Sehelai Kain Bernama Jilbab: Catatan Seorang Kakak

Masih sangat kuingat saat pertama kali aku berjilbab. Saat itu 8 Desember 1999. Satu hari sebelum Ramadhan. Bertepatan dengan perayaan ulang tahun karibku, Farah Kamalia di Hartz Chicken Buffet, Mal Taman Anggrek. Saat itu aku masih kelas 3 SMP.

Aku tidak pernah berpikir, perlawananku kepada Papa dab Mama untuk berjilbab membawaku pada perjalanan indah dalam menemukan jati diriku sebagai muslimah.

Adalah seorang guru agamaku saat SMP yang sesungguhnya mengantarkanku pada keinginan untuk berjilbab. Ia banyak bercerita tentang indahnya Islam, kemajuan peradaban Islam yang sebenarnya sudah lebih dulu mengungguli peradaban barat. Ia bercerita tentang Shalahuddin Al Ayyubi. Ia bercerita tentang bagaimana ummat Islam sudah berabad2 lalu bersiwak (membersihkan gigi), sesuai anjuran nabi Muhammad. Sudah sejak lama pula menemukan pola makan yang sehat sesuai dengan anjuran nabi Muhammad.

Pak guruku itu juga bercerita tentang jilbab. Jilbab, katanya, adalah sebuah kewajiban bagi setiap perempuan muslim yang sudah akil baligh. Dan bagi mereka yang sudah mengetahuinya, wajib hukumnya melaksanakan perintah itu.

Saat itu, aku mengutuki diriku sendiri harus menngingat perintah itu (lagi). Tapi entah mengapa pelajaran agama selalu menarik untukku. Tema-temanya aktual dan selalu menyertakan cerita dan contoh-contoh nyata. Sejak itu, entah mengapa, aku seringkali tidur dalam keadaan takut. Takut kalau-kalau aku tidak terbangun lagi; sedangkan aku belum berjilbab.

Aku coba bicara dengan Papa dan Mama. Dan mereka menganggap angin lalu. Sekali lagi aku coba bicara pada mereka, dan mereka marah-marah.

“Nanti kamu susah dapet jodoh, susah dapet kerja… ” jawaban klise. Aku, sih, namanya juga ABG, tidak berpikir sejauh itu. Tapi aku juga tidak percaya begitu saja pada Papa Mama. Semakin dtentang, aku semakin ingin melawan.

Sampai Ramadhan menjelang, dan aku memohon-mohon (sembari ngambek dan ngedumel-dumel) untuk berjilbab selama Ramadhan saja. Akhirnya mereka menyerah. Tapi aku tidak ingin berhenti sampai Ramadhan saja. Aku ingin terus dan selalu berjilbab. Karena saat mati pun sebenarnya jasadku akan terbungkus kain kafan, hingga tidak terlihat auratku.

Seperti yang sudah bisa kuduga, Mama terus melancarkan bujuk rayunya agar aku menangalkan jilbab. Sebenarnya mungkin memang agak aneh bagi kedua orang tuaku. Karena saat itu, yang berjilbab hanya ibu-ibu haji. Jarang sekali ada remaja berjilbab selain anak madrasah. Sedangkan citra anak madrasah saat itu (maaf) rendah sekali di mata orang tuaku. Belum lagi, saat SMP, aku sudah menyusun rencana jangka panjang untuk kuliah di IAIN.

“Ya udah, nanti kalo kamu sudah lulus IAIN Papa bukain warung kaya Pak X. Lulusan IAIN tapi ‘cuma’ punya warung,” ujar Papa. (Pak X itu adalah guru ngaji Papa)

Akhirnya tiba saatnya aku masuk SMA. Pilihanku adalah sebuah SMA Negeri unggulan tidak jauh dari rumahku. Kembali Mama melancarkan provokasinya. Kata Mama di SMA Negeri itu nggak kaya di SMP-ku yang SMP Islam. Nggak ada yang pake jilbab. Nanti aku nggak punya temen. Begitu provasi beliau.

