Karena saya terinspirasi banget dari page Special Book by Special Kids (SBSK) yang digagas Chris Ulmer di Facebook, saya jadi ingin sedikit (kayak bisa aja nulis dikit) menuliskan cerita saya. Cerita kakak saya sih.
Namanya Nanda.
“En-A-Nan-Da,” demikian kakak saya mengeja namanya.
Meski usianya lima tahun lebih tua dari saya; tapi semua orang mengira sayalah kakaknya. Katanya sih, ABK atau anak-anak berkebutuhan khusus memang tampak lebih muda dari usianya (jadi bukan saya yang tua :p).
Apa rasanya mempunyai kakak berkebutuhan khusus?
Jika pertanyaan ini ditanyakan kepada saya yang masih kecil; jawaban saya tidak akan seindah para adik atau kakak dari ABK di laman SBSK. Saya pasti akan menjawab: saya memilih jadi anak tunggal atau punya adik. I’ve always wanted siblings that are younger than me (yang baru saya peroleh saat saya SMA). Kenapa? Supaya bisa diperintah-perintah. Hehehehe. Punya kakak itu semacam ada intimidasi eksistensi saya yang terlahir koleris (walaupun berkembang jadi sanguin dan sekarang jadi metal alias melankolis total). Walaupun faktanya, I was always the leader to every game I created.
Tapi, seiring usia bertambah, dan perasaan saya yang makin tipis (baca: sensi); saya memaknai kehidupan saya bersama kakak yang berkebutuhan khusus sangat berbeda.
I wouldn’t be who I am today without her.
Memiliki anggota keluarga yang “spesial” adalah berkah. Karena tidak pada semua keluarga Allah titipkan mereka. Mereka adalah orang-orang dengan hisab yang mudah kelak di akhirat, dan kunci-kunci surga bagi yang merawatnya. Hanya pada keluarga yang Allah inginkan berlimpah kasih sayang dan kebaikan. Saya yakin itu.
Kenapa?
Karena dunia ABK itu sederhana bagi mereka, meski rumit bagi orang sekitarnya. Semua orang adalah teman. Mereka tidak kenal benci dan dendam. Fitrahnya terasah untuk berlaku baik kepada semua orang, berlaku kasih sayang. Setidaknya ini yang saya lihat dari kakak saya dan teman-temannya.
Apa diagnosa dokter?
Kata Mama saya, menurut dokter, kakak saya Cerebral Palsy. Spesifiknya tidak dijelaskan. Mungkin kalau di negara-negara maju, jenis cerebral palsy sudah terkategorisasi lebih spesifik. Yang jelas, kakak saya cerebral palsy bukan karena bawaan janin, dan bukan pula kelainan atau kelebihan kromosom seperti pada anak-anak Down Syndrome. Salah satu penyebab cerebral palsy adalah kekurangan oksigen karena terlalu lama di jalan lahir. Demikian yang saya dengar dari Mama, dan saya baca dari internet.
Seiring dengan berkembangnya usia kakak saya, ternyata ada bagian otaknya yang menyusut secara dini, sehingga ia mengalami penurunan signifikan secara kognitif. Apabila dulu, sampai kakak saya menginjak usia 20-an, tidak banyak yang mengira ia berkebutuhan khusus; maka sekarang secara fisik sudah dapat terlihat. Apabila dulu, kakak saya dapat menulis dengan cukup baik dan benar; maka sekarang tulisannya lebih sulit dibaca dan banyak kesalahan dalam ejaan.
Ada banyak hal lainnya yang dulu bisa dilakukan kakak saya dan sekarang tidak bisa dilakukan lagi. Namun demikian, saya berusaha selalu mengapresiasi hal-hal kecil yang berhasil dilakukannya.
Seperti apa kehidupan anak-anak berkebutuhan khusus?
Pada dasarnya sama seperti kehidupan kita semua, hanya dalam dunia mereka, segala sesuatunya lebih sederhana. Kakak saya juga jatuh cinta, bahkan pernah pacaran dengan teman satu sekolahnya. Sang pacar (almarhum) membuatkan pigura handmade dengan logo hati saat kakak saya ulang tahun. Kakak saya juga pernah patah hati, ditelikung sahabatnya sendiri yang bernama Dewi (saat ini sudah menikah dan sudah memiliki anak), berantem hebat di sekolah karena rebutan pacar, hingga akhirnya mengalah demi persahabatan.
Kakak saya punya indera keenam dalam masalah kuliner. Kadang-kadang kakak saya meminta makanan yang baru selesai digoreng, padahal posisinya jauh dari dapur. Entahlah, mungkin indera penciumannya tajam sekali. Hihi.
