Muhammad: Para Pengeja Hujan

Buku kedua Tasaro GK ini menceritakan tentang kehidupan Rasulullah, melanjutkan buku pertamanya, Muhammad: Lelaki Penggenggam Hujan. Selain itu, Tasaro, tentunya juga melanjutkan kisah perjalanan Kashva serta pencariannya terhadap ‘jalan lurus’ yang dahulu diajarkan Nabi Zardhust kepada orang-orang Persia, masyarakat dengan peradaban tinggi, ras Arya sebenar-benarnya. Saya lupa kapan tepatnya saya membeli buku ini, yang pasti tidak lama dari waktu buku ini diluncurkan. Hanya saja saat itu saya sedang menggila dengan thesis yang diburu waktu; jadi baru sekarang tepatnya saya menamatkan buku ini.

Seperti juga buku pertama; buku kedua ini saya pastikan akan masuk dalam ‘my collectibles’, demikian saya menamakan koleksi buku-buku yang menurut saya ‘nampol’, seperti trilogi Supernova, buku-buku karya Dan Brown, dan beberapa kesusastraan lama seperti Di Bawah Lindungan Ka’bah.

Seperti juga buku pertama, pada buku kedua ini air mata saya menggenang pada lembar-lembar awal:
“Jika kisahmu diulang seribu tahun setelah kepergianmu, maka mereka yang mencintaimu akan merasakan kehilangan yang sama dengan para sahabat yang menyaksikan hari terakhirmu, wahai, Lelaki yang Cintanya Tak Pernah Berakhir. Mereka membaca kisahmu, ikut tersenyum bersamamu, bersedih karena penderitaanmu, membuncah bangga oleh keberhasilanmu, dan berair mata ketika mendengar berita kepergianmu. Seolah kemarin engkau ada di sisi, dan esok tiada lagi”

Memang benar demikian adanya. Pada buku kedua ini; penuturan perjalanan hidup Rasulullah sampai pada penyempurnaan Islam. Dan Tasaro mengambarkan fase tersebut dengan tutur yang sangat lembut, seperti biasa; mungkin untuk memadankan dengan sosok lembut yang kisahnya ia tuturkan. Fase-fase terakhir kehidupan Rasulullah, terutama bagian dimana lelaki mulia tersebut menghembuskan nafas sukses menguras air mata.

Saya tahu, ummat Islam dimanapun di dunia ini yang hidup pada jaman ini, tidak pernah bertemu Sang Nabi kecuali sedikit saja mereka yang diberi karunia untuk bertemu dengannya dalam mimpi; namun cerita kepergiannya, menyisakan rasa kehilangan. Aneh. Padahal seumur hidup saya belum pernah bertemu Beliau, semoga shalawat dan salam tercurah padanya.

Cara Tasaro GK menceritakan bagaimana kekhilafan Umar saat mengetahui Rasulullah telah berpulang semakin menambah rasa kehilangan tersebut. Benih-benih perpecahan yang bermunculan hanya sesaat setelah kepergian Rasulullah SAW, sesungguhnya bukanlah bagian yang ingin saya baca, jika saja buku itu hanyalah kitab sirah Nabi ‘konvesional’. Saya selalu membenci bagian dimana ummat Islam berpecah belah. Tapi konflik yang dituturkan dengan amat menarik tersebut memaksa saya untuk membaca, dan akhirnya memahami. Bahwa mereka yang ditinggalkan Rasulullah setelah ‘dibina’ langsung oleh Beliau, semoga shalawat dan salam tercurah untuknya, memegang tampuk amanah yang amatlah berat untuk menjembatani antara Islam, sebagaimana yang diajarkan Rasulullah dengan masyarakat di luar jazirah Arab; serta generasi setelah mereka.

Sungguh amat sulit kiranya menjadi seorang Abu Bakar. Khalifah pertama sepeninggal Rasulullah. Jika ada orang yang paling miskin di Madinah saat itu; itu adalah beliau, khalifah, pemimpin ummat Islam, karena takutnya beliau kepada Allah SWT dan ketaatannya kepada Rasul-Nya. Belum lagi konflik dengan Fathimah, putri sahabat yang dicintainya. Ah…

Ketika sampai pada bagian itu, saya berucap dalam hati; seandainya Rasulullah ada untuk menengahi…

Dari buku ini pulalah saya belajar memahami bahwa sahabat Nabi, bahkan Nabi Muhammad SAW sendiri pun adalah manusia biasa. Tindakan yang dilandasi niat baik sekalipun terkadang tidak senantiasa baik pula sambutannya…

Di atas segalanya, buku ini menyuguhkan cara baru belajar sirah. Jika selama ini sirah Nabi yang banyak beredar banyak berupa terjemahan yang kadangkala sulit dipahami; maka Tasaro menyampaikannya dengan cara bertutur. Tidak semua, saya yakin, akan suka dengan cara ini. Tapi setidaknya saya sangat menyukainya. Membacanya seolah-olah Rasulullah dan para sahabatnya ada di depan mata; dan meniru perilaku mereka bukan sebuah kemustahilan, sekalipun sulit dilakukan. Dan poin plus-nya pada buku kedua ini adalah Tasaro membubuhkan sumber referensi sebagai rujukan; sehingga jika kita meragukan apa yang dituturkannya bisa langsung merujuk pada buku tersebut. Ada beberapa perbedaan memang, terutama dari segi detil cerita, khususnya pada bagian yan menceritakan kehidupan ummat Islam saat memasuki era khalifah; pasca kenabian dari sumber-sumber lain yang saya ketahui; akan tetapi menurut saya bukan sebuah masalah besar. Inti ceritanya tetap sama.

Oh iya, ada kata-kata Khalid Bin Walid yang sangat saya sukai saat ia memberikan tiga tawaran: ber-Islam, tetap pada agama semula namun membayar jizyah sesuai kemampuan, dan perang. Di akhir suratnya Khalid selalu membubuhkan kata-kata,

“…Namun, kalian tidak akan suka kepada kaum yang menyukai kematian; sebagaimana kalian menyukai kehidupan”

atau

“kalau tidak, aku akan mendatangkan kepada alian suatu kaum yang mencintai kematian sebagaimana kalian mencintai minum khamr”

Baiklah, review asal-asalan ini saya tutup dengan sebuah… pemikiran saya sendiri. Sudah sepatutnya kita, ummat Islam mencintai Nabi kita, Rasulullah, Nabiyullah, Muhammad SAW serta mencontoh perilakunya. Karena kita, memiliki kesempatan untuk menjadi bagian dari ummat terbaik Rasulullah: mencintainya, memuliakannya, mencontoh dan menegakkan sunnahnya tanpa pernah bertemu dengannya. Dan, menurut saya, buku ini A MUST READ bagi para pemula seperti saya yang ingin mempelajarinya. :’)

Semoga shalawat dan salam selalu dan senantiasa tercurah pada Rasulullah SAW, keluarganya, sahabatnya, serta pengikut-pengikutnya yang istiqamah hingga akhir dari akhir zaman.

Wallahu a’lam 🙂