Seperti Inikah Saya Ingin Dilihat Allah…

“Terakhir kita makan, inget nggak, kamu marah-marah sama pelayannya”

Masih saya ingat kata-kata teman saya tadi siang saat kami makan bersama, setelah tahunan tidak berjumpa. Astaghfirullahal ‘adzim…

Seperti itukah dia mengingat saya? Saya yang marah-marah? 

Dulu saya memang paling tidak suka dilayani dengan buruk di tempat umum, karena saya merasa itu hak saya untuk mengajukan protes. Bukankah pelanggan adalah raja?

Tapi apakah “marah-marah” itulah yang dikenang teman saya? 

Saya teringat almarhum ustadz Jefri Al-Bukhori dan bagaimana setiap orang memiliki kesan yang baik tentangnya. Dermawan, ramah, baik hati… Dan lihatlah bagaimana akhir hidupnya. Berduyun-duyun manusia mengantarkannya menuju kuburnya, memanjatkan doa untuk ampunan-Nya atas diri sang ustadz. Rasanya di Indonesia, setelah Amrozi yang diantarkan warga sekampung menuju liang lahat, pemakaman ustadz Jefri sungguh fenomenal. Masjid Istiqlal penuh dengan jamaah yang ingin mensholatkannya, peziarah pun tidak putus-putus berdo’a untuknya. 😥

 

Lalu pertanyaan selanjutnya adalah, seperti apa Allah melihat saya? Adakah Allah melihat saya sebagai orang yang “marah-marah” juga? Bukankah Allah tahu yang lebih buruk dalam diri saya dibandingkan sekedar “marah-marah”? 

Apabila konsultan humas bisa mengubah citra seseorang dan menipu publik melalui polesan dan banyak setting-an, maka bagaimana cara menipu Allah, sedang Dia Maha Mengetahui?

“…Allah mengetahui apa yang mereka sembunyikan dan apa yang mereka lahirkan, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala isi hati.” Q.S. Huud: 5

Pada Akhirnya, Ini tentang Akhirnya

Gambar

Bungkus kepalanya boleh berbeda-beda, tapi kepalanya tetap sama-sama sujud pada Pencipta. Gambar ngambil didieu –> http://www.cherwell.org/news/oxford/2011/10/17/ousu-back-muslim-prayer-room

Bukan salafi, PKS, tablighi, HTI, NU atau Muhammadiyah-nya yang dinilai Allah.

Di TV, dulu saya lihat, bagaimana seorang Gito Rollies yang tablighi wafat dengan wajah berseri-seri. Lalu bagaimana ustadzah Yoyoh Yusroh yang PKS juga wafat dalam keadaan tampak begitu bahagia. Dan hari ini, seorang ustadz Jeffri yang tidak sedikit yang “mencibiri”, mendapatkan keistimewaan dishalatkan dan didoakan ribuan orang.

Apa-apa yang saya sebutkan di atas hanyalah kendaraan yang kita pilih untuk meraih ridho-Nya. Bukan stempel jaminan surga. Maka berramahtamahlah terhadap sesama pengguna “jalan”, baik yang berkendara berjama’ah dalam gerakan dakwah, maupun pejalan kaki yang berjalan sendiri.

😉

Salam,

Shinta, Muslimah yang senang naik bermacam-macam kendaraan dan menikmati menjadi pejalan kaki. 

Ad-Dien, Agama, Isme, Way of Life

Gambar

Perjalanan memanglah mengajarkan kita banyak hal. Bukan hanya sebagai pengalaman hidupyang sifatnya duniawi, tapi juga spiritual. Ya, sebuah perjalanan semestinya bisa mendekatkan seseorang pada Penciptanya. Yang pada-Nyalah seorang hamba memasrahkan rumah, harta dan keluarganya saat ia pergi. Dan pada-Nya pula, seorang hamba memasrahkan diri dalam perjalanan. Semua bisa terjadi dalam perjalanan. Baik atau buruk. Untung atau buntung. 

Bulan madu saya dan suami ke Malang-Bromo beberapa minggu lalu, salah satunya. Kali ini saya tidak (belum) akan mengisahkan Bromo-nya, kali ini saya akan mengisahkan pertemuan saya dengan dua orang yang memberi saya pelajaran berharga. 

Bahagianya menjadi seorang Muslim, kita diajarkan Allah berbuat adil kepada siapapun dan rendah hati kepada siapapun. Termasuk di dalamnya, rendah hati untuk belajar pada mereka yang bukan Muslim, sebagaimana Rasulullah SAW menyuruh para tawanan untuk mengajarkan anak-anak Muslim membaca dan menulis sebagai tebusannya.

