Saya dan Suami, Kenalan Lagi ;)

PLI ke-1. Akhirnya. Setelah saya dan suami menimbang-nimbang ini itu, akhirnya kami memutuskan untuk mengikuti saran Nike, sahabat saya. “Kalau memang biayanya terjangkau, dan efek sampingnya nggak bahaya ya ikutin aja, Shin”, begitu ujarnya pada saat kami berbincang di pernikahan seorang teman. Jadi, hari ini kami memulai PLI ke-1. Minggu kemarin adalah pra PLI untuk melihat kelayakan darah suami untuk disuntikkan ke tubuh istri.

What’s a PLI?

Dalam bahasa saya, PLI adalah imunisasi untuk menurunkan tingkat ASA dalam tubuh istri. Apakah ASA? ASA adalah tingkat antibodi antisperma. Tingkat ASA  yang tinggi mungkin menjadi penyebab infertilitas pasangan suami istri. Alergi sperma, bahasa awamnya, kata dr.Sundari di RS Sammarie. Dr. Rino Bonti, dokter kandungan saya sih menolak tingkatASA yang tinggi disebut alergi sperma, walaupun beliau juga tidak menafikan bahwa riwayat alergi yang saya miliki sangat mungkin menjadi penyebab resistensi saya terhadap sperma suami. Dalam tubuh manusia terdapat sistem ‘deteksi’ terhadap virus yang masuk ke tubuh. Bagi pasangan suami istri, Allah SWT sudah men-design bagian tertentu spermatozoa suami untuk bisa lolos dari detektor tubuh istri. Nah, sepertinya tubuh saya detektornya rada sensitif, sampai-sampai spermatozoa suami juga dianggap virus.

Nah, jadi, PLI adalah imunisasi, agar antibodi antisperma saya yang sangat tinggi bisa turun. Kata dr.Sundari sih, “bapak pelan-pelan dikenalin lagi sama ibu”. Hihi… Caranya adalah dengan menyuntikkan sel darah putih suami ke dalam tubuh istri. Harapannya, tentu saja, dengan antibodi antisperma yang rendah, sperma suami bisa diterima sama tubuh saya dan jadinya hamilton deh. Amiiiin 🙂

dr. Bonti pernah bilang, “biasanya sih dua kali PLI udah hamil, jadi nggak perlu inseminasi”. As for me, saya dijadwalkan untuk menjalani tiga kali PLI. Semoga cukup dua kali saja, atau bahkan sekali. Amiin Amiin Amiin :). Oiya, rentang waktu antara satu imunisasi dengan imunisasi berikutnya sekitar tiga sampai empat minggu. Untuk saya dan suami, dijadwalkan mengikuti imunisasi PLI ke-2 pada 6 Agustus.

 

Anak Emas

Biayanya? Yah… Lumayanlah… Waktu pra-PLI kemarin sekitar 700 ribuan, untuk PLI pertama hari ini Rp. 1.020.000. Kedua dan ketiga saya belum tahu, kalau nggak salah kurang dikit aja sama PLI pertama. Kalau dibilang mahal, ya memang mahal. Tapi saya sangat percaya bahwa setiap anak ada rizkinya; dan ini adalah rizki anak saya :). Kalau memang harus begini ya dijalani saja. Perjalanan setiap pasangan kan berbeda satu sama lain.

Kekhawatiran pasti ada, yang saya usahakan sesedikit mungkin, karena sekali lagi saya percaya rizki itu Allah yang menggenggam. Diberikan-Nya sesuai usaha, dan do’a. Kepercayaan pada-Nya dan ketaatan pada agama-Nya, saya percaya akan membukakan rizki dari arah yang tidak disangka-sangka.

Hari ini saat akan melunasi pembayaran, pasutri sebelum saya dan suami adalah sepasang ‘ikhwan’ dan ‘akhwat’ yang berwajah bahagia. Karena merasa diperhatikan, sang suami sedikit rikuh dan berusaha menutup-nutupi dompet dan kartu yang digunakannya untuk membayar pengobatan. Tapi dasar saya kepo, saya sempat-sempatnya melirik dompet ‘ikhwan’ itu. Dompet kanvas khas mahasiswa, bukan pula yang bagus. Jika saya boleh menggeneralisir, dompet seseorang dapat merepresentasikan ‘isinya’, maka analisis saya, pasangan ikhwan dan akhwat yang juga melakukan imunsasi PLI tersebut bukan dari kalangan menengah atas. Tapi mereka toh afford-afford aja. Saya jadi semakin semangat untuk menabung :).

