Puisi Redefinisi

Allah, Tuhanku Maha Cinta,

aku ingin mengeja-Mu seperti baru dilahirkan

aku ingin mengejar-Mu seperti baru dapat berjalan

aku mencari-Mu di sudut-sudut sendu

seperti diburu cemburu

 

Allah, Tuhanku Maha Mendengarkan

darimana harus kumulai ceritaku?

apakah dari sunyinya hatiku?

atau sendiriku?

atau lelahku yang tak berpegang

dan bebanku yang tak bersandar?

 

kasihkukah yang tak sampai?

bersama penggalan cerita yang tak selesai?

atau ini hanya prolog buku hidupku?

 

jelaskan padaku, Allah, Tuhanku Maha Menjelaskan

apa yang harus kulakukan, agar hidupku dapat kudefinisikan ulang?

Dilarang Protes, Ini Hari Sabtu!

11:55 am; waktu laptop saya.

Saya masih belum bertekad dan berniat untuk beres-beres kamar. Jadi sepeninggal suami saya, saya masih nyaman membiarkan kamar saya akrobat jungkir balik. Hihi. Lagipula, ini Sabtu, teman. Sabtu itu menjadi pembenaran atas segalanya. Atas kemalasan, atas banyak makan, atas pekerjaan-pekerjaan tidak berguna seperti bermain cityville dan nonton DVD marathon.

Tapi, walaupun begitu, Sabtu bukan alasan untuk tidak meneruskan thesis saya. Thesis, bersiaplah. Dandan yang cantik karena saya akan datang menggelitik. Mengetik-ngetik. Dengan daster batik. Dan kursi antik.

Ahaha…

Anyway, sejujurnya saya cinta banget sama thesis saya. Tapi dalam hubungan yang sangat kompleks dan sulit dipahami. Bukankah kalau kita mencintai seseorang atau sesuatu kita ingin selalu bersamanya? Nah, apa yang saya rasakan terhadap thesis berbeda. Saya tidak tahu ada cinta jenis ini. Saya senang bersamanya; tapi tidak selamanya. Saya terus membuka lapisan demi lapisan berita-nya tapi selalu melirik tanggalan, melihat kapan kiranya saya harus menutupnya. Cinta terlarang? Bukan! Cinta apakah ini? Cinta yang saya tahu harus saya akhiri, dan tidak menyisakan pilihan apapun selain mengakhirinya dengan baik.

Jadi, teman, apakah kamu pernah merasakan cinta jenis ini? Cinta yang datang pada saat yang salah? Cinta yang masih datang juga walaupun kamu sudah bersumpah untuk tidak pernah mengundangnya?

Saran saya, akhirilah! Karena itu bukan cinta. Itu hanya senda gurau belaka. Seperti sampah yang sedang saya tulis ini. Cinta itu bukan datang dari langit bukan diantar dengan titipan kilat bukan pula real time melalui ATM Bersama. Cinta itu proses. Jadi, kalau tidak mau tersesat dalam cinta sembarang; jangan memulai prosesnya 🙂

Kalau sudah terlanjur cinta? Apapun yang terlanjur suka ngelantur. Terlanjur itu sifatnya mirip sama hari Sabtu, menjadi pembenaran atas segalanya. Atas cinta yang salah, atas hidup yang rusak, atas kelakuan yang bejat. Habis mau bagaimana, terlanjur!

Jadi, berbaiklah dengan diri kita. Jangan memulai sesuatu yang tidak bisa kita akhiri. Jangan bermain-main dengan hidup; karena hidup tidak pernah bermain-main dengan kita. Satu langkah salah yang kita ambil bisa berdampak selamanya, mungkin bukan besok, bukan lusa, tapi 10 tahun lagi? Siapa sih yang bisa tahu? Peramal kondang aja nggak bisa meramal kematian diri sendiri.

Tapi, hubungan saya dan thesis saya sih tetap belanjut. Nggak boleh protes, ini tulisan saya. Kalau nggak suka, jangan dibaca. Sudah terlanjur saya tulis, mau bilang apa?