Pada saat pergi dan pulang, saya berada satu pesawat dengan biarawati dan seorang bhiksu. Perilaku mereka sungguh santun dan penuh senyum. Itu yang saya perhatikan. Jujur, saya ingin mengamati mereka lebih lama tapi saya khawatir menimbulkan prasangka yang tidak diinginkan. Jadi, sedikit sekali yang bisa saya amati, karena saya hanya mencuri-curi pandang. Tapi semoga hasil “curi-curi pandang” saya membawa pelajaran berharga. 

Seorang biarawati dan bhiksu. Bagaimana saya mengenali keduanya? Dari pakaiannya tentu saja. Keduanya memiliki kesamaan dengan diri saya. Saya pun (ingin) dikenali sebagai Muslim dari pakaian yang saya kenakan. Sang Bhiksu berpakaian warna kuning oranye, kepalanya tidak berambut dan berjalan perlahan-lahan dengan wajah tersenyum yang menyenangkan. Sang biarawati memakai kerudung (tutup kepala), baju panjang berleher tinggi, ramah dan tampaknya ia adalah seorang yang percaya diri. Saya bisa melihat dari caranya berbicara dan berjalan. 

Lalu mengapa saya begitu ingin mengamati keduanya?

Sederhana saja, saya merasa ada “kesamaan” antara saya dan keduanya. Dan saya menaruh hormat pada orang-orang yang tidak malu menunjukkan identitas dirinya. 

Dan sepertinya rasa hormat itu pulalah yang didapatkan Sang Bhiksu dan Sang Biarawati yang saya temui di bandara. Secara kebetulan, Sang Biarawati satu pesawat dengan saya saat menuju Malang dan Sang Bhiksu satu pesawat dengan saya saat perjalanan kembali ke Jakarta. Saat berangkat, saya perhatikan banyak orang membantu Sang Biarawati, dan memperlakukannya dengan respekt. Begitu pula dengan Sang Bhiksu. Saya memperhatikan bagaimana dua orang perempuan berdiri takzim dan memberikan jalan untuk Sang Bhiksu menuju bangkunya. Kebetulan Sang Bhiksu duduk di dekat jendela pesawat, dan dua perempuan tadi duduk di bangku sebelahnya. 

Dan memang demikianlah saya pikir, rasa hormat itu yang akan didapatkan seseorang ketika ia berani menunjukkan dien-nya, agamanya, way of life-nya, isme-nya dan memegangnya kuat-kuat. 

Apakah saya sedang menyamakan semua agama?

A’uzubillah… Bukan. Yang saya maksud di atas dengan ada “kesamaan” antara saya dengan Sang Bhiksu dan Biarawati adalah, bahwa cara kami berpakaian menunjukkan kecintaan kepada Tuhan (walaupun saya masih jauh dari sempurna).

Inilah yang agak “mengganggu” pikiran saya karena lama tertunda untuk saya tuliskan.

Sungguh, saya meyakini bahwa Islam, agama yang dengan izin Allah saya terlahir sebagai pemeluknya, adalah jalan kebenaran. Namun mengapa, adakalanya saya masih menggunakan banyak “tapi” ketika menjalankannya. Bukankah Islam itu berarti submission? Maka mengapa saya tidak menyerah saja pada apa yang Allah mau…

Bukankah semestinya saya malu? Agama yang saya jalani ini begitu mudah:

Saya tidak perlu menyepi dari dunia untuk mendekat pada-Nya.

Tidak perlu tidak menikah sebagai bentuk dedikasi pada-Nya.

Saya cukup menjalani kehidupan dan segala masalahnya dengan penyerahan dan totalitas pada Tuhan. Menjadikan hanya Allah sebagai Tuhan, tanpa perantara anak manusia, benda-benda langit, hewan atau tetumbuhan. Tidak menjadikan hawa nafsu dan kesombongan sebagai penghulu kehidupan.

Mendirikan shalat sebagai “charger” koneksi dengan Tuhan dan penghambaan diri pada Sang Khalik.

Menjadi manusia yang berperilaku mulia, sebagaimana Nabi Muhammad SAW, pembawa risalah Tuhan, mengajarkan.

Tidak menyakiti manusia lain, binatang maupun tetumbuhan.

Berbuat baik pada orang tua, menyambung silaturahim dan persaudaraan. Mengasihi anak yatim dan orang-orang tidak mampu.

Menuntut ilmu untuk kemaslahatan. Memberi manfaat sebanyak-banyaknya pada alam semesta.