Kakak saya, yang saya panggil Mbak Nanda, suka sekali makan dan diam-diam memperhatikan iklan-iklan makanan di televisi.
Suatu ketika Mbak Nanda minta dibelikan “Teh Safana”. Setelah dibawa ke Indomar*t, ternyata yang dimaksud adalah Teh Jav*na. Kami se-rumah bingung darimana Mbak Nanda tahu merk teh tersebut. Tentu… blame it on TV xD. Teh terakhir yang diminta Mbak Nanda, yang disebutnya dengan “Teh Racuman” sampai sekarang masih misteri seperti apa wujudnya. Papa saya sampai bertanya langsung ke petugas supermarket yang langsung kebingungan karena belum pernah dengar merk tersebut. Tebakan saya sih Teh Pucuk Har*m. Wallahu a’lam.
Mbak Nanda juga suka belanja dan menyukai model baju tertentu. Baju pas badan apalagi dengan ikat pinggang adalah kesukaannya.
Apakah kakak saya pernah di-bully?
Pernah! Walaupun most of the times, kakak saya adalah pribadi lovable yang disayang semua orang; tapi kakak saya pernah di-bully. Saya masih ingat kejadiannya. Masih ingat pula rasanya. Marah, sedih, malu, kesal. Saya masih kecil ketika kejadian tersebut terjadi. Tapi cukup besar untuk mengingat dan merrekam wajah pimpinan kelompok anak-anak berandalan yang sering main di kompleks. Ia adalah anak laki-laki berkulit hitam, dengan rambut kemerahan (entah kurang gizi atau kebanyakan main layangan). Definisi absolut dari alay versi masa lalu.
Kata-kata persisnya saya lupa. Sepertinya berputar-putar pada kata-kata “gendut”, “cacat” atau “gila”.
Tapi, tahukah apa yang paling menyakitkan dari kejadian itu? Bahwa seberapa pun saya membalas kata-kata gerombolan begundal itu sebagai usaha membela kakak saya, Mbak Nanda, tidak merasa dirinya diolok-olok. Kakak saya tidak paham bahwa dirinya menjadi pusat perhatian (sebagaimana dia selama ini selalu demikian) not in a good way.
Kenapa saya jarang sangat terbuka perihal kakak saya?
Karena menceritakan kakak saya membuat saya baper banget. Pengalaman mengajarkan saya untuk selektif menceritakan tentang kakak saya. Tidak semua orang bisa menerima, memahami standpoint saya. Banyak orang hanya mendengar, tapi tidak mendengarkan. Saya juga tidak bisa memaksa tho?
Seperti halnya saya males membahas masalah kehamilan dan program-program hamil ke sembarang orang; karena saya lelah dengan pertanyaan lanjutannya. Menjawabnya kembali, memahamkan pemahaman yang keliru (bisu tuli, down syndrome, autisme tidak sama dengan cerebral palsy), hanya untuk mendapati bahwa kadang mereka yang bertanya memang tidak berniat untuk mengubah pemahamannya. #cumakepo
(Jadi, kalau saya cerita ke kamu, mengisahkan kelucuan-kelucuan kakak saya di rumah; terima kasih banyak yaaa… tandanya saya percaya bahwa kamu sungguh memahami :’))
Why now?
Why not? Rencana ini sudah ada lama. Dari mulai berbentuk rancangan penelitian ilmiah, mau bikin novel, cerpen, apalah apalah apalah. Daripada saya sibuk dengan rencana, lebih baik saya mulai. Mulai dari diri sendiri.
Selain itu, saya mendapati banyak keluarga berada pada fase denial terlalu lama. Kejadian ABK yang dikurung, dipasung, dianggap tidak ada, dibiarkan berkeliaran, atau disembunyikan dari tamu; bukan sedikit jumlahnya. Padahal, menerima keadaan ABK adalah tahap krusial dalam perkembangan ABK itu sendiri. Ini menurut saya sih.
To make it short, biar macam wawancara di tipi, harapan terbesar saya untuk kakak saya adalah:
Saya ingin Mbak Nanda bahagia :’)
Ketika anggota keluargamu ada yang memiliki kebutuhan khusus, apakah karena alzheimer, autisme, down syndrome, atau berkondisi seperti kakak saya; percayalah, menyaksikan wajah mereka berseri itu priceless.
And finally,
Saya selalu mengingatkan diri sendiri bahwa ada orang-orang yang Allah ciptakan istimewa. Mereka mungkin tidak bisa menjadi presiden, polisi atau politisi. Tidak pula menjadi konglomerat yang punya banyak relasi. Tapi orang-orang istimewa ini, Allah kosongkan rekening dosanya tanpa Allah kurangi kasih sayang-Nya atas diri mereka.