Muslimah Keren: Chibi, Berkarya di Banyak Lini

38349_408174738019_3727137_nBerkenalan dengan Muslimah Keren yang satu ini, bisa membuat kita tertular semangat dan energinya yang amat positif. Seolah tidak ada kata istirahat baginya untuk terus berkarya dan member manfaat bagi banyak orang. Jadi, setelah sekian lama tidak mengisi blog saya dengan sesuatu yang berarti, saya ingin membagi cerita tentang sahabat saya, si Muslimah Keren, yang insyaAllah bisa menjadi inspirasi untuk kita semua.

Terlahir dengan nama Ranny Rastati, sebagian besar orang yang mengenalnya memanggilnya Chibi, nama “Jepang” yang ia dapatkan ketika mengenyam pendidikan sarjana di Sastra Jepang UI. Sosoknya riang dan ramah dan tampak lebih muda dari usia sebenarnya.

Sehari-hari, ia bekerja di bagian Departemen Service dan Training Lotte Indonesia. Sepintas, kehidupannya sama saja dengan perempuan muda berpendidikan yang sedang bersemangat meniti karier di ibu kota. Tapi, di sela-sela kesibukannya, Chibi menyempatkan diri mengurus “orang lain” dengan membuka Chibi Ranran Help Center.

Inspirasi itu datang saat ia dan teman-teman SMP-nya mengadakan bakti social kesehatan gratis serta seminar mengenai kesehatan. Hal itu mereka adakan sebagai wujud syukur sekaligus sebagai rasa terima kasih kepada para guru dan masyarakat sekitar SMP tempatnya dulu belajar. Ternyata kegiatan tersebut masih menyisakan sejumlah uang yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan murid-murid yang tidak mampu di SMP tersebut. Dari situ, anak kedua dari dua bersaudara ini terpikir untuk mewadahi bantuan dari teman-temannya atau dari siapapun yang ingin membarikan bantuan. Dan lahirlah Chibi Ranran Help Center. Sampai saat ini, Chibi Ranran Help Center sudah menyalurkan bantuan untuk merenovasi musholla SMP 102, tempatnya dulu belajar dan sebuah musholla di daerah Tangerang dan masih akan terus menyalurkan bantuan peralatan sholat untuk musholla yang membutuhkan.

Yang menarik, Chibi mengaku bahwa dirinya nyaris tidak menemukan “duka” saat mengerjakan pekerjaan dan kegiatan sosialnya. “Yang ada semuanya suka. Hehe. Yang penting segala sesuatu djalani dengan bahagia, ikhlas, dan semangat. Kalau dimulai dengan niat yang baik, maka Allah juga akan memudahkan jalannya,” ujar dara kelahiran Jakarta, 27 tahun silam ini.  

Manajemen waktu yang baik adalah kuncinya. Chibi senantiasa berusaha mempergunakan waktu dengan maksimal. Ketika di kantor, ia akan mencurahkan perhatiannya secara total untuk kepentingan pekerjaan; begitu juga apabila saatnya ia mengerjakan  urusan Chibi Ranran Help Center, ia akan focus untuk mengerjakan urusan Chibi Ranran Help Center.

Chibi pertama kali berhijab saat ia duduk di kelas satu SMA selepas pesantren kilat di sekolahnya. Sebuah taushiyah tentang kematian demikian menggugah kesadarannya untuk menunaikan kewajiban dari Tuhannya sebelum maut datang menjemput: berhijab. Dan sejak saat itu, Chibi selalu rapih menutup auratnya.

Apakah pernah ia merasa terhalang dengan hijab yang dikenakannya, mengingat ia bekerja di perusahaan asing?

Ternyata, hijab tidak menghalanginya untuk berkarya dan bergaul dengan orang-orang dari budaya berbeda. Menurut Chibi, yang menjadi masalah bukanlah pakaian tapi attitude atau perilaku yang dibawa seseorang yang lebih menentukan. Beruntung, Chibi berada di lingkungan multi kultur yang amat toleran dengan ke-Islam-annya. Campuran Jawa-Toraja ini bahkan pernah ditegur rekannya yang “orang asing” karena waktu shalat sudah tiba sedang ia masih disibukkan dengan pekerjaan.