Berkata dan berperilaku jujur. Disiplin terhadap waktu. Menghargai para guru.

Menjaga kebersihan. Membalas keburukan dengan kebaikan.

Dan banyak lagi… Ah… Bukankah itu nilai-nilai luhur universal yang semestinya “mudah” untuk saya jalankan?

Saya bisa menunjukkan identitas diri dan kecintaan pada Tuhan dengan hijab yang saya kenakan, saya bisa menyalurkan cinta dan kasih sayang pada lawan jenis melalui pernikahan, saya bisa berkarya dan memberi manfaat untuk banyak orang, saya bisa shalat untuk mendapatkan ketenangan, saya bisa puasa untuk menahan hawa nafsu…

Sungguh beruntung, bukan?

Maka, apakah patut saya malu menunjukkan bahwa saya benar seorang Muslim dan merasa susah payah untuk berperilaku sesuai dengan itu?

**Oh iya, satu lagi, tentang “kesamaan” diri saya, Sang Bhiksu dan Biarawati. Kami memang sama-sama berusaha mencintai Tuhan kami. Hanya saja, dengan cara yang berbeda, dan jelas kepada Tuhan yang berbeda. Jadi, karena kami bertemu pada “ruang cinta” yang sama, sungguh saya menaruh hormat pada keduanya dan siapapun yang mencintai Tuhannya, tanpa perlu pusing-pusing menjadikan agama kami (yang pasti dan jelas-jelas berbeda) “sama”. Dan inilah yang juga diajarkan oleh agama saya: Untukmu agamamu, untukku agamaku.  

** Dengan segala hormat kepada pembaca yang mungkin bukan Muslim, tidak ada maksud sedikitpun saya untuk menghina atau menjatuhkan. Tulisan di atas adalah kontemplasi diri saya yang masih jatuh bangun mencintai Allah, dan untuk siapapun yang mungkin mengambil manfaat daripadanya.

Oh, UN itu Begini?

Allah bersamamu, Bu Guru ^^

Ninok Eyiz's Journey

Tahun ini pertama kali saya memperoleh kehormatan sebagai pengawas Ujian Nasional! Wow. Saya menyebut kehormatan karena sejak bertugas sebagai guru PNS, baru tahun ini saya mendapatkan kesempatan. Keren sekali rasanya. Hi hi 😀

Jauh-jauh hari sebelum UN, saya melakukan survei kecil-kecilan ke teman-teman guru. Hasil surveinya sangat menarik dan membuat saya penasaran. Mereka bilang kalau nantinya pengawas itu akan jadi boneka di ruang ujian. Waktu saya tanya, Kenapa? Kok gitu? Mereka menjawab, “Ntar kamu tahu sendiri”. Nah looh..


View original post 1,335 more words

Betapa Inginnya Saya Pura-pura Buta…

Di kompleks tempat saya tinggal, dikelilingi masjid dan musholla yang syi’arnya begitu membahana. Kadang kalau ta’lim ibu-ibu, speakernya saja sampai dua.

Kalau malam libur seperti ini, bahkan sering juga malam-malam biasa, entahlah, syi’ar itu tampaknya tidak berbekas sama sekali. Ada banyak anak-anak usia SD atau SMP nongkrong di samping rumah salah satu penghuni dan merokok, beberapa memadu kasih.

Yang SMP/SMA kadang kedapatan membolos di pagi hari dan lagi-lagi menjadikan kompleks tempat saya tinggal sebagai tempat kongkow.

Gerah? Pasti!

Satu kali, dulu sekali, saya menegur seorang anak yang merokok, yang paling baru berumur 8 tahun. Saya paksa dia mematikan rokoknya, dan dia ngeloyor sambil cengar-cengir. Saya tanyakan dimana rumahnya, “Swadaya,” jawabnya.

Teringat saya rombongan ibu-ibu peminta-minta setiap Jumat pagi yang konon ada juga yang berasal dari daerah yang disebutkan di atas.

Sekali, dua kali, saya usir anak-anak itu. Tapi saya tahu, saya tidak menyelesaikan masalah. Mau mereka nongkrong dimanapun, merokok di usia sedini itu adalah sebuah kesalahan besar.

Kalau ada yang bertanya, “kemana perginya Satpam?”. He… Kabarnya mereka segan menegur, karena ada di antara anak-anak itu yang merupakan anak tetangganya.