 

Karena Kelahiran ada Pada Sisi-Nya

Waktu pertama kali tahu saya alergi sperma, saya nangis. Saya memaki tubuh saya yang ‘bodoh’ dan terlalu sensitif. Tapi sebenarnya saya yang bodoh. Bukankah saya sendiri tidak pernah meminta dilahirkan begini? Bukankah perjalanan ‘kesuburan’ saya selama bertahun-tahun sejak mengalami haid pertama teratur dan sangat lancar?  Inilah mengapa kelahiran, beriringan dengan jodoh, rizki dan kematian ada pada genggam-Nya.  Karena saya tidak pernah menduga dan sampai saat ini berada dalam ketidakpastian akan mengapa dan bagaimana proses kelahiran anak saya kelak. Saya hanya percaya bahwa manusia bisa berteori, tapi Allah punya kuasa atas segalanya.

Orang-orang bilang, mungkin belum dipercaya sama Allah. Adakalanya pernyataan itu demikian menyakitkan bagi saya. Seolah-olah saya ini pendosa dan penjahat sekali sehingga Allah tidak percaya sama saya dan suami. Saya mengingat kata-kata itu, “belum dipercaya sama Allah”, pada suatu siang sepulang kuliah, saat M-16 yang saya tumpangi meewati kolong jembatan di bilangan Kalibata.

“Apa iya?” tanya saya dalam hati.

“Bagaimana dengan anak-anak legam yang tinggal di bawah kolong jembatan, yang tidak jelas siapa ayah bundanya? Bagaimana dengan anak-anak kecil yang menjadi kenek bus 62, yang rambutnya bercat pirang dan melinting rokok? Bukankah orangtuanya, jika memang ada ke-orangtua-an bagi mereka, sangat tidak bertanggungjawab dan ‘semestinya’ tidak diberi amanah anak keturunan?”

Jadi, pasti ada jalan yang Allah ingin saya mengikutinya dengan memberi saya ini semua. Jika ini adalah akibat dosa saya di masa lalu dan sekarang, bukankah manusia memang berdosa dan wajib bertaubat pada-Nya. Jika ini adalah ujian, bukankah hidup kita, senang dan susahnya adalah ujian-Nya. Saya tidak ingin meneruskan ‘buruk sangka’ saya pada Allah, karena Allah sebagaimana saya berpikir terhadap-Nya.

Saya dan suami saya, belum memiliki anak selama tiga tahun pernikahan, bukan karena kami belum dipercaya oleh Allah. Tapi karena kami sanggup melewati tiga tahun ini tanpa keturunan, dan ketika kelak kami diberi keturunan artinya kami memang (harus) sanggup untuk menjaga, mendidik, dan memeliharanya dengan baik. Bukan sebaliknya. Sungguh, dengan berpikir demikian, hidup saya lebih ringan. Hati saya lebih tenang. Karena saya percaya, seburuk-buruknya saya sebagai manusia, kasih sayang Allah tidak akan pernah habis. Tiga tahun dan masa-masa penantian yang mungkin akan saya lewati, adalah masa perbaikan diri yang memang harus saya dan suami lakukan, dengan atau tanpa anak. Pasutri lain mungkin di-didik Allah untuk menjadi dewasa dengan langsung memiliki anak sedangkan saya dan suami saya justru di-didik Allah untuk menjadi dewasa dengan masa bulan madu yang panjang.