Bersama hijab itu pula, Chibi sudah melanglang buana ke berbagai negara dimana Muslim sangatlah minoritas. Mulai dari homestay di Sydney, Australia; Jepang, Korea dan China. Dan ia tidak pernah merasakan diskriminasi dalam perjalanan dan interaksinya dengan penduduk local. Salah satunya karena ia diuntungkan dengan kemampuannya bicara dalam tiga bahasa asing! Ya, Chibi yang juga pernah aktif mengkampanyekan “Save The Whale” ini mahir berbicara dalam bahasa Inggris, Jepang dan Korea.

Chibi yang senang memodifikasi gaya hijabnya juga memiliki pengalaman unik selama travelling. Ketika ia berkeliling Nami Island, tempat pengambilan gambar Drama Korea fenomenal, Winter Sonata, dengan sepeda, banyak orang melihatnya dan melambaikan tangan. Bahkan banyak juga yang minta foto bersama karena hijabnya dipandang unik dan menarik.

Dalam kehidupan sehari-hari, Chibi sangat mengidolakan sang Mama. Baginya, Mama adalah super woman. Walaupun sang Mama bukan ibu rumah tangga full time dan memiliki banyak kegiatan di luar rumah, akan tetapi Chibi tidak pernah merasa kehilangan sosoknya.

Walaupun sehari-hari cuma ketemu 2-3 jam, tapi waktu yang kami habiskan itu sangat berkualitas. Jadi rasanya nyokap itu selalu ada kapan pun dan dimana pun”, tuturnya.

Berhijab, bagi Chibi, tidak semestinya menjadi penghalang seorang Muslimah untuk berkarya dan member manfaat bagi banyak orang. Menurutnya, sangat penting bagi seseorang untuk memiliki dan memenuhi impian dan harapan, sebab siapapun mampu bertahan selama mereka memiliki impian dan harapan.

“Seperti tangga, hidup itu harus direncanakan. Semakin baik, semakin berkualitas. Karena hidup cuma sekali dan jadikanlah hidup itu luar biasa. Agar nanti ketika kita kembali kepada Allah dan ditanya, apa aja yang udah dilakukan dalam hidup, kita bisa menjawab ‘saya menjadi manusia yang bermanfaat untuk orang lain’”,pungkasnya.

Muslimah Keren: Jejak Muslimah “Petualang”

Pada Inspirasi Muslimah perdana ini, saya ingin memperkenalkan sosok “Muslimah Keren” yang dulu dikenal sebagai “petualang” karena pekerjaannya sebagai host di beberapa acara “petualangan” yang kebetulan adalah teman baik saya.

Bismillah…

***

Gambar

Melihat sosoknya yang mungil dan manis, rasanya sulit untuk percaya bahwa ia adalah salah satu dari sedikit perempuan Indonesia yang pernah mencapai Puncak Cartenz, Papua. Wow! Bayangkan! Padahal Cartenz adalah salah satu dari Seven Summits, tujuh puncak tertinggi di dunia. Terletak di Pegunungan Jayawijaya, Puncak Cartenz berada pada ketinggian 4884 mdpl dengan puncak gunung diliputi salju abadi. 

Bersama tim Metro TV, Ferissa Djohan, atau yang akrab disapa Rissa berangkat ke Puncak Cartenz dalam rangka menyemarakkan HUT Kemerdekaan Indonesia ke-62 sekaligus ingin mengibarkan Merah Putih di sana. Dibutuhkan banyak persiapan, ketahanan dan keberanian tentunya untuk bisa mencapainya. Menurut Rissa, pengalaman itu “mengerikan” karena ia nyaris meregang nyawa dalam perjalanan menuju ke Puncak Cartenz. Mantan host Jejak Petualang ini menyebutkan bahwa untuk menyebrang dari satu bukit ke bukit lain, para pendaki hanya menggunakan seutas tali; sedangkan pada saat itu ia bersama sepuluh orang lainnya (kru dan pendaki internasional) berada di ketinggian lebih dari 4000 meter dengan jurang yang entah dimana ujungnya! Disanalah Rissa nyaris berhadapan dengan maut.

“karena kecapekan saya ga sanggup menaiki dan menuruni bukit menggunakan tali lagi, istilahnya jumaring, naik turun pakai tali, ilmunya para pemanjat tebing itu deh,jadilah saya sempet jatuh dan kepala saya ada di bawah, sementara tali penghubung terikat di pinggangnya kameraman saya,” tulisnya dalam wawancara melalui surel beberapa waktu lalu. 