Kompleks tempat saya tinggal memang tidak dimaksudkan untuk eksklusif, sehingga “anak-anak luar kompleks” dan masyarakat yang tinggal di gang senggol yang bersisian persis dengan kompleks bisa dengan mudah keluar masuk jalan raya. Tapi kenyataannya, sekarang banyak orang menyesali mengapa tidak dari dulu saja kompleks ini dipisah dinding tinggi dengan perkampungan.

Memang, jauh lebih mudah tinggal di pemukiman dengan sistem cluster dan security yang di-hire dari perusahaan penyedia jasa security. Pemandangan anak-anak kampung merokok, memanjat pagar rumah untuk mengambil buah yang masak di pohon, atau bahkan nongkrong dan memarkir motor persis depan rumah tidak mungkin bisa dilihat.

Tapi apa itu yang kita cari? Apa itu yang saya juga cari?

Lalu apakah alasan saya merasa gerah melihat anak-anak usia SD-SMP berbuat tidak pantas semacam merokok, pacaran atau membolos didasarkan pada idealisme saya dan keinginan untuk mengubahnya, ataukah saya sebenarnya tidak rela kompleks yang saya tinggali “dikotori” oleh kehidupan dari perkampungan yang menurut saya tidak bermoral dan tidak terdidik?

Allah, faghfirlii…

“Ngapain sih harus dipikirin segitunya?”, kata seseorang ketika saya mengeluarkan unek-unek.

“Memangnya kamu nggak takut nanti dijahatin sama mereka?”, tanya yang lain.

🙂

Bukankah apabila yang merokok usia dini adalah saya, lalu ada orang dengan alasan apapun mengingatkan saya, dan karenanya saya berhenti merokok di usia dini, ibu saya akan berterima kasih?

Dan di atas segalanya, apabila dengan sepasang mata saya, saya sudah menyaksikan ketidaklurusan moral anak-anak yang tinggal tidak berapa jauh dari rumah saya (bahkan mungkin masih masuk hitungan tetangga menurut hadits Rasulullah SAW), yang saya jamin semuanya Muslim, lalu saya tidak berbuat apa-apa; bukankah saya juga harus mempertanggungjawabkan apa yang sudah saya saksikan?

Lalu apa yang akan saya katakan pada Allah nanti?

Maafkan, Tuhan, karena saya tidak ingin ambil pusing? Maafkan, Tuhan, karena saya sudah terlalu lelah?

Laa haula wa laa quwwata illa billah…… T_TGambar

Seandainya Saya Punya Pantai Pribadi

Seandainya Saya Punya Pantai Pribadi

Saya akan bangun masjid di pesisir pantai menghadap ke laut, seperti Masjid Rahmah di pinggir pantai Laut Merah, Jeddah. Sehingga pengunjung dapat menikmati ciptaan-Nya yang indah dengan penuh perenungan dan kontemplasi diri, bahwa sejatinya diri ini bukan apa-apa dibanding Tuhan yang Maha Sempurna.

Akan saya buatkan peraturan dan tata krama berbusana, sehingga pantai, gerbang lautan yang di dalamnya hidup jutaan makhluk yang tidak henti bertasbih kepada-Nya tidak dipenuhi oleh manusia setengah telanjang.

Dan no alcohol and no smoking, of course.

🙂

Dan bagaimana mungkin kita menikmati ciptaan-Nya, mengambil manfaat dari kebaikan-Nya, tapi tidak mengikuti aturan Tuhan?

Bukankah semestinya, semakin dekat dan semakin cinta seseorang dengan alam, semakin dekat dan cinta pula ia pada Pencipta-nya. Karena dimana, di sudut mana di jagat raya yang dimiliki oleh-Nya ini, ada ruang untuk jumawa?

Journal of The Honeymooners: Batu Night Spectacular

 

 

Sepertinya bel istirahat baru saja berbunyi untuk saya dan suami. Karena malam hari setelah kami sampai di Batu, kami langsung bersiap-siap untuk menghabiskan malam di BNS alias Batu Night Spectacular. Hanya bermodal sedikit pengetahuan dari Asy-Syaikh Google, saya dan suami super excited bak anak sekolah yang berhamburan keluar main saat bel istirahat. 

BNS buka dari sekitar jam 4 sore sampai jam 11 malam. Dan kami datang sekitar waktu Isya. Kesan pertama saya tentang taman bermain ini adalah meriah, tidak se-spektakuler namanya karena satu dan lain hal, tapi yang jelas BNS adalah amusement park yang romantis. Cocok deh buat acara reality show semacam “Katakan Cinta” (jadul banget yak, ketauan umurnya :p), atau buat melamar pujaan hati. 

