Tadi pagi, sebelum berangkat sembari membakar roti coklatmu, aku berpikir tentang hak-hak dan kewajiban suami istri dalam rumah tangga. Aku sedang berpikir bagaimana cara seorang istri mengutarakan isi hatinya dalam rangka meminta suaminya memenuhi hak-haknya. Cara yang baik – yang tidak seperti caraku ngambek dan ngedumel selama ini, hehe-, yang santun dan menyenangkan hati suami.
Kemudian aku naik ke atas, melihatmu tertidur pulas. Aku selalu suka memandangi wajahmu saat terlelap. Wajah tidurmu hanya milikku. Teman-teman wanitamu boleh melihatmu rapi jali dalam kemeja yang disemprot wangi; dan aku hanya dapat kaos Bordeaux dan celana batik. Tapi wajah tidurmu, adalah simbol ke’posesifan’ku sebagai seorang istri.
Aku ingat janjimu bagun lebih pagi supaya aku bisa ‘nebeng’ sampai Sudirman dan meneruskan perjalanan ke Salemba dengan bis. Agar aku bisa lebih irit ongkos sekaligus sampai di kampus tepat waktu. Namun melihat wajahmu, aku jadi tidak tega meminta ‘hak’-ku.
Aku pun pergi setelah pamit, meninggalkanmu dengan kamar berantakan, sisa-sisa perjuanganku menyelesaikan tugas semalaman. Yang terbayang olehku adalah kamu akan pergi ‘begitu saja’, tanpa peduli dengan tempat tidur dan segala ‘perabotan lenong’-ku.
Seperti setiap hari Kamis lainnya, entah mengapa, aku merindukanmu lebi dari hari-hari biasa. Mungkin karena hari Kamis terasa lebih melelahkan. Pagi kuliah filsafat, siang menjelang sore kajian budaya. Keduanya cukup ‘menyiksa’ otak dan konsentrasiku. Rasa lelah itu selalu membuat aku kangeeeeen sekali melihatmu di rumah. I find ‘a home’ in you, you know… i always do…
Saat pulang, rumah dalam keadaan mati lampu. Aku teringat akan kamar kita yang kutinggalkan begitu saja. Aku naik ke atas, membayangkan diriku berbenah dalam waktu super singkat sebelum hari bertambah gelap.
Aku kaget campur terharu. Ternyata kamu mengorbankan pagi harimu, waktu ngulet-ngulet dan CNBC Squawk Box-mu untuk merapihkan semuanya. Kamu bukan saja merapikan tempat tidur kamu juga merapihkan obat2ku yang dengan sembrono kuletakkan dimana-mana. Dan hebatnya, kamu tahu dimana aku akan mencarinya pertama kali. And you didn’t say a word about it… sampai aku bertanya…
(jadi ingat Rasulullah yang selalu membantu istrinya mengerjakan pekerjaan rumah tangga…-tuh kan siapa bilang Islam menindas perempuan?-)
Aku jadi sedih, malu, terharu. Seminggu ini aku sakit melulu. Setiap kamu pulang aku pasti sedang berkemul selimut dengan wajah kuyu. Kalau pun aku melek, pasti sibuk membaca buku…
Dan aku sempat-sempatnya berpikir ‘menuntut hak’-ku?! Hahaha… Aku jadi ingin menertawakan diriku sendiri keras-keras. Hak apa yang ingin kutuntut, sedangkan kewajibanku saja kamu yang mengerjakan.
Kejadian pagi ini, sungguh merupakan introspeksi diri buatku menjalani delapan belas bulan bersamamu. Kamu tidak marah, walaupun aku baru bisa masak yang makanan yang berakhiran ‘goreng’. Itu pun kadang keasinan. Kamu juga tidak marah kalau aku sering cemburu buta (hehe… yang, Allah tidak menciptakan sepasang mata pada rasa cemburu, jadi sampai kapanpun cemburu selalu buta :p)-yang menyabalkan malah kadang kamu tampak menikmati-. Kamu selalu memaafkan kalau aku minta maaf; padahal kalau sebaliknya pasti ada ‘drama’ dan ‘tragedi’ dulu (yaah namanya juga drama queen)…
Delapan belas bulan, waktu yang masih seumur jagung. Perjalanan kita masih panjang. Belum seperti Papa Mama kita. Atau lebih lama lagi, seperti pasangan eyang-ku dan pasangan kai-nyai mu. Bahkan belum lagi diberi amanah seorang anak…
Tapi selama delapan belas bulan ini, di penghujung hari ini, aku ingin mengatakannya sekali lagi,
“Terima kasih, telah menjadi suamiku”
p.s. jangan nakal yaaa… (hehe… tetep ada pesan-pesan sponsornya)