Menapaki Jalan Nabi (Part 3: Hati-hati dengan Desir Hati)

Tulisan ini dibuat sepulang Umrah. Beberapa detail sudah terlupakan, ketika saya baca ulang. Saya re-post dan re-share untuk mengingatkan diri sendiri, obat rindu pada yang rindu, dan penyemangat pada yang ingin berangkat 🙂

Inilah dua tanah yang disucikan. Tiap langkah menuju kebaikan diganjar berkali lipat. Tiap ucapan adalah doa, bahkan desir hati pun bisa menjadi doa. Maka berhati-hatilah dengan apa yang kita pinta. Dan banyak-banyaklah memohon ampunan pada-Nya karena Allah Maha Mengetahui apa yang kita sembunyikan bahkan di dasar hati yang paling dalam. Inilah Mekkah Al-Mukarramah dan Madinah Al-Munawwarah. Dua kota yang terasa seperti bulan Ramadhan sepanjang tahun. Dimana manusia berbondong-bondong menuju rumah-Nya, lantunan ayat suci terdengar dimana-mana, wirid dan zikir, yang lantang dan yang perlahan-lahan. Dua kota dimana manusia berduyun-duyun mengaku dosa pada Tuhannya, meminta ampun atas segala alpa, dan mengadukan pada-Nya segala himpitan dan derita.

Dengan cara yang unik, Allah memberi saya permen karet bermerk Batook. Hanya keinginan yang terbit sesaat. Saya ingat, kantung plastik sudah di tangan, dan permen itu tidak ada di dalamnya. Tapi sampai di hotel, entah bagaimana permen itu ada di dalam plastik yang saya bawa. Dan sang penjual pun merelakannya. Maka jadilah permen Batook itu menjadi milik saya.

Suatu pagi, di Mekkah saya mengidamkan makanan Arab bernama Om Ali. Pernah saya cicipi pada Umrah saya yang lalu. Rasanya manis seperti bubur Farley, makanan bayi. Penuh susu, biskuit dan puff pastry yang dihancurkan bersama susu, kismis dan kacang-kacangan. Tidak banyak yang mengetahuinya. Pagi itu saya bertanya pada seorang laki-laki berkulit hitam dengan baju koki yang hilir mudik di ruang makan, “Do you serve Om Ali?”. “Om Ali?”, ia bertanya balik, seperti keheranan. Kemudian ia mengangkat bahunya. “No? No om Ali?” tanya saya memastikan. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Keinginan saya tidak pupus. Saya sudah mengidamkan makanan ini sejak lama. Pernah suatu hari saya ingin membeli Om Ali di Egyptian Food Festival di sebuah hotel berbintang tapi tidak jadi. Harga seporsinya Rp.139k. Harga yang membuat saya kehilangan selera. Jadi kali ini, saya harus makan Om Ali, tapi saya mau gratis. Entah mengapa saya punya pikiran seperti ini. Saya bukan tipe pencari gratisan atau diskonan. Tapi dari sejak di Madinah saya sudah berdoa di perjalanan, agar saya bisa makan Om Ali gratis. Dan Allah mengabulkannya.

Betapa bahagianya saya saat siang itu restoran ZamZam Hotel menyediakan Om Ali dalam porsi banyak sekali. Tidak banyak yang menyentuh, karena tampilannya memang kurang menarik. Walaupun harus saya akui rasanya tidak selezat Om Ali pertama yang saya coba, tapi saya tetap senang sekali mendapati Om Ali sampai-sampai saya menghampiri pegawai hotel hanya untuk mengatakan, “The Om Ali you serve is very good”.

Suatu hari, Allah pun mengabulkan desir hati saya. Yang tidak saya ucapkan secara lisan, yang saya ucapkan dalam hati, bahkan saat saya seorang diri. Hari itu di Madinah, saya sedang kesal karena suami saya membeli begitu banyak barang dan meninggalkannya untuk saya susun di koper. Setelah menyusun dengan kesal karena merasa buang-buang waktu, itu pun masih berantakan karena dasarnya saya bukan penyusun barang yang baik; saya melihat dua pasang sepatu saya belum dimasukkan. “Aduh”, pikir saya, “ini belum masuk”. “Banyak sekali barang yang harus saya susun. Ini sepatu sudah buluk, seharusnya ditinggal saja di sini. Tapi nanti kalau ditinggal Mama nanyain, ini kan dikasih sama Mama”. Oh iya, hari sebelumnya saya sempat membeli sepasang sepatu murah meriah di pelataran Masjid Quba. Harganya hanya sepuluh riyal. Ada beberapa saat dimana hati saya menyesal membelinya, karena saya sudah berjanji dengan diri sendiri untuk tidak menumpuk-numpuk barang. Saya sudah bawa dua pasang sepatu, untuk apa menambah sepasang lagi. Hanya memenuhi kopor saja. Ada rasa bersalah dalam diri saya.

Hari itu hari terakhir saya di Madinah. Saya ingin ziarah ke Raudhah sekali lagi. Jadi saya seorang diri pergi ke Masjid dan bergabung dengan jamaah Muslimah rumpun Melayu. Oh iya, saya biasa menghafalkan nomor urut penitipan sepatu, jadi saya tidak bingung. Saya ingat meletakkan sepatu saya di penitipan paling kanan yang pintunya tertutup, di penitipan nomor 17. Saat saya hendak pulang dan mengambil sepatu, saya kebingungan mencari-cari sepatu saya. Tidak ada dimanapun! Astaghfirullah… Saya kehilangan sepasang sepatu yang pagi harinya saya keluhkan karena memenuhi kopor. Jadilah saya menghubungi suami saya minta dibawakan sepasang yang lain. Yang menjadi begitu berharga keberadaannya.Saya tidak tahu apa sebabnya. Yang pasti saya lekas-lekas memohon ampun jika saya tidak bersyukur pada-Nya atas sepatu saya. Tapi Allah mengabulkan desir hati saya yang ingin meninggalkan sepatu. Saya tidak perlu repot-repot dan sayang-sayang meninggalkannya, pun segan terhadap Mama yang sudah memberikannya, Allah yang sudah mengambilnya. Siapa yang mau marah?Yah, demikian sekelumit cerita saya, sisanya insyaAllah menyusul esok hari.

Semoga bisa menjadi pengingat bagi kita semua untuk bersyukur dan berhati-hati dengan desir hati bahkan yang paling lembut…