Di film-film kan suka ada tuh ya, pacaran di amusement park yang nggak terlalu ramai, latar waktunya malam hari dengan lampu warna warni dari wahana bermain. Nah itu BNS banget, menurut saya. Jadi deh, malam itu kami pacaran, nyaingin para ABG. 

Wahananya nggak canggih-canggih amat sih. Ada lampion garden, taman berhiaskan lampion dengan berbagai theme; ada rumah hantu,ada sepeda udara, ada wahana 4D, bumper car, apa lagi ya… Yang bisa saya ingat cuma itu sih 😀

Wahana 4D-nya, honestly kurang seru, karena kacamatanya sepertinya sudah tidak begitu ngaruh antara 3D dan tidak. Kedua, tidak ada petunjuk keselamatan dan cara penggunaan bangku yang walaupun goncangannya tidak sedahsyat di Dufan atau Trans Studio tapi tetap bisa membuat seorang anak terlonjak dari kursinya dan jatuh. 

Wahana berikutnya yang saya naiki bersama suami adalah Sepeda Udara. Asli! Ini mengerikan banget untuk saya. Karena rasanya setengah badan saya ada di udara. Oh iya, sepeda udara adalah wahana semacam monorail tapi bentuknya sepeda yang satu kereta bisa muat dua orang. Kalau mau dinikmatin sebenarnya romantis sih. Apalagi malam itu hujan turun rintik-rintik. Tapi, buat saya itu jadi semacam uji nyali. Sepanjang permainan, saya zikiran sambil mencengkram erat-erat lengan suami… Hihihihi….

Pas turun, melihat saya yang terrified, mas-mas petugasnya bergumam di belakang punggung saya, “kalah karo cah cilik…”. Hahahaha… xD Dikiranya saya nggak paham bahasa Jawa kali ya…

Si Sepeda udara itu, entah bagaimana membawa dampak yang luar biasa untuk saya. Karena merasa butuh banget sama suami saat di atas udara dan harap-harap cemas wahananya rusak, stuck atau keberatan jadi patah dan terjun bebas, ada perasaan sayang yang bertambah dalam diri saya. I can’t lose him for anything…

Lucu ya… 

Saya jadi kepikiran program outbound untuk pasutri. Memang dalam tiap tantangan ada latihan untuk memupuk dam menaruh kepercayaan pada pasangan. Walaupun saya belum pernah, tapi mungkin itu tujuannya. 😀

Bahkan wahana sesederhana Sepeda Udara saja bisa mengubah perasaan saya terhadap suami. Ibarat teori expectancy violations walaupun tidak tepat diterapkan dalam hal ini, ada valensi positif dari saya terhadap suami. 

Sisa malamnya kami habiskan untuk bermain bumper car, makan malam, dan belanja oleh-oleh. Untuk makan malam saya memilih menu Bakso Bakar. Dua tusuk sate bakso berkuah kacang yang enak dan murah dihidangkan dengan semangkok kuah. Pertanyaan norak saya ajukan pada si Mbak penjualnya, “Mbak ini makannya gimana? Apa duluan yang harus saya makan?”. Si Mbaknya juga tampaknya kaget dan bingung dengan pertanyaan saya. Setelah diam agak lama, kemudian dia menjawab singkat, “Mana aja boleh, Mbak”. Lalu ngeloyor pergi. Hihihi…

Karena masih bingung akhirnya saya mencoba bereksperimen dengan menguahi bakso bakar berbumbu kacang. Hmm… Rasanya enyak… :9 Really would love to have some more some other time…

Setelah makan malam, saya belanja oleh-oleh di Night Market. Harganya mengejutkan murahnya. Jadi saya beli beberapa pasang sandal untuk oleh-oleh dan menjelang pulang saya membeli jambu klutuk putih. Again, saya norak. “Emang ada ya Jambu Putih?”, tanya saya masih dengan excitement penuh kenorakan. Kalau Emo-nya di BB pasti *dancing*. Hihi…

Padahal jambu klutuk putih memang ada dari dulu, tapi karena permintaan jambu merah lebih banyak sejak dikenal sebagai pendongkrak trombosit, jambu putih jadi kalah pamornya. Rasanya, menurut saya lebih segar walaupun tidak selegit jambu merah. Namanya juga jambu, manisnya juga manis-manis jambu. 

And then, we headed to the hotel. Istirahat, bersiap untuk petualangan selanjutnya esok hari. It was a lovely night, alhamdulillah ^__^

Gambar

 

Cerita tentang Buku

Tahukah bahwa kata ilmu diulang paling banyak dalam Al-Qur’an setelah kata Allah? 