Lagipula, dilarang protes, ini sudah terlanjur hari Sabtu! Ahaha…

Pelantun Malam

10:30 malam, gulita, katanya sih bulan sedang bersinar dengan indahnya -waktu kamar saya

Sayup-sayup saya dengar suara motor menderu. Apakah itu suami saya?

Seandainya hanya menuruti kata hati, saya ingin sekali menarik selimut dan bermain di alam mimpi. Saya sudah sangat mengantuk. Apalagi flu yang menyerang saya kali ini tidak membuat saya bersin-bersin hebat; tapi membuat kepala saya terkena kutukan SM*SH: cenat-cenut! Tapi saya benci tidur mengingat dua hari ini saya sangat tida produktif dan terus-terus menyalahkan influenza karena konsidi tersebut. Payah deh!

Makanya sekarang saya tahan-tahan dulu ngantuknya. Saya memilih untuk curhat aja.

Besok saya sudah buat janji dengan RS SamMarie. Pertama, suami saya harus cek sperma lagi -untuk keempat kalinya-.Kedua, kami harus tes antibodi dan khususnya, saya, tes anti sperma. Ketiga, suami saya harus USG testikel. Dengan kondisi badan yang tidak fit karena influenza (lagi-lagi menyalahkan influenza), sepertinya saya harus mengurungkan niat untuk tes antibodi dan antisperma dulu deh. Bisa-bisa hasilnya jelek dan saya dijejali obat-obatan yang tidak saya sukai :p *eeugh*

Anyway, Hari ini, saya kembali merindukan anak saya yang belum ada!

Saya rindu menimangnya, rindu memeluknya… Rindu yang sangat aneh karena saya bahkan belum pernah hamil sekali pun seumur hidup saya. Tapi entahlah, itu yang saya rasakan. Rindu sekali…

Terceplos dari mulut saya saat berbincang dengan Mama sore tadi,

“kalau aku adopsi anak gimana?”

“Suamimu marah nanti…”

Hmmm…

Memang sih, saya dan suami belum terpikir untuk mengadopsi. Eh, ralat, saya sih sudah, tapi sepertinya suami saya belum. Dan membicarakan ini pasti memakan waktu panjang, lama, berat dan diwarnai diskusi dengan suara berganti-ganti frekuensi. Hah. Membayangkannya saja saya pusing.

Kadang, saya bertanya-tanya pada-Nya, mengapa tak kunjung diberi-Nya kami keturunan?

Kadang, saya protes pada-Nya. Apalagi melihat begitu banyak anak jalanan yang disia-siakan orang tuanya. Ber-ayah-kan langit; dan ber-bunda-kan aspal hitam. Kadang, saya sakit hati.

Saya katakan pada-Nya, ‘Tuhan, bukankah telah Engkau cukupkan rizki untuk kami sehingga kami, sepatutnya, bisa memberikan kehidupan yang lebih baik bagi anak-anak kami kelak?”

Hening yang lama.

Tapi saya percaya, Allah Maha Segala.

Allah tidak akan lupa, sekalipun itu saya, hamba-Nya yang hina dina… Allah tidak akan lupa menjawabnya.

Dan sampai detik ini, jawaban yang saya terima adalah: sabar dan berusaha.

Usaha untuk punya anak itu tidak gampang, teman. Oleh karenanya, jangan bermain-main dengan apapun milikmu yang bisa menjadikanmu memiliki tanggungan di luar pernikahan. Saya sudah mencoba bersama suami saya, nyaris tiga tahun. Pindah dari satu dokter ke dokter lain; dari satu dukun ke dukun lain; dari satu ramuan ke ramuan lain. Rasa-rasanya saya sudah menjalani semua yang disarankan dokter, tukang pijit, dukun bayi, si A, si B, si C…

Saya juga sudah menebal-nebalkan telinga dari komentar orang-orang yang kadang tidak berperasaan. Katanya saudara, tapi reseknya luar biasa; katanya teman, tapi komentarnya menyakitkan. Sudah. Saya sudah kenyang.