Au Contrarie, di SMA Negeri tempatku meanjutkan pendidikan justru banyak sekali ‘Mbak-mbak’ (baca: kakak kelas dua dan tiga) yang berjilbab. Dan panjang-panjang, menjuntai sampai ke paha. Dan Mbak-Mbak ini pun gencar mengajak-ajak anak-anak baru ikut pengajian.

Tapi, entah info dari mana, Mama tahu tentang hal ini. Dan beliau pun semakin was-was. Mewanti-wanti agar aku tidak ikut segala rupa pengajian yang dibina oleh Mbak-mbak ‘kedodoran’. Sebenarnya aku juga enggan untuk ikut, tadinya. Karena agak seram buatku didekati oleh Mbak-Mbak itu. Maklum, aku tidak pernah bertemu dengan yang seperti itu. Aku berjilbab saat itu masih berbaju ketat dan bercelana ketat. Mana mau aku memanjangkan kerudung. Nggak oke banget…

Mungkin memang usia-usia penuh pemberontakan. Jadi semakin dilarang, semakin aku tertarik untuk ikut. Untungnya aku punya seorang sahabat baik sejak SMP yang sama-sama berkerudung, Puti Stephania.

Akhirnya aku rajin mengikuti pengajian yang kebetulan juga wajib untuk pelajaran agama. Di sanalah aku mengetahui lebih dalam tentang Islam yang sesungguhnya. Islam yang sangat indah. Islam yang memuliakan banyak pihak. Islam yang melindungi perempuan. Islam yang universal. Islam yang menjunjung tinggi keadilan dan persamaan dalam hukum. Islam yang bahkan melindungi hak-hak mereka yang non muslim. Islam yang mengajarkan kedamaian, kebaikan, kesantunan, bahkan pada hewan yang hendak disembelih. Islam yang mengentaskan batas antara si miskin dan si kaya. (karena Rasulullah sendiri pun wafat dalam keadaan miskin)

Klimaksnya adalah saat aku memanjangkan jilbab. Papa-Mamaku semakin berang. Hampir setiap hari aku bertengkar dengan keduanya. Status sosial selalu dibawa-bawa. Dibilang kampungan, mirip TKW, norak, kedodoran, bahkan bikin malu Papa-Mama.

Saat itu aku marah. Marah besar. Marah pada status sosialku. Marah pada ‘keberada-an’ kedua orang tuaku. Marah pada mereka berdua. sejak saat itu aku sudah bertekad untuk angkat kaki dari status sosial dan apapun itu. Aku ingin mengenyahkannya jauh-jauh. Menyembunyikannya rapat-rapat. Biarkan orang tidak tahu siapa ayah-ibuku. Biar sekalian aku tahu, siapa yang memang baik dan siapa yang pura-pura baik.

Satu hal lagi sebenarnya, aku tidak mau teman-temanku yang tidak seberuntung diriku berubah saat mereka mengetahui kondisiku yang sebenarnya. Aku ingin tulus dihargai sebagai diriku. Bukan hanya pertemanan yang didasarkan pada uang dan status sosial.

Akan tetapi, waktu berjalan dan jaman berganti. Saat ini kerudung dijadikan komoditas fashion di Indonesia. Lapangan pekerjaan terbuka luas. Banyak ilmuwan perempuan yang berjilbab. Di sana-sini ibu-ibu, remaja bahkan anak-anak berjilbab. Jaman sudah berganti. Mama pun sudah berjilbab. Sudah lebih bisa menerima pemikiran-pemikiranku yang dulu dianggapnya asing. Pengajian-pengajian modern sudah bertebaran dimana-mana.
***
Begitulah, Dik. Ceritaku tentang jilbab. Sehelai kain polos yang menutup rambutku. Mungkin nanti, saat kamu besar sedikit dan membaca tulisanku, kamu akan paham. Walapun kamu belum akil baligh, akan tetapi berkerudung adalah latihan bagimu. Dan kewajiban bagiku untuk mengajarkanmu berjilbab hingga saatnya kamu benar-benar dengan kesadaranmu sendiri mengenakannya karena ketaatan kepada Allah.