Terima kasih pada Mama, yang sedari dini sudah membelikan saya buku-buku ensiklopedia anak, bahkan sebelum saya lahir. Saya percaya bahwa seorang anak dibesarkan dengan do’a dan harapan (selain kasih sayang dan makanan bergizi :p) orang tuanya. Dan menjejali saya dengan buku, sadar atau tidak sadar adalah harapan Mama agar kelak saya menjadi orang berilmu. Aamiin…

Buku pertama yang masih bisa saya ingat adalah serial Yosi. Tangan Yosi, Kaki Yosi, dan Mulut Yosi. Kabarnya, saya bisa anteng mendengarkan Mama mendongeng, walaupun seringkali dilebih-lebihkan. Hihihi… Hingga akhirnya saya hapal luar kepala buku serial Yosi di umur tiga tahun dan membuat tamu Mama terkagum-kagum karena anak TK kecil (saya masuk TK umur 3 tahun) sudah lancar membaca. Hihihihi…. Si Om dan Tante tidak tahu kalau selain makan nasi, saya juga “makan” buku.

Beranjak besar sedikit, saya ditemani oleh buku Cerita Harian Disney. Sampai sekarang masih ada bukunya. Ada empat seri tebal-tebal dan full gambar. Ada seri musim gugur, musim panas, musim dingin dan musim semi. Dan cerita kesukaan saya, tentu saja para Princess Disney yang cantik jelita. 

Saya dibesarkan dengan banyak dongeng karangan Mama dan buku-buku. Saat saya rewel, Mama membelikan saya majalah Bobo dan saya langsung “anteng”. Dibuatkan sudut “perpustakaan” tempat saya bisa “ngedeprok” dan membaca dengan santai. Walaupun “perpustakaan”-nya kini sudah berubah menjadi tempat Papa meletakkan peralatan Golf-nya, saya begitu menikmati aktivitas membaca.

Saat saya dewasa, ada banyak hal yang saya rasakan manfaatnya dari kebiasaan yang diajarkan Mama pada diri saya.

Pertama, pengetahuan, norma dan etika tidak hanya ada di ruang-ruang kelas; tapi banyak saya temukan dalam nilai-nilai moral di cerita dan dongeng-dongeng. Dan pengetahuan adalah tirai yang menyibak kebodohan dan kedunguan.

Kedua, cerita mengajarkan keteladanan. Saya ingat sebuah cerita yang membuat saya terharu saat masih duduk di bangku Taman Kanak-kanak. Cerita ini saya lupa, apakah dimuat di majalah Aku Anak Shaleh atau majalah Bobo, karena di rumah saya tersedia keduanya. Alkisah, seorang anak diajak belanja di sebuah department store oleh ibunya. Karena terlalu asyik melihat kemegahan bangunan toko dan tangganya yang bisa berjalan sendiri, ia kehilangan ibunya. Dibantu Satpam, ia mencari sang ibu di antara ibu-ibu cantik yang belanja di department store itu. Dari sekian banyak ibu, tidak ada satupun ibunya. Padahal ibu-ibu cantik di situ rela menjadi ibu barunya. Lalu datang tergopoh-gopoh seorang ibu bertubuh pendek dan gemuk, berkulit hitam, berambut keriting (agak bias fisik sih…) menghampiri sang anak sambil menangis. Dan sang anak pun menyambut ibunya gembira. Walaupun ibunya tidak secantik ibu-ibu lain, tapi ibunya tetap yang terbaik. Kurang lebih begitu ceritanya. Mungkin kurang, mungkin saya lebih-lebihkan berdasarkan ingatan saya. Hehehe… 😀

Ketiga, saya jadi prefer membaca buku daripada nonton sinetron, apalagi gosip 😀 Walaupun sesekali saya nonton DVD Marathon serial Omar Bin Khattab dan Ugly Betty, tapi membaca tetap nomor satu.