Beruntung sang kameramen berhasil menahan tubuhnya. Saat itu, tubuhnya sudah upside down, dan sejauh mata memandang yang dilihatnya hanyalah jurang yang seakan  tanpa dasar dan hamparan salju. Singkat cerita, ia tiba di Puncak Cartenz saat hari memasuki malam dalam keadaan lapar dan haus. Tim memulai pendakian pada pukul 1 dini hari, dan baru tiba di Puncak pukul 8 malam, disambut dengan gelap gulita dan badai es. Di puncaknya pun tidak bisa berlama-lama, karena mereka harus segera kembali, naik turun bukit menggunakan tali…sekali lagi. 

Pengalaman itu, walaupun tidak ingin diulang Rissa, namun banyak menjadi pendorong semangatnya. Apabila Cartenz saja, yang mendakinya (dan menuruninya) begitu menantang maut, bisa ditaklukan maka permasalahan hidup pun semestinya tidak sesulit itu. 

Walaupun usianya masih terbilang muda, namun dara kelahiran Jakarta, 29 tahun lalu ini sudah makan asam-garam dunia penyiaran. Diawali dari menjadi host Jejak Petualang semasa kuliah, lalu acara Trekking di RCTI, Archipelago di Metro TV, hingga menjadi anchor acara berita di beberapa stasiun TV. Pengalaman tersebut ditambah dengan pendidikan Master of Communications Science yang diraihnya pada 2011 lalu mengantarkannya saat ini menjadi produser acara Megapolitan di Kompas TV.

Ada yang berbeda dari Rissa beberapa tahun belakangan. Pada 2009, ia memutuskan untuk berhijab, sebuah “gunting pita” dari keinginan yang lama tertunda. Walaupun, ia mengaku harus lebih banyak belajar sabar (sebagaimana yang memang harus KITA SEMUA lakukan), namun ia tetap berusaha menjadi pribadi yang lebih baik.

Apakah hijab mengekang dirinya? Ternyata ia sama sekali tidak berpikir demikian. Rissa meyakini bahwa apa yang diperintahkan Allah dan Nabi Muhammad SAW pasti selalu ada hikmahnya. Hijab untuknya memberikan rasa aman dan nyaman serta menjadi penjaga sekaligus pengingatnya untuk selalu berperilaku Islami. 

“Perempuan yang ngga suka sensasi biasanya jilbabnya sederhana aja yang penting menutupi aurat dan ngga mentingin harus begini dan begitu, isi otak sama isi hati paling utama untuk perempuan yang sejati menggunakan hijabnya, gw suka sih banyaknya tren mode hijab tapi esensinya dapat atau ngga itu tetap harus dilihat dari perilaku si perempuannya,” tuturnya.

Tantangan terbesar yang ia hadapi setelah berhijab justru tidak datang dari pekerjaan atau dunia sosialnya; namun tantangan terbesar yang ia rasakan justru datang dari dirinya sendiri untuk selalu memperbaiki perilaku agar tidak khilaf dan menurutkan emosi semata. 

Lulusan S1 dari London School of Public Relations ini menyebutkan bahwa shalat ada ajaran Islam yang paling ia sukai karena dalam shalat manusia disuruh mencuci dirinya lima kali sehari. Selain itu, dengan shalat seseorang dapat mencurahkan isi hatinya langsung kepada Allah juga lima kali sehari. Shalat juga dirasanya sebagai cara menenangkan diri dari gejolak emosi.

“Dengan shalat slalu ada kesempatan mencurahkan apapun yang terjadi dg diri kita tiap harinya, ada cara menenangkan diri saat emosi, ada waktu setiap hari untuk melepas lelah secara batin, karena dinamika hidup manusia ga bisa slalu seneng. Tiap hari masalah selalu ada, mau dicari mau ngga, dan shalat ngajarin kita untuk mengembalikan setiap persoalan dengan Pemiliknya, dan kita bisa belajar dari tiap kesalahan yang kita buat dengan mengadu sama Allah, evaluasi dan belajar dari kesalahan itu. Shalat memang ternyata tiang agama dan kehidupan…”, pungkasnya.

Rissa adalah salah satu orang pertama yang saya kenal saat hari pertama kuliah di pascasarjana Fisip UI. Saya tidak menyangka, kehidupan dunia hiburan yang menurut saya saat itu saat menonjolkan tampilan fisik semata bisa “menyisakan” sosok seperti Ferissa yang menurut saya bukan hanya cantik secara fisik tapi juga cerdas dan sangat humble. 

Semoga kita semua bisa mengambil hikmah dari “Muslimah Keren” yang satu ini. Berhijab, berkarya, dan selalu memperbaiki diri. 😉