Mengenai Mama dan Papa…. Sesungguhnya mereka pun paham dan akan mengizinkanmu saat kamu benar-benar yakin. Pelan-pelan, pasti akan kakak bantu menjelaskan. Maafkanlah kakakmu yang sering ‘membuat sensasi’ di rumah sendiri. Aku hanya ingin melakukan hal-hal yang aku yakini sebagai kebenaran.

Catatan Seorang Adik

Minggu lalu, di sekolah, aku takjub sekali. Denis, teman sekelasku tiba-tiba mengenakan kerudung. Ia tampak manis dan anggun sekali.

Aku teringat Kakakku yang sering mengingatkanku untuk berkerudung, jika aku akil baligh nanti. Aku sering bertanya, “apa itu akil baligh?” Dan kemudian Kakak menjelaskan kepadaku panjang lebar apa itu akil baligh dan mengapa aku harus menutup aurat.

Jujur, inginnya sih aku sekarang seperti anak-anak lain di televisi. Punya baju tank top dan boleh pake rok mini. Tapi pasti kakak akan melotot dan tambah cerewet.

Kata kakak, sekarang aku latihan dulu pake baju panjang dan sopan. Sekalian menutupi tubuh mungilku.

Aku juga ingin berjilbab seperti Denis dan seperti kakak. Karena berjilbab, menutup aurat, berarti menjaga dan melindungi diriku sendiri. Menutup aurat juga melindungi kulitku dari terpaan sinar matahari yang panas.

Memang sih, kata Denis, berkerudung itu gerah awalnya. Tapi hanya awal-awalnya aja, setelah itu kita akan terbiasa, katanya. Lagipula, kata bu Diana, guru agamaku panas di dunia itu tidak boleh dikeluhkan; karena neraka lebih panas.

Tapi, boleh tidak ya aku berkerudung sama Papa-Mama?

Hari Minggu kemarin, saat aku akan pergi makan bersama keluarga, kakak bertanya padaku, “Dek, mau pake kerudung, nggak?”

Aku mengangguk-angguk. Akhirnya kakak mengambilkan kerudung kecil yang hanya kupakai kalau aku TPA. Warnanya Pink, warna kesukaanku. Serasi juga sama baju panjang dan celana Winnie The Pooh merah jambu.

Aku dengan gembira memamerkannya pada Papa dan Mama. Berharap mereka senang dengan penampilanku.

Tapi, aku sedih sekali saat mereka malah marah dan mengatakan bahwa anak-anak berjilbab seperti anak kampung. Aku lebih sedih lagi karena kakak yang dimarahi habis-habisan.

Kata Mama, “kasihan, nanti rambutnya rontok”

Kata Papa, “nanti saja kalau akil baligh-lah. kalau dari kecil kaya anak kampung aja”

Aku dengar kakak bersuara, “kasihan terus… Sampai kapan mau dikasihani? Waktu mau dibangunin sholat shubuh, katanya kasihan. Terlalu pagi, nanti ngantuk di sekolah. Dibangunin sahur untuk puasa Ramadhan, kasihan juga, nanti kelaparan. Nanti kalau besar dia nggak sholat, nggak puasa, nggak mau pake jilbab, apa masih mau kasihan??”

Pasti tentang aku. Waktu bulan Ramadhan juga aku kadang tidak dibangunkan sahur, karena kata Papa kasihan nanti aku kelaparan jadinya tidak konsentrasi belajar.

Kasihan kakak. Aku tahu, dia sayang sekali sama aku. Ingin mengajariku beribadah. Tapi kenapa Papa sama Mama melarang aku melakukan semua itu ya? Kenapa harus mengasihaniku?

Aku ingin berjilbab, aku juga ingin sholat, aku ingin puasa. Sama seperti Papa, Mama, Kakak, dan orang-orang lainnya.

Aku juga ingin masuk surga, seperti cerita-cerita Kakak.

Aku ingin bertemu bidadari, juga seperti cerita-cerita Kakak.

Aku ingin bertemu nabi Muhammad. Dan aku juga ingin bertemu Allah di surga-Nya nanti.

Maka, Mama Papa, jangan kasihani aku. Sayangi aku karena aku pun ingin menjadi kupu-kupu di taman surga-Nya.