Anyway, apa yang ingin saya katakan adalah, sebuah buku bisa mengubah dunia. Apa yang diincar oleh tentara salib di masa lalu, selain kejayaan, adalah ilmu ummat Islam yang (pernah) mengantarkan mereka pada kejayaan. Ummat Islam-lah yang menerjemahkan buku-buku Yunani ke dalam bahasa Arab. Ummat Islam pula yang menemukan mulai dari cikal bakal kedokteran modern melalui buah pikir Ibnu Sina, hingga cikal bakal alat musik modern melalui kepandaian Al-Farabi menemukan solmisasi. (dan bahkan kata musik sendiri konon pertama kali ditemukan dalam buku Al-Kindi dengan kata musiqi)

Islam sudah memiliki filsuf sekelas Ibnu Rusyd hingga ahli ilmu sosial secemerlang Ibnu Khaldun. Sudah juga memiliki ahli matematika, fisika, dan astronomi secerdas Ibnu Haitham. Bahkan sudah sejak bangsa barat “belum menyikat gigi”, ummat Islam sudah mempunyai Al-Kindi, yang melakukan terapi kejiwaan pasiennya dengan menggunakan musik. Ngomong-ngomong sikat gigi, ummat Islam sudah belasan abad dibiasakan “mengasah” gigi dengan kayu siwak yang menurut bu dokter gigi tetangga saya terbukti bisa menguatkan gigi dan mencegah gigi berlubang.

Gambar

Dan semua ilmu dan kecemerlangan yang dimiliki oleh ummat Islam di masa jayanya, darimanakah asalnya? Apakah mereka seperti tipikal manusia modern yang berilmu tapi tidak berpikir? Tidak… Yang mengagumkan dari para ilmuwan Islam di masa jayanya adalah, banyak dari mereka bukan hanya ahli dalam pengetahuan dunia, tapi juga ahli dalam pengetahuan Islam. Dan darimanakah sumber pengetahuan Islam yang terutama yang membuka mata hati dan pikiran dan menjadi inspirasi hingga menghabisi gelap dan menerbitkan terang? 

Al-Qur’an…

Maka, “Bacalah! Dengan nama Tuhanmu yang menciptakan…” (Al-Qur’an surat Al-‘Alaq:1)

 

Journal of The Honeymooners: The Hotel

Gambar

Kampung Lumbung. Nama yang menarik. Mengingatkan saya pada Kampung Sampireun, the best place for the honeymooners. Dari foto-foto di agoda dan website-nya, juga review orang-orang yang pernah menginap di sini, sepertinya hotel ini menarik dan harganya pun tidak menguras kantong.

Jalan masuknya memang agak kecil, tempatnya pun nyempil dan nyelip di pemukiman penduduk, tapi, sepertinya tempatnya menjanjikan. 

207 adalah kamar kami, terletak di lantai dua. Untuk sampai ke bangunan hotel, kami melewati jalan setapak. Agak licin untuk sepatu Cr*cs saya. Lumut mulai tumbuh di sela-sela jalan setapak yang bergerigi. Mungkin pengaruh hujan yang turun setiap hari. Saya dengar hujan sedang rajin mengunjungi Malang. 

Kampung Lumbung berlokasi di Batu, sebuah kota wisata yang sejuk, bersih dan rapih. Walaupun berbeda kotamadya, tapi jaraknya hanya sekitar setengah jam dari kota Malang. Mungkin seperti Pejaten ke Margonda kalau tidak macet. Oleh karena Kampung Lumbung terletak di Batu yang masih agak bawah, hawanya tidak sedingin Batu bagian atas. Cukup sejuklah untuk orang Jakarta macam saya dan suami yang sehari-hari terperangkap panas, debu dan polusi. 

Kamarnya sendiri cukup nyaman, dengan disain unik menggunakan dominasi kayu. Khas resort. Walaupun belum ada yang mengalahkan Kampung Sampireun, tapi ini lebih dari cukup. Nyaman, bersih dan harum. Malah dalam beberapa hal, kamarnya jauh lebih nyaman dari Kampung Sampireun. Kamar mandi, misalnya. Kamar mandi di Kampung Sampireun daknya terbuka, sehingga dinginnya udara Garut terasa menusuk kalau harus mandi malam-malam (namanya juga bulan madu)… Petugas Kampung Lumbung pun ramah, penuh senyum dan sangat helpful.

Untuk bulan madu, saya rasa cocoklah. 

Memang kualitas gambar di TV-nya tidak terlalu bisa diharapkan. Lima hari kami di sana hanya menonton TV O*e yang buram. Maklum hanya pakai antena dalam, tapi untuk saya sih no problemo. Toh tujuan saya untuk merelaksasi ketegangan urat syaraf dan memadu kasih *ehm* sebagai perayaan lima tahun pernikahan dengan suami, bukan nonton TV. 😀

Saat tidur siang pertama saya menjelang pulas, belum lagi masuk ke deep sleep, saya dibangunkan oleh ketukan di pintu. Aha! Snack sore datang! Snack sore? Wow! This’s more than my expectation. Atau sepasang tahu goreng tepung ini adalah welcome snack? Yang manapun, saya tetap excited 😀 Hehehe… Hawa dingin membuat perut “sensitif”, gampang keroncongan.