Akhir kata, masih banyak kesempatan yang bisa saya gunakan untuk mempersiapkan kehamilan yang indah, mempersiapkan pribadi yang matang sebagai orang tua, baik secara mental, fisik, dan finansial.  Jadi, tidak ada alasan, semestinya, untuk saya berkecil hati. Apapun kata orang, bagaimanapun jahilnya kadang-kadang mulut manusia, saya dan suami; kami yang menjalani, kami yang sedang dididik oleh Allah, dan kami pula yang akan selalu berusaha menjadi ‘peserta didik’ yang taat dan patuh. Insya Allah, amiiin 🙂

 

 

Catatan Seorang Adik

Minggu lalu, di sekolah, aku takjub sekali. Denis, teman sekelasku tiba-tiba mengenakan kerudung. Ia tampak manis dan anggun sekali.

Aku teringat Kakakku yang sering mengingatkanku untuk berkerudung, jika aku akil baligh nanti. Aku sering bertanya, “apa itu akil baligh?” Dan kemudian Kakak menjelaskan kepadaku panjang lebar apa itu akil baligh dan mengapa aku harus menutup aurat.

Jujur, inginnya sih aku sekarang seperti anak-anak lain di televisi. Punya baju tank top dan boleh pake rok mini. Tapi pasti kakak akan melotot dan tambah cerewet.

Kata kakak, sekarang aku latihan dulu pake baju panjang dan sopan. Sekalian menutupi tubuh mungilku.

Aku juga ingin berjilbab seperti Denis dan seperti kakak. Karena berjilbab, menutup aurat, berarti menjaga dan melindungi diriku sendiri. Menutup aurat juga melindungi kulitku dari terpaan sinar matahari yang panas.

Memang sih, kata Denis, berkerudung itu gerah awalnya. Tapi hanya awal-awalnya aja, setelah itu kita akan terbiasa, katanya. Lagipula, kata bu Diana, guru agamaku panas di dunia itu tidak boleh dikeluhkan; karena neraka lebih panas.

Tapi, boleh tidak ya aku berkerudung sama Papa-Mama?

Hari Minggu kemarin, saat aku akan pergi makan bersama keluarga, kakak bertanya padaku, “Dek, mau pake kerudung, nggak?”

Aku mengangguk-angguk. Akhirnya kakak mengambilkan kerudung kecil yang hanya kupakai kalau aku TPA. Warnanya Pink, warna kesukaanku. Serasi juga sama baju panjang dan celana Winnie The Pooh merah jambu.

Aku dengan gembira memamerkannya pada Papa dan Mama. Berharap mereka senang dengan penampilanku.

Tapi, aku sedih sekali saat mereka malah marah dan mengatakan bahwa anak-anak berjilbab seperti anak kampung. Aku lebih sedih lagi karena kakak yang dimarahi habis-habisan.

Kata Mama, “kasihan, nanti rambutnya rontok”

Kata Papa, “nanti saja kalau akil baligh-lah. kalau dari kecil kaya anak kampung aja”

Aku dengar kakak bersuara, “kasihan terus… Sampai kapan mau dikasihani? Waktu mau dibangunin sholat shubuh, katanya kasihan. Terlalu pagi, nanti ngantuk di sekolah. Dibangunin sahur untuk puasa Ramadhan, kasihan juga, nanti kelaparan. Nanti kalau besar dia nggak sholat, nggak puasa, nggak mau pake jilbab, apa masih mau kasihan??”

Pasti tentang aku. Waktu bulan Ramadhan juga aku kadang tidak dibangunkan sahur, karena kata Papa kasihan nanti aku kelaparan jadinya tidak konsentrasi belajar.

Kasihan kakak. Aku tahu, dia sayang sekali sama aku. Ingin mengajariku beribadah. Tapi kenapa Papa sama Mama melarang aku melakukan semua itu ya? Kenapa harus mengasihaniku?

Aku ingin berjilbab, aku juga ingin sholat, aku ingin puasa. Sama seperti Papa, Mama, Kakak, dan orang-orang lainnya.

Aku juga ingin masuk surga, seperti cerita-cerita Kakak.

Aku ingin bertemu bidadari, juga seperti cerita-cerita Kakak.

Aku ingin bertemu nabi Muhammad. Dan aku juga ingin bertemu Allah di surga-Nya nanti.

Maka, Mama Papa, jangan kasihani aku. Sayangi aku karena aku pun ingin menjadi kupu-kupu di taman surga-Nya.