Apa yang belum saya lakukan? Menyerah! Saya belum akan menyerah. Memiliki seorang anak, menjadi ibu bagi anak-anak saya sudah saya cita-citakan sejak lama. Lama sebelum saya berjumpa suami saya. Karena saya tahu, menjadi Ibu itu ‘wonderful’. Ada berkah pada tiap langkahnya, ada malaikat menyertai peluhnya; ada cinta menyertai gerak geriknya.

Dan semakin hari, semakin saya sadar; mengapa Allah menjadikan kuasa do’a seorang bunda atas anaknya. Karena menjadi ibu itu bukan hanya perkara melahirkan, menyusui, menyuapi, menyekolahkan. Menjadi Ibu itu tidak mudah. Saya sudah mencoba selama tiga tahun pernikahan saya; dan saya belum berhasil juga. Orang lain mungkin mencoa lebih lama, ada yang lima tahun ada yang sembilan tahun. Semuanya hanya demi panggilan ‘ayah’ dan ‘ibu’.

Saya katakan pada suami, ‘pantaslah Malin Kundang durhaka pada Ibunya. Dia tidak tahu betapa berharganya seorang anak bagi seorang bunda’

Mungkin saya hanya sok tau. Kan saya belum pernah hamil. Saya hanya mengaku-aku suka pada anak-anak dan sedikit terlihat ‘hamil’ karena panambahan berat badan.  Tapi saya percaya bahwa menjadi Ibu itu ‘wonderful’, dan pasti jauh lebih ‘wonderful’ dari bayangan saya…

So, let’s just wait and see…

Mungkin hari ini, mungkin esok, mungkin lusa. Allah akan mengatakan ‘ya’ pada do’a-do’a yang saya hembuskan pada-Nya ^^

Catatan Kecil Untuk Saya dan Saudara

Miris.

Di belahan barat bumi ini, begitu banyak hidayah Allah ditebarkan, sehingga banyak orang berpindah haluan dan memeluk Islam. Saya kira awalnya, ini hanya sesuatu yang dibesar-besarkan. Tapi setelah saya bertemu dengan Kristin, Muslimah asli dari Eropa Timur dan besar di New York di sebuah situs jejaring sosial; mencari informasi di situs ‘netral’ bahkan situs yang sangat kontra terhadap Islam; saya mulai percaya, matahari sudah menampakkan kerjapnya di ufuk barat.

Mengapa miris?

Karena Indonesia, negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, yang menurut nytimes.com kurang lebih sekitar 207 juta Muslim di seluruh Indonesia atau sekitar seperempat dari seluruh populasi Muslim dunia; entahlah, mungkin masyarakatnya yang sudah Muslim mulai jengah dan gerah dengan identitasnya sebagai Muslim.

Mereka mulai mempertanyakan agamanya; di satu sisi; di sisi lain mereka juga tidak ingin belajar untuk mendapatkan jawaban pertanyaan-pertanyaan tersebut. Mereka memilih mengekor pada media massa yang mencitrakan Muslim identik dengan kekerasan; padahal apakah mereka, tetangga muslim mereka, saudara muslim mereka diajarkan perbuatan yang sama?

Menarik sekali, saya menemukan sebuah komentar di republika.com; ‘muslim yang biasa saja tidak perlu ditakuti; tapi muslim yang belajar alquran itu yang perlu ditakuti…’. Hahahaha… saya tidak tahu yang menulis itu siapa, mengapa segitu takutnya sama Islam; yang saya tahu satu dan pasti: dia salah informasi.

