Kerudung: Seni Berpakaian a La Islam

Menjadi perempuan itu ada seninya 🙂

Bahkan dalam berbusana yang so called bagian dari tiga kebutuhan primer: sandang,pangan,papan. Kadangkala bagi perempuan kebutuhan sandang adalah kebutuhan utama, di atas kebutuhan pangan. Bahkan seorang perempuan rela untuk tidak memenuhi kebutuhan pangannya demi sandang yang enak dipandang. Setidaknya saya pernah melakukan itu.

Saya rela diet ketat dan olahraga gila-gila-an demi kebaya cantik di hari pernikahan saya, demi baju-baju cantik yang ukurannya sangat bias gender -mengapa baju perempuan harus di-setting kecil-kecil-, demi terlihat bagus dengan celana pensil -yang akhirnya saya tinggalkan karena tidak syar’i-, dan demi-demi lainnya yang semuanya bermuara pada satu hal: kebutuhan akan sandang yang enak dipandang 🙂

Walaupun tubuh saya pendek dan gemuk, tapi sebenarnya saya tidak pernah merasa benar-benar kesulitan mencari pakaian yang pas di badan.  Adakalanya saya kesal karena baju-baju korea yang lucu-lucu itu tidak ber-size dan tidak cukup indah bagi tubuh saya; namun manakala saya bertandang ke butik big size, pelayannya tersenyum pahit seraya memandang saya dan berkata pelan, “di sini baju untuk orang besar-besar banget,mbak”. Saya sedikit terhibur, terus terang saja. Artinya saya kan tidak ‘besar-besar banget’ gitu…

Permasalahan saya sejak remaja adalah bentuk tubuh saya seperti buah Apel, besar pada bagian atas. Ini adalah warisan turun temurun, dari eyang saya yang masih turunan India, Ibu saya, semua tante-tante saya, sepupu-sepupu saya, dan akhirnya saya.

Jadi, permasalahan klasik bagi saya dan sebagian besar perempuan di keluarga saya adalah: Pas di badan, tapi ketat di dada, bahkan kadang saya harus ‘menambalnya’ dengan peniti. Pas di dada, tapi longgar di badan.

Tapi, sudah saya katakan, bahwa saya tidak benar-benar bermasalah dengan pakaian. Tidak seperti perempuan lain yang ‘rese’, dan semuanya serba salah walaupun tubuhnya sudah demikian indah menjulang. Saya mensyukuri tiap jengkal tubuh saya, kecuali kelebihan lemak yang saya harap ada diskon tambahan. Hehe…

Solusinya bagi saya mudah: “…Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya…”, sebagaimana termaktub dalam surah An-Nur ayat 31 yang keseluruhannya memiliki terjemahan sebagai berikut,

“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita…”

Para Liberalis, feminis muslim, dan mereka-mereka yang sinis terhadap Syariat melontarkan perdebatan tentang tafsir surat ini. Intinya adalah, hijab atau kerudung itu tidak wajib bagi muslimah. Beberapa yang menganut paham modis abis mengatakan kerudung tidak wajib menutup dada. Whatever…

Saya sudah merasakan manfaatnya mengulurkan kerudung sampai ke dada. Pertama, saya tidak perlu khawatir kerah baju saya terlalu turun jika saya memakai pakaian berpotongan dada rendah -toh tertutup oleh kerudung-. Kedua, mengulurkan kerudung ke depan dada memupus hampir semua permasalahan per-sandang-an saya -lagi-lagi tertutupi oleh kerudung-. Ketiga, yang paling penting, saya insya Allah dan alhamdulillah jauh dari pelecehan karena kerudung mengalihkan pandangan orang lain dari apa yang tidak seharusnya diperlihatkan.

Inilah menurut saya, seni menjadi perempuan muslim. Allah memberikan solusi berupa kerudung, agar kita tidak dipusingkan dengan segala rupa pakaian yang dengannya kita bisa bersyukur atas setiap jengkal tubuh kita, bagaimanapun bentuknya: apakah apel, ataukah pear, apakah lurus seperti penggaris, atau yang berlekuk seperti gitar spanyol, atau yang seperti perkusi (?!).

Apapun itu, kerudung menutupi kekurangan dan kelebihan.

Di atas segalanya, sekali lagi, dan lagi, “Maha Benar Allah dengan segala firman-Nya”.

Wallahu a’lam :))

 

Catatan Seorang Adik

Minggu lalu, di sekolah, aku takjub sekali. Denis, teman sekelasku tiba-tiba mengenakan kerudung. Ia tampak manis dan anggun sekali.

