binatang maupun tetumbuhan.
Berbuat baik pada orang tua, menyambung silaturahim dan persaudaraan. Mengasihi anak yatim dan orang-orang tidak mampu.
Menuntut ilmu untuk kemaslahatan. Memberi manfaat sebanyak-banyaknya pada alam semesta.
Berkata dan berperilaku jujur. Disiplin terhadap waktu. Menghargai para guru.
Menjaga kebersihan. Membalas keburukan dengan kebaikan.
Dan banyak lagi… Ah… Bukankah itu nilai-nilai luhur universal yang semestinya “mudah” untuk saya jalankan?
Saya bisa menunjukkan identitas diri dan kecintaan pada Tuhan dengan hijab yang saya kenakan, saya bisa menyalurkan cinta dan kasih sayang pada lawan jenis melalui pernikahan, saya bisa berkarya dan memberi manfaat untuk banyak orang, saya bisa shalat untuk mendapatkan ketenangan, saya bisa puasa untuk menahan hawa nafsu…
Sungguh beruntung, bukan?
Maka, apakah patut saya malu menunjukkan bahwa saya benar seorang Muslim dan merasa susah payah untuk berperilaku sesuai dengan itu?
**Oh iya, satu lagi, tentang “kesamaan” diri saya, Sang Bhiksu dan Biarawati. Kami memang sama-sama berusaha mencintai Tuhan kami. Hanya saja, dengan cara yang berbeda, dan jelas kepada Tuhan yang berbeda. Jadi, karena kami bertemu pada “ruang cinta” yang sama, sungguh saya menaruh hormat pada keduanya dan siapapun yang mencintai Tuhannya, tanpa perlu pusing-pusing menjadikan agama kami (yang pasti dan jelas-jelas berbeda) “sama”. Dan inilah yang juga diajarkan oleh agama saya: Untukmu agamamu, untukku agamaku.
** Dengan segala hormat kepada pembaca yang mungkin bukan Muslim, tidak ada maksud sedikitpun saya untuk menghina atau menjatuhkan. Tulisan di atas adalah kontemplasi diri saya yang masih jatuh bangun mencintai Allah, dan untuk siapapun yang mungkin mengambil manfaat daripadanya.