Entahlah… Saya seringkali mendapat pertanyaan dari teman-teman non Muslim saya atau mendengar pernyataan teman-teman liberal, yang entah dari mana dapat ilmunya, ‘sembarangan’ mengutip ayat-ayat Qur’an yang berkaitan dengan jihad dan perang.  Padahal yang Muslim saja dilarang keras mengutip ayat setengah-setengah tanpa ilmu. Dan Al-Qur’an itu sarat konteks, saaaaaaangat amat sarat konteks. Ada sebab-sebab turunnya. Ada kaitannya dengan ayat-ayat sebelumnya. Ada kata-kata tertentu yang bermakna tertentu jika disandingkan dengan kata-kata setelahnya…Al-Qur’an, pada dasarnya tidak dapat diterjemahkan, karena padanan katanya mungkin tidak setara. Satu kata bisa berarti banyak makna…

Sedangkan memenggal-memenggal-nya, seperti kata memenggal ‘nikmati’ yang seharusnya berkonotasi positif menjadi hanya dibaca ‘mati’-nya saja… Hilang sudah esensi maknanya…

Lagipula, kok bisa -entah darimana sumbernya itu-, memutar balikkan ayat sesuka mereka? Mengapa? Apa tujuannya? Saya pribadi, ketertarikan saya pada ajaran agama, Islam sebagai agama saya maupun agama lain sama sekali bukan untuk mempermainkannya, tapi justru untuk memahami. Bukan untuk berganti haluan; tapi untuk saling menghargai.

Dan miris semakin miris,

Masyarakat Indonesia yang beragama tanpa ilmu, percaya mentah-mentah tanpa dicerna lebih dalam. buat saya, lebih baik kita mempertanyakan sebuah kebenaran tapi pada akhirnya kita menemukannya dengan utuh daripada kita menelan semua yang masuk tanpa pernah tahu apakah yang masuk ke dalam jiwa kita itu madu atau racun. Sehingga ada saja yang membabi-buta mencaci agama lain melalui corong Masjid tanpa peduli tetangga sebelahnya mungkin tidak beragama Islam; ada saja yang masih membakar menyan dan memberi sesajian pada leluhur yang -katanya- datang pada malam-malam tertentu…

Tidak semua pertanyaan memang, pada akhirnya, mampu dijawab oleh agama. Tetap saja, hati kita yang harus bicara. Apakah apa yang kita pilih sebagai agama dapat memenuhi segalanya yang kita butuhkan di dunia dan setelahnya?

Dari yang saya baca di internet atau dengar di youtube, orang-orang Barat yang menjadi Muslim rata-rata belajar Islam secara utuh dulu baru pindah agama. Utuh di sini, artinya benar-benar melihat esensi Islam dan ajarannya. Tentu teknis seperti sholat, puasa, dll; akan bisa menyusul kemudian. Tidak ada sesuatu pun  di dunia ini yang begitu lahir langsung berkembang besar melainkan ia harus berproses setapak demi setapak.

Seharusnya begitu pun dengan kita yang sudah Muslim. Kita tidak akan percaya dan akan membantah jika Rasulullah dikatakan pedofil -seperti kata ‘mereka’ yang-sudahlah-tak-usah-disebut-sebut-. Kita akan membela jika Islam disejajarkan dengan teroris. Kita akan marah jika Rasulullah dihinadina. Mengapa? Karena kita tahu, karena kita belajar, karena kita membaca.

Sekarang, apakah kita tahu beberapa ajaran Islam sudah digunakan di agama lain? seperti kata-kata orang tua adalah do’a? Atau kutipan hadits, sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia lainnya? Atau, Tuhan-lah yang Maha memutarbalikkan hati manusia? Mungkin ketika itu kita dengar dari teman-teman kita yang berama lain kita akan mengangguk-angguk dan menerimanya sebagai sebuah kebenaran universal tanpa kita ataupun mereka ketahui bahwa itu sudah diajarkan oleh Islam, oleh Rasulullah, 14 abad silam…

Jadi, jika suatu ketika kita ragu, apakah benar pilihan kita terhadap agama ini (Islam). Bukan, bukan agamanya yang salah; bukan pula Rasulullah yang mulia, yang dipilih Michael Hart sebagai tokoh nomor satu sepanjang sejarah, yang salah. Kita-lah yang harus banyak membaca, bertanya, membaca, bertanya, membaca, mencari, mengaplikasi…

Kita yang harus banyak belajar. Karena hanya dengan memiliki ilmu, kita akan dihormati 🙂