Aku teringat Kakakku yang sering mengingatkanku untuk berkerudung, jika aku akil baligh nanti. Aku sering bertanya, “apa itu akil baligh?” Dan kemudian Kakak menjelaskan kepadaku panjang lebar apa itu akil baligh dan mengapa aku harus menutup aurat.

Jujur, inginnya sih aku sekarang seperti anak-anak lain di televisi. Punya baju tank top dan boleh pake rok mini. Tapi pasti kakak akan melotot dan tambah cerewet.

Kata kakak, sekarang aku latihan dulu pake baju panjang dan sopan. Sekalian menutupi tubuh mungilku.

Aku juga ingin berjilbab seperti Denis dan seperti kakak. Karena berjilbab, menutup aurat, berarti menjaga dan melindungi diriku sendiri. Menutup aurat juga melindungi kulitku dari terpaan sinar matahari yang panas.

Memang sih, kata Denis, berkerudung itu gerah awalnya. Tapi hanya awal-awalnya aja, setelah itu kita akan terbiasa, katanya. Lagipula, kata bu Diana, guru agamaku panas di dunia itu tidak boleh dikeluhkan; karena neraka lebih panas.

Tapi, boleh tidak ya aku berkerudung sama Papa-Mama?

Hari Minggu kemarin, saat aku akan pergi makan bersama keluarga, kakak bertanya padaku, “Dek, mau pake kerudung, nggak?”

Aku mengangguk-angguk. Akhirnya kakak mengambilkan kerudung kecil yang hanya kupakai kalau aku TPA. Warnanya Pink, warna kesukaanku. Serasi juga sama baju panjang dan celana Winnie The Pooh merah jambu.

Aku dengan gembira memamerkannya pada Papa dan Mama. Berharap mereka senang dengan penampilanku.

Tapi, aku sedih sekali saat mereka malah marah dan mengatakan bahwa anak-anak berjilbab seperti anak kampung. Aku lebih sedih lagi karena kakak yang dimarahi habis-habisan.

Kata Mama, “kasihan, nanti rambutnya rontok”

Kata Papa, “nanti saja kalau akil baligh-lah. kalau dari kecil kaya anak kampung aja”

Aku dengar kakak bersuara, “kasihan terus… Sampai kapan mau dikasihani? Waktu mau dibangunin sholat shubuh, katanya kasihan. Terlalu pagi, nanti ngantuk di sekolah. Dibangunin sahur untuk puasa Ramadhan, kasihan juga, nanti kelaparan. Nanti kalau besar dia nggak sholat, nggak puasa, nggak mau pake jilbab, apa masih mau kasihan??”

Pasti tentang aku. Waktu bulan Ramadhan juga aku kadang tidak dibangunkan sahur, karena kata Papa kasihan nanti aku kelaparan jadinya tidak konsentrasi belajar.

Kasihan kakak. Aku tahu, dia sayang sekali sama aku. Ingin mengajariku beribadah. Tapi kenapa Papa sama Mama melarang aku melakukan semua itu ya? Kenapa harus mengasihaniku?

Aku ingin berjilbab, aku juga ingin sholat, aku ingin puasa. Sama seperti Papa, Mama, Kakak, dan orang-orang lainnya.

Aku juga ingin masuk surga, seperti cerita-cerita Kakak.

Aku ingin bertemu bidadari, juga seperti cerita-cerita Kakak.

Aku ingin bertemu nabi Muhammad. Dan aku juga ingin bertemu Allah di surga-Nya nanti.

Maka, Mama Papa, jangan kasihani aku. Sayangi aku karena aku pun ingin menjadi kupu-kupu di taman surga-Nya.

Paradoxically,,,

Seorang perempuan bedandan rapi untuk kliennya di kantor
dan bertemu suaminya di rumah dalam keadaan lusuh

Ia menghabiskan 10 jam di kantor karena kewajiban
namun menghiraukan anak-anaknya karena kelelahan

Anehnya…

Dikatakan sebuah pengabdian jika seorang wanita barat bekerja di rumah mengurus anak-anaknya
namun keterkungkungan jika seorang wanita muslimah melakukannya

Dikatakan stylish dan modern jika seorang perempuan membuka setengah dadanya
namun dipandang sebelah mata jika ia menutup kerudung hingga ke dada

Anehnya…

Kita menghabiskan jutaan rupiah dalam sekali gesek
Namun merasa berat dengan seekor kambing di hari raya Qurban

Kita betah berjam-jam di depan monitor
Namun jengah dengan sholat yang hanya 5 menit saja

Kita tahu Jacko meninggal dunia bermil-mil jauhnya
Namun tidak kenal dengan tetangga sebelah rumah yang tertutup tembok dan pagar tinggi

Anehnya…

Kita tidak merasa ini semua aneh…