Karena sudah tidak bisa tidur, saya memutuskan untuk menyeduh secangkir teh hangat dan duduk di bangku kayu di luar kamar. Semacam meja kayu segi empat dengan empat bangku tinggi yang semuanya terbuat dari kayu. Beruntung dari empat kamar yang sederet dengan kamar saya, hanya saya dan suami penghuninya. Mungkin karena weekdays. Jadi saya leluasa membawa buku catatan, dan secangkir teh. Membuka ruang untuk inspirasi. 

Heaven!

Saya disuguhi pemandangan surgawi! Walaupun surga pasti jauh lebih indah daripada ini. Sungguh segala puja dan puji untuk-Nya, gunung Kawi (konon namanya gunung Kawi), salah satu gunung yang “mengepung” Malang, membentang di cakrawala. Ah, saya ini tipe wisatawan gunung. Alasannya sederhana, kalau sehari-hari sudah kepanasan, untuk apa mencari tempat wisata yang harus bermandi matahari lagi?Selain itu saya menyukai kesunyian. Sunyi adalah saat yang baik untuk kontemplasi. Dan pemandangan ini… Gunung dan perbukitan yang sebagiannya tertutup awan, nuansa hijau perkebunan, entah kebun apa (mungkin kubis), kota Malang yang tampak seperti liliput, menara Masjid, taman hotel dan kolam renangnya, burung-burung kecil yang ribut berlomba-lomba menyiduk air dari kolam dan suara… Oh Ya Tuhanku… Suara jangkrik!! Saya suka suara jangkrik! Ini bukan malam, belum malam, dan jejangkrik sudah berderik memainkan ensambel merdu, menjalani sunnatullah-nya.

Tuhan, itukah ibadah mereka kepada-Mu?

Alam ini begitu indah, Ya Rahmaan… begitu syahdu, begitu taat pada-Mu. Dan Engkau beri hamba kesempatan untuk menyaksikan mereka memuja-Mu, hanya dengan membuka mata dan menajamkan telinga…

Alhamdu lillah ‘ala kulli hal :’)

Alhamdu lillah Rabbil ‘alamiin…

Journal of The Honeymooners: Prelude

Journal of The Honeymooners: Prelude

Banyak pasangan berpikir “Bali” saat merencanakan bulan madu. Saya tidak pernah ingin bulan madu ke sana, kecuali mungkin ke Lovina, melihat Lumba-lumba. Rasanya terlalu ramai dengan manusia. Jadi saat menikah lima tahun yang lalu, saya memilih Garut. Tidak berapa jauh dari Jakarta, pemandangannya luar biasa indah, dan yang pasti saya bisa mendengar azan lima kali sehari di sana.

Kali ini adalah destinasi pilihan suami, Bromo, Malang dan Batu. Dan setelahnya saya semakin penasaran, dan semakin yakin, terlalu banyak tempat-tempat indah di Indonesia selain Bali yang bisa dieksplorasi 😉 (Dan konon kabarnya, Lumba-lumba juga ada di Pulau Sempu, Malang Selatan…. Ah….)

Dibandingkan dengan “bulan madu” kami yang lain, Bandung, Puncak, Cirebon, Jogja, Umrah; bulan madu kali ini terbilang paling melelahkan. Dan walaupun tidak bisa mengalahkan bahagianya saat Umrah, tapi kelelahan ini terbayar sangat manis.

Perasaan saat mengalahkan diri sendiri dan terus mengatakan “saya bisa” saat menapaki jalanan mendaki yang membuat dada saya sesak mendadak, lalu mendapatkan pemandangan nan istimewa itu tidak bernilai. Sungguh tidak bernilai.

Dan di atas segalanya, perjalanan ini adalah sebuah catatan untuk diri saya sendiri… Di atas Bromo saya melihat jalanan, pedesaan, manusia, kehidupan, peradaban… Berjalan begitu indahnya bersama alam semesta. Alam semesta yang sudah diciptakan-Nya untuk memenuhi kebutuhan peradaban. Adakah campur tangan saya di dalamnya? Tidak….

Tanah yang saya pijak, savannah indah yang rumputnya begitu wangi tertiup angin, gunung-gunung yang berdiri kokoh, sembulan Mahameru yang tampak di kejauhan, milik siapa ini semua?

Lillahi maa fissamawati wa maa fil ardh…

Milik Allah-lah apa yang ada di langit dan apa yang bumi…